Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Eksistensi seekor ikan menjadi istimewa untuk dipelajari. Ia memiliki protein yang tinggi dan kandungan nutrisi yang sangat baik bagi manusia, terutama untuk meningkatkan kecerdasan anak sejak dini. Dalam al-Quran, kata ikan disebut sebanyak 8 kali (QS. al-Maidah : 96 ; QS. al-A’raf : 133 dan 163 ; QS. an-Nahl : 14 ; QS. al-Kahfi : 61 dan 63 ; QS. Fathir : 12 ; dan QS. al-Qalam : 48). Penyebutan ikan dalam al-Quran tentu memiliki makna yang perlu diungkap. Sebab, tak mungkin ia diabadikan bila tanpa mengandung pelajaran. Untuk itu, perintah membaca (QS. al-‘Alaq : 1) perlu dilakukan. Adapun pelajaran yang bisa diambil dari kehidupan seekor ikan antara lain :
Pertama, Kualitas seekor ikan dapat dilihat (ditentukan) pada kepalanya. Kualitas kepala ikan dapat dilihat pada insangnya. Secara teori, ikan bernafas melalui insang yang berfungsi untuk mengekstrak oksigen yang larut dalam air dan mengeluarkan karbon dioksida. Tiap lembaran insang terdiri dari sepasang filamen yang mengandung lamela (lapisan tipis). Pada setap filamen terdapat pembuluh darah yang mengandung kapiler guna memungkinkan terjadinya sirkulasi gas O² dan CO². Kepala ikan dinilai ber-kualitas baik ketika kondisi insang berwarna kemerah-merahan. Sebaliknya, bila kondisi insang telah berwarna pucat (coklat atau abu-abu, dan lendir gelap), maka pertanda kualitas kepala ikan kurang baik dan mengarah pada pembusukan. Sebab, bagian pertama tubuh ikan yang busuk adalah lendir yang muncul di insang (bagian kepala). Setelah itu, pembusukan akan menjalar ke bagian dalam perut dan selanjutkan ke seluruh tubuh ikan. Bila bagian kepala ikan selalu segar, meski bagian ekor ikan dimakan buntal atau predator lainnya, tapi eksistensi-nya tak akan mempengaruhi kualitas kesegar-an ikan secara keseluruhan. Namun, meski tubuh ikan utuh, tapi kepalanya telah busuk, maka sekujur tubuh ikan akan membusuk.
Ternyata, fenomena ilmiah ikan tersebut memiliki kesamaan pada sifat dan prilaku manusia dalam kehidupan. Hal ini diungkap pada pepatah “ikan membusuk dari kepala”. Pepatah ini menjelaskan bahwa, “meski kepala sangat berkontribusi terhadap keberhasilan, namun ia –acapkali– menjadi akar dan pucuk masalah penyebab utama kegagalan atau kehancuran”. Sosok dan posisinya begitu vital dan menentukan. Tapi, bila kepala (aktor tutama) telah busuk, tak ada lagi harapan kebaikan yang tersisa. Sebab, pembusukan selanjutnya mengarah pada perut (tim inti) dan berikut menjalar pada unsur lainnya (unsur penopang). Demikian fenomena yang terjadi pada peradaban manusia (lingkup keluarga, unit organisasi, bahkan negara).
Kedudukan sosok “kepala” (pemimpin) agar menjadi tauladan diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….” (QS. at-Tahrim : 6).
Menurut Ibnu Qatadah, ayat di atas menjelas-kan tugas pemimpin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya agar mencegah orang-orang yang menjadi tanggungannya dari perbuatan kemungkaran. Untuk itu, pemimpin perlu istiqomah menegakkan semua perintah Allah dan membantu mereka untuk mengamalkan-nya. Bila seorang pemimpin melihat adanya kemungkaran, maka ia wajib melakukan pencegahan (preventif), penindakan agar sembuh (kuratif), dan menjaga pasca proses pemulihan (rehabilitatif) agar prilaku kemung-karan dapat diminimalisir dan tak lagi terjadi.
