Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Secara sederhana, mengaji berarti membaca, mempelajari, merenungkan isi al-Quran, hadis dan semua ayat-Nya yang terbentang. Kata “mengaji” berasal dari kata “ngaji” (bahasa Jawa) yang berarti proses untuk menjadi atau mendapatkan “aji” (makna yang bernilai tinggi). Dalam bahasa Indonesia, “mengaji” berarti belajar atau mempelajari suatu ilmu.
Sungguh, semangat “mengaji” (menuntut ilmu) masyarakat begitu tinggi. Kehadiran majelis ta’lim atau majelis ilmu lainnya begitu marak dilaksanakan. Hampir setiap pelosok, majelis ilmu dapat ditemukan. Apatahlagi selama ramadhan, kajian ilmu agama begitu semarak dilakukan. Tingginya motivasi untuk mengikuti majelis ilmu layak diapresiasi. Namun, korelasi pemahaman “mengaji” ter-hadap prilaku perlu jadi perhatian serius.
Dalam konteks yang luas, “mengaji” bukan sebatas pada ruang ilmu agama. Sebab, sejarah peradaban Islam tak pernah melaku-kan dikotomi ilmu. Semua kajian keilmuan dikaji melalui proses “mengaji yang benar”. Adalah sosok Ibnu Sina (kedokteran), Ibnu Khaldun (sosiologi), al-Biruni (ilmu eksakta), Nasiruddin at-Thusi dan Jabir al-Battani (astronomi), Jabir al-Hayyan (apoteker), Ibnu Haytham (optik), dan lain sebagainya. Semua “benar mengaji” dan mengkaji ayat-ayat Allah secara benar. Mereka merupakan para ilmuan yang memiliki marwah (sesuai janji Allah) dan menjaga tradisi ilmu, bukan ilmuan yang mencari dan bertransaksi label pencitraan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah tidak akan memperoleh bagian di akhirat” (QS. Ali ‘Imran : 77).
Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas merupa-kan peringatan Allah terhadap manusia yang suka memperjualbelikan kebenaran (ilmu) dan sumpah yang mengatasnamakan Allah dengan sejumlah “bayaran” duniawi. Sebab, apabila hal ini dilakukan dan menyebabkan ia memperoleh amanah, maka hanya kehancur-an yang akan diciptakannya. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahli-nya, maka tunggulah masa kehancurannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, ada beberapa anjuran agar majelis ilmu mencapai tujuan yang berkore-lasi dengan amaliah dan adab mulia. Sebab, tak semua jamaah yang datang ke majelis ilmu mampu mendapatkan manfaat dari pengajian yang diikuti. Sebagian hadir atas berbagai alasan, antara lain : sekedar mengisi waktu, media bersosialisasi, media kumpul-kumpul, atau sebatas menampilkan aktivitas kesalehan yang seyogyanya disembunyikan. Untuk itu, idealnya ada beberapa syarat yang perlu dipahami agar majelis ilmu memberi bekas dan menghadirkan keberkahan. Hal ini sesuai firman-Nya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan” (QS. Qaf : 37).
Merujuk ayat di atas, maka idealnya penuntut (jamaah) ilmu seyogyanya perlu memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :
Pertama, Ikhlas dengan menghadirkan hati dan fikiran untuk benar-benar menuntut ilmu. Rasulullah bersabda :“Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga” (HR. At-Tirmidzi).
Penuntut dan pencari ilmu perlu menjadikan majelis ilmu sebagai kebutuhan, bukan se-batas mengejar popularitas. Bagi manusia yang memerlukan ilmu, pencarian kebenaran hadir sepanjang hayat. Tapi, bagi manusia yang menginginkan “label ilmu”, mencari ilmu sebatas “serimonial” tanpa memperdulikan adab dan aruran. Tatkala label dan populari-tas telah diperoleh, upaya mencari ilmu tak lagi dilakukan atau diperlukan. Majelis ilmu menjadi “pasar dagang” yang memperdagang-kan kebenaran dengan cara yang salah. Aneh-nya, fenomena ini terasa terbiarkan sebagai tradisi salah yang kasat mata.
