Oleh: Saifunnajar
Dosen IAIN Datuk Laksemana Bengkalis
Belum lama ini, Ibu Suhaila, Ketua Perpustakaan IAIN Datuk Laksemana Bengkalis, bertanya kepada saya, “Tumben sering ke perpustakaan, Pak?” Saya tersenyum dan menjawab dengan santai, “Dulu sibuk karena urusan jabatan. Sekarang mulai punya lebih banyak waktu luang, jadi mencoba menghabiskan waktu dengan hal yang menyejukkan jiwa: duduk di perpustakaan.”
Sejujurnya, kesibukan jabatan tak seharusnya menjadi alasan untuk jauh dari pustaka. Sebab, sejatinya seorang dosen adalah peneliti dan pencari ilmu, dan tempat yang paling alami bagi pencari ilmu adalah perpustakaan. Sejak dua hari terakhir, saya memilih ‘berkhidmat’ di rak referensi kitab kuning—warisan keilmuan Islam yang kaya dan penuh hikmah.
Saya bersyukur, perpustakaan kampus kita menerapkan sistem terbuka untuk bagian referensi kitab. Tapi dalam rasa syukur itu terselip kegelisahan: banyak kitab tampak masih utuh dan rapi, seolah-olah belum pernah dibuka. Lembaran-lembaran itu menunggu tangan-tangan penasaran mahasiswa untuk menyelaminya. Saya membayangkan harapan yang besar: semoga para mahasiswa lebih rajin berkunjung, membuka, membaca, dan menggali mutiara dari referensi kitab kuning yang tersedia.
Jangan sampai muncul ungkapan pedih: “Kitab dimakan rayap.”
Bukan hanya dalam arti harfiah—kitab yang dibiarkan berdebu, lembab, lalu dimakan rayap, hingga tak utuh lagi terbaca. Tapi juga dalam makna yang lebih dalam: kitab yang dimakan rayap adalah simbol dari ilmu yang hanya disimpan, tidak dibaca, tidak diamalkan, dan tidak diwariskan. Ilmu yang mati sebelum sempat menyinari.
Dari kesadaran itulah, saya mulai menulis risensi beberapa kitab rujukan di perpustakaan. Tujuannya sederhana, agar mahasiswa mengenal isinya, tertarik membacanya, dan menjadikannya rujukan dalam penulisan makalah atau skripsi. Kalau kita tidak mengenalkan, siapa lagi?
Saya juga terinspirasi dari arahan Bapak Dr. Chanifuddin, Wakil Rektor II IAIN Datuk Laksemana Bengkalis, dalam Apel Kesadaran Nasional baru-baru ini. Beliau menyampaikan rasa syukur atas perubahan status dari STAIN menjadi IAIN, yang harus diiringi dengan peningkatan kualitas seluruh sivitas akademika.
Saya memaknai transformasi ini bukan hanya sebagai perubahan bentuk kelembagaan, tapi juga sebagai panggilan untuk memperbarui semangat keilmuan—terutama dalam literasi dan pembacaan kitab. Semoga semangat ini terus tumbuh dan menjadi cahaya bagi kita semua.
Jangan sampai kitab dimakan rayap. Mari kita hidupkan kembali semangat membaca dan menggali ilmu, demi masa depan keilmuan yang lebih cerah.
Amin.