Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Secara sederhana, tong sampah (waste container) adalah tempat untuk menam-pung sampah. Biasanya, ia terbuat dari logam atau plastik. Hampir semua rumah memiliki tong sampah. Eksistensinya merupakan komponen yang sangat diperlukan. Tong sampah merupakan tempat untuk meletakkan sampah yang berkonotasi kotor dan berbakteri. Untuk itu, tong sampah biasanya diletakkan pada posisi yang tak bersinggungan dengan areal yang bersih.
Meski setiap orang familiar dengan tong sampah, namun tak semua sempat ber-kaca dan mengambil pelajaran. Padahal, setiap manusia cenderung berpotensi menjadi “tong sampah” yang kotor dan berbakteri. Ada beberapa simbolisasi tong sampah yang dapat dipetik sebagai pelajar-an. Ia berkorelasi pada diri manusia dalam menapaki kehidupan, antara lain :
Pertama, Hati merupakan tong sampah rohani. Semua kotoran rohani ada di hati. Di antara kotoran yang masuk dalam hati meliputi : riya’, sombong, iri hati, serakah, munafik, dengki, ujub, egois, takabur, bergunjing (ghibah), dan kotoran hati lainnya. Aktivitas dan karakter manusia sangat ditentukan pada hatinya. Bila hati sehat dan bersih, maka baik pula aktivitas dan karakter yang dilakukan. Namun, bila hati sakit, kotor, dan berbakteri, maka buruk pula wujud prilaku dan karakter diri-nya. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya : “Ketahuilah, bahwa dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila daging itu rusak, maka rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah oleh mu, bahwa segumpal daging itu adalah qalbu (hati)” (HR. Bukhari).
Makna hati pada hadis di atas dipahami pada fungsi materi dan immateri. Secara materi (medis), hati merupakan organ penting yang memiliki peran dalam kesehatan manusia. Jika hati sakit, maka akan berdampak pada seluruh organ tubuh lainnya. Berbagai penyakit yang disebabkan akibat kerusakan hati, seperti mata kuning, kaki dan perut membengkak. Dalam dunia medis, gangguan hati dikenal dengan penyakit liver (hepatitis). Sementara secara immateri (psikologis), hati merupakan ruang yang menggerakkan manusia merasakan sesuatu. Fungsi hati untuk merasa akan menggerakkan akal dan prilaku manusia. Bila hati bersih, ia akan merasakan sesuatu yang bersih dan menginformasikan akal untuk menggerak-kan tubuh beraktivitas pada kebersihan (kebaikan). Namun, bila hati kotor, maka ia akan menginformasikan akal untuk mencari alasan (dalil) guna memerintah-kan jasmani berprilaku kotor (kejahatan).
Agar hadis di atas terimplementasi, maka Sunan Bonang menciptakan lirik “Tombo Ati” antara lain “berkumpullah dengan orang saleh (benar)”, bukan orang yang salah yang membuat diri melanggar ajar-an agama. Ada pula nasehat “Tanpo Waton” dengan menukil cuplikan syair : “… Kumantil ati lan pikiran, mrasuk ing badan kabeh jerone, mu’jizat Rasul dadi pedoman...“ (patrikan hati dan pikiran, merasuk ke dalam tubuh, mukjizat Rasul jadikan pedoman). Senandung yang begitu sarat pesan bagi manusia yang beriman. Pesan agar manusia selalu menghadirkan al-Quran dan hadis sebagai pedoman untuk menyehatkan hati dan akalnya.
Agar hati senantiasa terjaga dan tidak men-jadi tong sampah yang akan mengotorinya, maka perlu upaya yang maksimal, antara lain : (1) Bersihkan hati dengan taubat dan tawadhu’. (2) Hiasi hati dengan adab yang bercermin pada akhlak Rasulullah SAW. (3) Beri vitamin hati dengan zikrullah dan per-banyak shalawat pada nabi. Melalui upaya ini, dimungkinkan hadir sosok hamba yang teduh, bijaksana, dan rujukan bagi umat.
Kedua, Perut merupakan tong sampah jasmani. Akibat kotoran yang tak dibersih-kan, muncul kuman dan bibit penyakit yang berdampak pada jasad dan alam semesta. Untuk itu, isi perut perlu dibatasi. Pembatasan dilakukan melalui : (1) Makan dan minum sesuai kebutuhan dan puasa (zahir dan batin). (2) Makan dan minum yang halal, bukan yang haram.
Eksistensin perut sebagai “tong sampah” jasmani sangat vital. Hal ini secara tegas diingatkan oleh Rasulullah melalui sabda-nya : Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk yaitu perut. Cukup-lah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadis di atas menjelaskan kaitan kualitas hati dan perut terpancar pada kualitas kata yang keluar dari mulut. Begitu banyak pepatah mengingatkan bahaya mulut, antara lain : “Mulutmu harimaumu, mulut manis mematahkan tulang, lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya”, dan varian lainnya. Demikian peranan mulut sebagai “ruang masuknya aneka sampah berbau dan bernajis”. Paling bahaya bila ditopang mulut “tong kosong nyaring bunyinya”. Katanya selangit, tapi perilaku bak “tong sampah” di dasar lumpur.
