Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Sabun merupakan salah satu kebutuhan manusia sehari-hari. Eksistensinya untuk membersihkan kotoran yang melekat, baik pada jasmani, pakaian, dan lainnya. Untuk itu, namanya disesuaikan dengan obyek yang akan dibersihkan, seperti sabun mandi atau sabun cuci (pakaian atau peralatan rumah tangga lainnya).
Bahan utama sabun adalah minyak atau lemak (nabati atau hewani), alkali (basa), dan air. Komposisi surfaktan, gliserin, asam lemak, dan keseimbangan ph air mampu membuat sabun meninggalkan residu licin. Busa (buih) sabun berfungsi untuk membantu mengangkat kotoran dan minyak dari permukaan benda yang akan dibersihkan. Buih sabun bisa digunakan sebagai salah satu indikator adanya surfaktan dalam air yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan, mengemulsi, dan memisahkan kotoran.
Terlepas fungsi buih sabun secara ilmiah, eksistensinya mengandung pelajaran bagi kehidupan. Adapun pelajaran fenomena kehidupan bak buih sabun, antara lain :
Pertama, Buih sabun mampu menutupi kekurangan (keterbatasan) air. Ketika buih memenuhi ember, seakan air penuh terisi. Padahal, air yang ada hanya sebagian saja. Sisanya hanya berupa buih sabun yang me-nutupi dan bahkan melimpah.
Demikian fenomena kehidupan. Berbagai upaya menutupi kekurangan diri dilakukan. Pada aspek jasmani, upaya make up yang berlebihan dan berbagai asesories diguna-kan agar tampil anggun dan sempurna. Meski perlu mengeluarkan biaya besar dan menumpuk hutang tak lagi dihiraukan. Pada aspek rohani, upaya tampil “saleh” digunakan untuk membungkus kesalahan. Pada aspek intelektual, upaya meraih atribut ilmuan (titel) diupayakan. Meski kalanya melalui “jalan pintas” penuh reka-yasa. Semua dilakukan untuk menutupi kekurangan diri. Untuk itu, berbagai upaya rekayasa menghadirkan “buih sabun” dilakukan agar terlihat (permukaan zahir) sempurna tanpa cela. Padahal, semua di-lakukan sebagai upaya menutupi kualitas isi diri yang begitu rendah. Tujuannya agar memperoleh pujian dan penghormatan. Padahal, semua yamg dilakukan sebatas “tipuan” belaka. Untuk itu, Rasulullah telah mengingatkan : “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian” (HR. Muslim).
Ketika menganalisa hadis di atas, kalanya manusia menentang kuasa Allah. Sebab, ketika Allah melihat kualitas manusia pada substansi, tapi manusia melihatnya pada asesories. Untuk itu, wajar bila manusia hanya mengejar asesories tanpa mampu meraih substansi. Akibatnya, hadir sosok “vampir” yang memiliki fisik, tapi tanpa ruh.
Kedua, Sabun hanya bisa membersihkan kotoran yang menempel, tapi tak mampu membersihkan noda yang melekat. Noda yang melekat hanya bisa dibersihkan de-ngan menggosok area yang bernoda. De-mikian dosa dan kesalahan manusia. Kotoran daki yang menempel dibadan bisa dibersihkan dengan sabun (mandi), tapi tak mampu membersihkan kotoran hati. Dosa ringan bisa dihapus melalui ibadah dan mu-najat, tapi dosa yang melekat (besar) hanya bisa dibersihkan melalui taubat an-nasuha. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang ber-iman, bertaubatlah kepada Allah dengan tobat nasuha (tobat yang sebenarnya)” (QS. at-Tahrim : 8).
Ketiga. Gelembung sabun tak bertahan lama. Demikian perumpamaan atas status, kekayaan, kehebatan fisik, derajat, kejahil-an yang ditutupi, dan varian duniawiah lainnya. Semua hanya sementara. Pada waktunya akan hilang dan terlihat isinya yang asli. Ketika waktu tersebut hadir, maka tak ada yang bisa menghalang. Meski sejuta usaha menutupi, namun semua sementara. Pada waktunya semua yang ditutupi akan terlihat nyata. Hal ini sesuai janji Allah melalui firman-Nya : “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, dia akan melihat (balasan)-nya. (8) Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah, dia akan melihat (balasan)-nya” (QS. al-Zalzalah : 7-8).
Manusia “buih sabun” acapkali menutupi kekurangan (kesalahan) diri dengan ber-bagai asesories kesalehan semu. Semua asesories kesalehan bagaikan buih yang menutupi kesalahan yang sebenarnya. Be-gitu kesalehan sirna, akan terlihat nyata semua kesalahan yang selama ini ditutupi.
Namun demikian, gelembung sabun dapat membuat anak-anak bahagia. Meski hanya dalam waktu singkat dan terbatas.
Keempat, Sabun (detergen) bila digenggam akan terasa hangat dan bisa merusak tangan. Sebab, ia mengandung liniear alkil benzene sulfonat yang merupakan senyawa surfaktan anionik yang banyak digunakan dalam detergen dengan konsentrasi berkisar antara 22–30 %. Bahan ini menyebab rasa panas ketika detergen dicampur dengan air.