Meski seekor ikan begitu jelas menyampai-kan pesan ilmiah, pepatah leluhur telah menyampaikan nasehat, dan firman-Nya telah mengingatkan secara qath’i, namun manusia acapkali tak memperdulikan dan melakukan pelanggaran. Ketika terjadi “pembusukan peradaban” atas ulah manusia (QS. ar-Rum : 41), namun acapkali semua kesalahan hanya menyasar atau ditimpakan pada “ekor, sisik ikan, air, dan batu karang”. Sementara kepala dan perut ikan selalu tak tersentuh dan dipersalahkan sebagai sumber penyebab busuknya peradaban. Akibatnya, aroma busuk terus “menguap”. Sebab, sisi busuk yang dibuang dan disalahkan ternyata hanya sisiknya. Bila hal ini terus dilakukan, maka kebusukan tak akan pernah terselesai-kan. Bahkan, kebusukan yang ada akan meng-undang “kumpulan lalat” untuk menyebarkan berbagai penyakit menular. Ketika hal ini tak segera ditindaklanjuti secara tepat dan cepat, maka kebusukan yang menimpa peradaban akan merusak tatanan alam semesta.
Kedua, Ikan tak terpengaruh oleh air yang diminum. Meski ia hidup dan minum air asin, tapi sekujur tubuhnya tak terasa asin. Meski ia hidup dan minum air payau, dagingnya tak pula terasa payau. Atau meski ia hidup dan minum air tawar, dagingnya tak pula terasa tawar. Bahkan, walau ikan (jenis belut) hidup dalam kubangan lumpur, tapi tak membuat tubuhnya kotor dan dagingnya berpasir. Sungguh, ikan mengajarkan tentang keutamaan menjaga identitas dan kehormat-an diri (muru’ah). Ia hidup dengan jati dirinya tanpa terpengaruh dan latah menjadi makhluk atau lingkungan di luar dirinya. Ia hadir memberi manfaat dan memperindah dunia bawah laut, tapi tak terpengaruh atas kondisi lingkungannya yang berombak. Sifat ikan yang mampu menjaga harga diri tak akan mengurangi kebebasannya berenang dan kelezatan dagingnya. Bahkan, ia mampu meningkatkan kualitas kenikmatan siapa saja yang akan menyantapnya.
Demikian seyogyanya sifat manusia yang memiliki dan menjaga harga diri. Meski ia berada pada komunitas yang jahil dan zalim, tapi tak membuatnya terpengaruh pada kebiadaban yang terjadi. Ia justeru mampu tampil bijak dan menjadi penggerak (motor) kebaikan yang mengedepankan kebajikan. Manfaat sifat muru’ah (kehormatan diri) ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Barang siapa yang berusaha menjaga kehormatannya, maka Allah akan menjaga kehormatannya, dan barang siapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan” (HR. Bukhari).
Begitu urgen harga diri (muru’ah) bagi setiap manusia. Sebab, bila harga diri mampu dikedepankan, maka kehormatan akan diraih-nya. Namun, tatkala harga diri telah tergadai atau terjual, maka tak tersisa lagi kehormatan pada dirinya. Ketika hal ini terjadi, mungkin seekor ikan jauh lebih berharga dibanding seorang manusia.
Apa yang disabdakan Rasulullah terjadi begitu nyata. Fenomena menjual keyakinan dan harga diri begitu mudah terindikasi. Ia menyasar semua posisi dan lintas generasi. Semakin angkuh manusia menjual kebenaran dengan kesalahan dan bangga “melelang harga dirinya”. Padahal, Allah SWT telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah : 42).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas berkaitan dengan prilaku bani Israil (Yahudi). Mereka acapkali memutarbalikkan kebenaran dan kebatilan sesuka hatinya. Mereka sungguh telah melampaui batas sebagai manusia yang berakal dan beragama.