Kedua, Mendengarkan dengan hikmat dan penuh perhatian. Untuk itu, orang yang hadir mendengarkan pengajian harus dalam kondisi siap menerima ilmu, bukan hanya sekadar hadir di majelis sekedar “mengisi waktu”, apatahlagi tanpa keikhlasan untuk menerima ilmu.
Mencari ilmu perlu dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar hadir tanpa tujuan. Untuk itu, perlu niat yang lurus dan ikhlas semata-mata untuk lebih mengenal Allah. Untuk itu, menun-tut ilmu bukan sekedar mengejar label (titel) akademik, tanpa kualitas yang sebenarnya. Pemilik ilmu selalu mendahulukan adab dan karya. Semakin berilmu semakin malu bila hadir tanpa adab dan menghasilkan karya yang mencerdaskan umat.
Berbeda terhadap pemilik gelar. Pencitraan lebih utama, sementara adab dan karya tak pernah menjadi tujuan yang ingin dilakukan. Akibatnya, “mengaji tak pernah dikaji, apa yang dikaji tak pernah melalui upaya benar-benar mengaji”. Kondisi ini menyebabkan eksistensinya bagaikan bunga yang mewarnai taman “peradaban”, tanpa aroma yang mengharumkan ruang masa depan. Apalagi bila upaya “pelabelan diri” diraih dengan cara melanggar berbagai aturan (adab) “mengaji” yang benar. Hal ini akan menghadirkan “sampah” yang mengotori peradaban.
Ketiga, Menghadiri majelis ilmu untuk mem-perkenalkan diri pada-Nya (vertikal), bukan ajang meraih popularitas sosial (horizontal) semata. Adakalanya, majelis ilmu sebatas mejelis berswafoto untuk mengisi ruang media sosial yang ada. Bahkan swafotonya acapkali bersama ustad/ ustadzah yang menyampaikan ilmu. Padahal, para sahabat di zaman Rasulullah SAW mengaji dan mengkaji ilmu dengan penuh adab dan ketawadhuan. Mereka lebih memilih untuk mendengarkan dengan penuh perhatian ketimbang mendekati Rasulullah hanya sekadar menunjukkan diri. Para sahabat lebih memilih untuk diam dan menyimak secara seksama ilmu yang disampaikan oleh Rasulullah ketimbang sibuk bercengkerama dengan sesamanya yang akan mengganggu majelis ilmu.
Keempat, Mencari ilmu perlu kesabaran dan tak boleh tergesa-gesa.
Kelima, Ilmu yang diterima perlu dipahami secara benar dan diamalkan secara nyata. Sebab, mengamalkan ilmu merupakan salah satu cara untuk menjaga keberkahan ilmu yang telah diperoleh. Sungguh, kalanya manusia tampil sebagai makhluk yang aneh. Semua serba ingin dipublikasi. Bukan sebatas aktivitas sosial, bahkan wilayah privasi (ibadah dan pribadi) tampil di media sosial bak cendawan tumbuh dimusim penghujan. Sebenarnya, apa yang ingin dicari. Hanya berharap pujian duniawi, meski segelintirnya bertujuan positif untuk berbagi ilmu (informasi). Akibatnya, meski aktivitas mengaji sudah dilakukan, tapi implementasi apa yang dikaji tak kunjung diamalkan dalam keseharian. Aktivitas “mengaji dan mengkaji” merupakan upaya menghindari penyakit Alzheimer, yaitu penyebab demensia. Secara medis, penyakit ini merupakan proses biologis yang dimulai dengan penumpukan protein dalam bentuk plak amiloid dan jalinan neurofibrilar di otak. Hal ini menyebabkan sel-sel otak mati seiring waktu dan otak menyusut. Sebagian merasa puas dengan “atribut titel” yang diraih, tanpa merasa perlu untuk terus “mengaji”. Kondisi ini berakibat pada sikap : (1) merasa paling benar dan hebat dengan apa yang dimiliki atau status yang disandang. (2) menyampai-kan kaji yang usang dan sebagiannya bukan bidang yang dikuasai untuk dikaji. (3) kaji sebatas ruang yang terbatas dan rutinitas tanpa memberi manfaat secara luas. Andai sebatas rutinitas, semua tumbuhan dan hewan juga melakukan hal yang sama. Pada-hal, manusia diberi anugerah makhluk sem-purna.