Demikian manusia yang berusaha menegakan kebenaran. Meski tujuannya “membersihkan kotoran” peradaban, tapi acapkali mendapat tantangan para pelaku kesalahan yang bermain buih sabun. Fenomena ini telah diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agama-nya seperti orang yang menggenggam bara api” (HR. Tirmidzi).
Bila hadis di atas dicermati, terlihat jelas peringatan Rasulullah pada umatnya. Akan tiba suatu waktu, pemeluk agama takut berpegang teguh pada agama. Sebab, setiap yang secara konsisten berpegang teguh pada agama akan tersingkir. Sedang-kan yang “menjual agama” justru akan se-makin digdaya membangun prasasti kedi-nastian yang tak terkalahkan. Bagi pemilik iman, berpegang teguh pada agama men-jadi pilihan utama. Tapi, bagi pemilik nafsu, beragama hanya sebatas status asesoris yang tak memberi pengaruh sedikit jua.
Kelima, Sabun membuat daerah menjadi licin. Bahkan, manusia memanfaatkannya bila ada benda yang sulit untuk dipasang (cincin, gelang, dan variannya) akan mudah masuk (dipasang) dengan bantuan sabun. Namun, tak sedikit yang lupa licinnya buih sabun. Akibatnya, tak sedikit pula yang tergelincir dan jatuh. Pada sifat ini, sabun dimaknai negatif. Hal ini terlihat pada ungkapan “main sabun”. Ungkapan ini bermakna “perilaku yang tidak jujur (unsur suap)”. Perilaku ini akan sangat berbahaya bila dilakukan secara masif. Padahal, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Allah melaknat para penyuap dan penerima suap” (HR. Ibnu Majah).
Sungguh, tarikan duniawi menyilaukan mata bagi manusia tanpa rasa (hati). Hal ini memunculkan prilaku hypocrite. Pada satu sisi mengutuk dan mencela korupsi, tapi bila ada kesempatan justeru menjadi pelaku berbagai bentuk korupsi. “Main sabun” menggiring prilaku curang (subhat). Pada waktunya akan tergelincir dan terjerembab. Sebab, “main sabun” me-merlukan biaya untuk “beli sabun”. Hal ini berpotensi untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan. Prilaku demikian merupa-kan prilaku yang dibenci oleh Allah. Hal ini secara tegas diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Siapa saja menipu (berbuat curang), maka dia bukan dari golonganku” (HR. Muslim).
Demikian jelas dan tegas Rasulullah meng-ingatkan umatnya. Bagi umat yang ber-harap syafaat, maka peringatan Rasulullah senantiasa ditaati. Tapi, bagi umat yang tak lagi berharap syafaat, maka berbagai bentuk kecurangan akan terus dilakukan.
Agar praktek kecurangan yang dilakukan tercapai, maka prilaku culas menjadi pilih-an. Berbagai cara ditempuh meski melang-gar aturan, agama, dan menjual harga diri. Fitnah menjadi cara picik yang dianggap hal biasa. Berbagai tipuan dan janji palsu menjadi media yang terlihat begitu fulgar. Wajar bila muncul pepatah“buah manis, berulat di dalam”. Pepatah ini mengingat-kan agar hati-hati dengan perkataan dan janji manis. Sebab, disebalik kata manis mengandung maksud yang tidak baik. Apatahlagi bila nyatanya dalam keseharian selalu menyebar mafsadah dan mudharat bagi sesama.
Anehnya, fenomena di atas tak lagi dihirau-kan. Meski nyata kebusukan dirinya, tapi “buih sabun” mampu menutupi permukaan diri yang sebenarnya dangkal dan kotor. Manusia berkarakter “buih sabun” selalu ada sepanjang masa. Mereka merupakan
ahlu ahwa’ (pengikut hawa nafsu dan ahli fitnah). Hal ini dinyatakan melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebenci-an dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” (QS. Ali Imran : 118).
Manusia berkarakter “buih sabun” sangat berbahaya bila diberi amanah. Ia semakin piawai dengan bantuan manusia yang me-ngitarinya. Untuk itu, Ibnu Mas’ud meng-ingatkan, “nilailah seseorang dengan me-lihat siapa disekitarnya.” Sebab, ia bagai-kan pantulan cerminan karakter diri yang saling mempengaruhi dan mewarnai.
Kebiasaan bermain “buih sabun” hanya pri-laku anak-anak yang belum mengerti atas bahayanya yang bisa membuat jatuh ter-sungkur. Kini, bermain buih sabun tak lagi dikenal oleh anak-anak era digital. Namun, praktek “bermain sabun” justeru sulit dimusnah. Para pelakunya justeru orang dewasa yang mengerti. Tak ada tersisa rasa malu, seiring sirna harga diri.
Kelebihan lawan dipandang sebelah mata dan aibnya selalu dicari dan diciptakan. Menganggap dirinya seakan sempurna, tanpa mau mengakui kesalahan (dosa) yang menggunung. Dorongan ini diper-parah dengan bantuan “benalu sekeliling pinggang” yang mengambil keuntungan atas kekisruhan dan pelanggaran yang terjadi. Untuk itu, “bermain sabun” menjadi menutupi kelemahan dan pilihan meraih keinginan. Tak ada kepedulian bila muncul kemudharatan yang akan timbul. Semua sirna oleh harap nafsu semata. Entahlah…
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 28 April 2025