Ketiga, Ikan tak pernah merusak atau meng-hancurkan ekosistem yang ada dalam air. Tak ada terumbu karang yang rusak, tak ada air yang dikotori, dan tak ada rumput laut yang patah. Padahal, di dasar laut hidup komunitas ikan yang tak terhitung jumlahnya. Jumlah-nya sebanding dengan jumlah bintang di langit. Meski seluruh ikan yang ada di muka bumi ini meminum air yang ada, tapi tak membuat debit air laut menjadi berkurang sedikit jua. Meski semua ikan mengeluarkan kotoran atau sebagian mati menjadi bangkai, namun tak membuat air laut tercemar dan mengeluarkan bau busuk. Sebav, ikan tak mencemari air selama ia berada di laut. Tapi, bila ia terdampar di darat, bau busuk dan kumpukan belatung yang menghampirinya akan mengotori ekosistem lingkungan. Sementara hanya pada seorang manusia yang serakah, ia mampu menguras seluruh isi bumi, meluluhlantakkan semua yang ada, dan menghadirkan virus yang mengotori peradaban lintas generasi.
Sungguh, busuknya ikan dan rusaknya prilaku manusia terjadi ketika mereka “keluar” dari ruang aturan-Nya (sunnatullah). Sebab, ketika semua tetap pada aturan dan tujuan pencipta-annya, maka tak akan hadir pembusukan diri.
Sungguh, fenomena ikan di atas memberi makna yang dalam. Hanya ketika manusia istiqomah pada aturan-Nya, maka ia akan senantiasa “harum”. Aromanya semerbak mewangi menembus langit. Aroma wangian yang disukai penduduk langit, meski mungkin penduduk bumi tak pernah menyukai. Tapi, ketika manusia terlempar dari aturan-Nya, maka aroma busuknya pasti akan tercium menyengat. Aroma busuk yang akan dibenci penduduk bumi dan langit.
Sifat istiqomah pada aturan-Nya menghantar-kan ikan senantiasa nyaman di dalam air. Ia tak pernah mengotori air, tak mengurangi debit air, dan tak meninggalkan bau busuk yang mencemari air (lautan).
Hanya ketika manusia memiliki keteguhan sifat istiqomah pada aturan-Nya menjadi kunci untuk meraih kebajikan dan cinta-Nya. Keutamaan sifat ini berulangkali dinyatakan Allah dalam al-Quran (QS. al-Ahqaf : 13-14, QS. Hud : 112, QS. al-Syura : 15, QS. Fusshilat : 6 dan 30, serta QS. at-Taubah : 7).
Dari paparan di atas terlihat nyata dimensi pembanding sifat manusia dan seekor ikan. Ternyata, hanya berhadapan dengan seekor ikan saja, manusia acapkali tak pernah tuntas dan tak mampu mempelajari makna dan memahami pesan-Nya. Untuk itu, bagaimana mungkin manusia masih ingin sombong menyatakan diri paling berilmu. Sebab, terhadap seekor ikan saja ia tak mampu mengungkap i’tibar secara baik. Bagaimana mungkin manusia mengatakan diri paling bijak, sebab terhadap seekor ikan (selalu menebar kebajikan) saja ternyata ia –kala-nya– tak mampu melakukan atau menyamai-nya. Bagaimana mungkin manusia merasa diri paling mulia, tatkala terhadap seekor ikan saja ia –kalanya– belum mampu memberi manfaat pada sesama dan alam semesta.
Meski begitu jelas, masihkah manusia terus mengingkari dan melupakan firman-Nya :
“Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang orang-orang zalim perbuat. Sesungguhnya Dia menang-guhkan mereka sampai hari ketika mata (mereka) terbelalak” (QS. Ibrahim : 42).
Ketika ayat tertulis sebatas dibaca dan ayat terhampar sebatas dilihat, maka kekufuran semakin kokoh, ketidakadilan semakin meng-gila, kesombongan menjadi pakaian, dan kezaliman semakin tak terbendung. Namun, janji Allah pasti adanya. Pada waktunya, semua tipu daya dan kezaliman akan diperlihatkan-Nya. Ketika waktu tersebut tiba, tak ada manfaat penyesalan dan tak pula berguna jutaan pemintaan maaf untuk melunasinya. Semua akan dihadirkan dan diperlihatkan Allah pada waktunya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 13 Januari 2025