Demikian logika umum terbangun, bahwa untuk melihat hati dan apa yang mengisi perut manusia, lihatlah kualitas apa yang dikeluarkan dari mulut dan prilakunya. Segelintirnya pandai “bermulut manis” dan berprilaku baik untuk menutupi hatinya yang rusak, serta perutnya yang kotor dan bervirus asupan yang haram. Namun, pada waktunya semua keburukan hati dan kotornya isi perut yang disembunyikan akan tetap terkeluarkan melalui mulut yang menyakiti. Demikian pula sebaliknya. Bila hati senantiasa sehat oleh zikrullah dan perut bersih oleh makan dan minum yang halal, maka terlihat nyata melalui mulut yang beradab.
Sungguh, menilai sesesorang sangat ter-gantung kualitas diri. Bila hati tak menye-nangi, maka sejuta kebaikan tak pernah terlihat. Kata tegas dinilai arogan, taat hukum dinilai karakter keras (saklek), dan nasehat keselamatan dinilai kritik pedas yang penuh kebencian. Padahal, semua jamu memang pahit, tapi ia membawa kesehat-an pada tubuh. Padahal, karakter manusia yang demikian merupakan pelak-sanaan perintah ajaran Rasulullah. Hal ini merujuk pada sabdanya : “Katakanlah yang benar meskipun pahit” (HR. Ibn Hibban).
Bila kata “kebenaran” tak lagi disukai, maka pertanda diri tak pernah berlaku benar. Bila kata berisi nasehat tak lagi diperlukan, maka pertanda tak perlu lagi pendidikan. Bila kata penjilat penuh pujian yang diharapkan, maka pertanda negeri diambang kehancuran. Sebab, bila hati selalu senang dan “harap sesuatu” (ada udang disebalik batu), maka siasat licik berusaha menutupi sejuta kejahatan agar tak terlihat, kata indah penuh sandiwara, untaian lisan tersusun manis melebihi madu, dan “angkat telor” jadi jurus utama. Padahal, semua yang dilakukan merupa-kan “batu licin” yang bisa menjatuhkan setiap waktu. Sungguh, penilaian senang dan benci atau kata pujian dan kritikan hadir selama ada “madu dan harap”. Bila madu dan harap telah hilang, semua semut akan meninggalkan untuk mencari sumber manis lainnya. Ketika madu ada, kata manis kembali akan terukir. Demikian mudah manusia berubah, semudah ia membalikan telapak tangan.
Memang, tak banyak manusia yang setia dan berkorelasi antara kata dengan per-buatannya. Andai tersisa manusia ideal, ia tak pernah disukai. Berbagai upaya dilaku-kan untuk menyingkirkannya. Upaya yang efektif melalui fitnah yang direkayasa.
Sungguh, semua penilaian terhadap sese-orang selalu dibayangi dan dipengaruhi kepentingan yang berkelindan. Ia hadir sesuai kualitas “tong sampah” rohani dan jasmani. Kualitas keduanya akan terlihat nyata bila masih ada kuasa memenuhi keinginan. Bila madu ada, segerombolan semut akan hadir berbaris rapi. Namun, tatkala madu telah habis, maka tak ada lagi sudi mendatangi. Begitu sifat dasar manusia yang selalu –mungkin– ditutupi. Ternyata, kata (mulut) manis sebatas “tong sampah”. Bila keinginan terpenuhi dan perut bisa terisi, maka “batu hitam” akan menjadi “permata”. Namun, bila tak ada lagi yang diharapkan bisa mengisi “tong sampah” dan harapan, maka “permata” berkilau akan dianggap “batu hitam” yang tak lagi berguna.
Ketika hal tersebut terjadi, maka semua “semut yang berjejer” hanya akan meninggalkan bekas “gigitan” yang menyakitkan. Ia selalu hadir bila ada madu yang “menjanjikan” dan segera berlalu bila tak ada yang diharapkan.
Manusia berkarakter “tong sampah” perlu menjadi i’tibar dan kewaspadaan. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa semua lembar kehidupan akan mengalami rotasi yang serupa. Bak pepatah, “habis manis sepah dibuang“. Ia akan dipuja ketika ada “manfaat”, meski tak pernah ada yang dilakukan (berwujud). Namun, ada pula sosok yang dilupakan meski telah meng-hadirkan “segunung emas” kebaikan, bah-kan menjulang menembus awan.
Sungguh, manusia tipikal di atas begitu mudah “dijinakan”. Bila harapan dan “tong sampah” jasmaninya terpenuhi, maka semua akan tunduk mengikuti arah telunjuk tangan. Sebab, kritikannya hanya sebatas “auman harimau”. Ketika perutnya telah kenyang dan harapan terpenuhi, maka mulutnya akan terkunci dan “tertidur nyenyak”. Ternyata, semua makhluk hidup hanya terobsesi memenuhi “tong sampah” dirinya. Meski sederhana, tapi prilaku yang demikian acapkali berujung petaka.
Namun, bersyukurlah bila tersisa manusia bermartabat. Tergantung harapan pada potensi yang dimiliki untuk mengisi dunia dengan nilai kebenaran. Nasehatnya bijak menyelesaikan persoalan. Katanya kritis mengarahkan pada jalan kebenaran. Jika masih ada manusia bermartabat, maka semesta akan berpihak. Tapi, bila pemilik kebenaran telah disingkirkan, maka alam akan meronta dan murka. Demikian alegori atau metafora hukum yang menyakini bahwa “semua perbuatan benar akan mendatangkan kebaikan, sementara semua keputusan salah (zalim) hanya akan mendatangkan kesengsaraan” belaka.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 23 Juni 2025