Meski bahaya penyakit Alzheimer telah dijelaskan secara medis, tapi tak menjadi kekhawatiran dan persoalan. Sungguh, banyak manusia yang tak mau mengaji (berkarya) atau “mengaji” tapi tak mampu memberikan “aji” dan meraih “aji” (keutamaan) yang hakiki. “Aji” yang dikejar dan dipahami hanya sebatas aji mumpung belaka. Hadir sebatas mengejar pundi dan popularitas keshalehan diri, bukan keikhlasan sejati. Atau, sebatas mengejar janji Allah meraih tingkatan kemuliaan, tanpa keberkat-an ridha-Nya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “….Niscaya Allah akan meninggi-kan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahu-an beberapa derajat” (QS. al-Mujadalah : 11).
Ayat di atas menjelaskan janji Allah yang mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Ketika Allah memulia-kan, seyogyanya manusia mengikuti aturan dan janji-Nya. Namun, acapkali manusia justeru berbuat sebaliknya. Memuliakan manusia lemah iman dan tanpa ilmu, tapi tak menghargai pemilik ilmu dan adab. Penilaian ini berakibat menjamurnya “jualan label” ilmu tanpa memiliki ilmu dan adab mulia. Andai ini dibiarkan dan ditradisikan, maka peradaban yang dibangun hanya akan mengundang kehadiran azab-Nya belaka.
Sungguh, peradaban tinggi hanya akan hadir melalui “benar mengaji dan mengaji yang benar”. Untuk itu, majelis ilmu (formal dan non formal) perlu mengedepankan “marwah” (kualitas), bukan sekedar mengejar populari-tas dan jumlah “jamaah” (kuantitas). Sebab, hanya majelis ilmu yang bermarwah akan melahirkan jamaah (peserta didik) yang beradab dan berkualitas. Namun, bila majelis ilmu dijadikan “ruang bisnis status” dan popularitas, maka akan lahir manusia tanpa ruh dan ilmu bermutu yang sebenarnya. Ia hanya bagaikan pepatah “bagaikan si kudung (tak memiliki jari) mendapatkan cincin”. Ia bangga memiliki cincin, tapi bingung setelah mendapatkannya karena tak bisa memakai-nya. Hanya sebatas “ada” pada tataran forma-litas, tapi sebenarnya “tidak ada” pada tataran substansial. Andai tipikal ini mengatur negeri, maka berakibat ketidakfahaman. Andai diamanahkan untuk “menuntun” generasi membangun peradaban, maka kehadirannya hanya akan menyesatkan dan membingung-kan. Semua akibat proses “salah mengaji dan mengaji yang salah”. Apa lagi bila proses “mengaji dan mengkaji” sebatas mengejar status, materi, dan posisi, maka bangunan ilmu akan hancur (mati). Andai hal ini lepas dari perhatian dan dibiarkan, maka asa membangun peradaban berkualitas akan semakin sulit. Sebab, tujuan memiliki ilmu akan hilang dan bergeser menjadi transaksi murah “tanda” berilmu tanpa moralitas (adab).
Untuk itu, upaya benar mengaji dan mengaji yang benar perlu dikembalikan pada khittah-nya. Pengawasan atas praktek “mengaji” yang benar perlu dilakukan secara serius oleh para pihak penjaga ilmu. Semoga ruh ilmu dan marwah ilmuan (ulama) masih tersisa dan menjadi tanggungjawab bersama. Hanya melalui cara ini harapan melahirkan generasi berkualitas untuk melanjutkan estafet membangun dan menjaga marwah negeri ini akan dapat diwujudkan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 14 April 2025