Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Secara sederhana, orkes atau orkestra adalah kelompok musisi yang memainkan alat musik secara bersama. Meski umumnya orkestra memainkan musik klasik, tapi dalam perkembangannya, orkestra modern telah menggabungkan alat musik klasik dan modern secara harmonis. Orkes yang besar kadang-kadang disebut sebagai orkes simfoni atau orkes filharmoni. Orkes simfoni memiliki sekitar 100 pemain. Sementara orkes yang kecil hanya memiliki 30 atau 40 pemain. Karena jumlah pemain yang demi-kian besar, maka pementasan orkestra me-merlukan biaya besar (mahal) dan kepiawai-an dirigen yang handal dan bijaksana.
Dalam sejarah awal, pementasannya secara umum digelar pada kegiatan terbatas dan hanya dinikmati “komunitas elite”. Namun, ketika perkembangan teknologi visual era digital, pementasan orkestra dapat dinikmati secara luas tanpa ruang dan batas status.
Meski harmonisasi alat musik ini sering didengar dan dinikmati, terutama “kaum elite” (materi, status, dan intelektual), tapi pesan orkestra tak pernah menyentuh akal dan budi para “penikmat” pementasan orkestra. Padahal, melalui orkestra menghadirkan pesan edukasi bagi manusia menata peradaban. Adapun di antara pesan edukasi tersebut antara lain :
Pertama, Ketaatan seluruh pemain musik pada konduktor atau dirigen. Ketaatan ter-sebut hadir karena sosoknya yang berkemam-puan mumpuni. Sebab, sosoknya sangat mengerti dan taat “hukum tangga nada”. Setiap gerak tubuh, mata, dan aura wajah kondektur tertuju dan “menyapu” seluruh pemain. Ia menghadirkan perhatian yang sama tanpa memilah dan memilih pemain atau alat musik yang dimainkan. Sosok dirigen yang mampu mengharmonis-kan seluruh pemain dan alat musik merupa-kan cerminan seorang pemimpin yang bijak dan layak diikuti. Ia tak melihat suku, agama, ras, atau alat musik yang dimainkan. Semua dipandang sebagai “keluarga” yang bekerja sesuai tusinya. Sosok dirigen yang demikian merupakan pemimpin yang ideal (amanah), bijaksana, dan mengimplementasikan firman-Nya :“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. an-Nisa’ : 58).
Andai sosok dirigen yang tak mumpuni dan berkarakter egois (melanggar aturan), maka pemain musik akan bingung dan saling me-nonjolkan diri untuk memperoleh “perhatian”. Akibatnya, suara musik tak lagi merdu, tapi memekakan telinga dan sangat mungkin alat musik yang ada akan rusak dan berantakan (hancur).
Demikian tampilan sosok pemimpin pada semua jenis satuan. Pemimpin yang bijak dan memiliki kemampuan manajerial akan mampu mengarahkan seluruh potensi secara harmonis menuju tujuan bersama. Tapi, bila pemimpin tak memiliki kemampuan dan tak berlaku adil, maka seluruh potensi yang ada akan saling bersengketa dan menghancurkan harapan yang diinginkan.
Pentingnya menempatkan sosok “dirigen” (pemimpin) yang tepat, berkemampuan, dan amanah telah diingatkan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya : ““Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu;?” Nabi SAW menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat” (HR. Bukhari).
Meski ayat dan hadis begitu jelas, namun acapkali sosok “dirigen” hadir dengan cara “dipaksakan” tanpa memiliki kemampuan dan acapkali khianat atas amanah yang diemban. Tipikal “dirigen” yang demikian terlihat pada beberapa indikasi yang dikedepankan, antara lain : kebijakan nepotisme (hubungan yang berkelindan), alasan kepentingan, dan silau pundi materi yang berakibat “perdagangan” (transaksi) posisi tanpa memiliki prestasi dan tak lagi perlu adab terpuji. Konsekuensi dosa yang dipikul bukan hanya tertumpu pada sosok “dirigen”, tapi semua elemen yang “ber-subhat” atas tampilnya dirigen yang salah (tak berkemampuan) dalam memimpin sebuah orkestra peradaban.
Kedua, Setiap pemain orkestra hanya fokus memainkan alat musiknya tanpa “cawe-cawe” (usil) terhadap alat musik pemain lainnya. Tak ada saling iri terhadap bentuk dan irama yang keluar dari alat musik yang dimainkan. Setiap pemain musik senantiasa menjaga dan fokus pada alat musik yang dimainkan-nya agar tak sumbang dan keluar dari tangga nada yang ada. Karakter pemain orkestra yang demikian sesuai dengan firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. at-Tahrim : 6).
Bahkan, setelah selesai orkestra dipentaskan, setiap alat musik dibersihkan dan disimpan secara baik (seksama). Setiap musisi sadar bahwa alat musik yang dimainkan telah mengangkat namanya dan keberhasilan yang diraih merupakan kesuksesan kolektif. Setiap pemain orkestra tak mengenal “habis manis sepah dibuang” terhadap alat musik yang ada.
Alangkah indah tatkala ruh dan kebiasaan pe-main orkestra mampu hadir dalam realita ke-hidupan sosial. Semua fokus bekerja sesuai tusi dan kemampuannya. Tak ada saling iri dan merasa paling mulia. Semua sadar atas keterbatasan yang dimiliki dan kelebihan orang lain. Demikian pula sebaliknya. Semua saling mengisi, bukan sibuk mengkritisi dan saling menghabisi.
Setiap pemain menjaga alat musiknya. Ia tak pernah mencela atau mencari aib pemain atau alat musik lainnya. Sebab, mereka sadar semua berpeluang salah dan alat musik yang rusak. Andai ada pemain yang salah, selalu ditimpali dengan alat musik lainnya. Sifat ini mengimplementasikan firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ?”…. (QS. al-Hujurat : 12).
Meski ayat begitu jelas, namun tak membuat manusia takut. Justeru, membuka dan men-cari aib sesama menjadi profesi dan strategi untuk menjatuhkan lawan. Sungguh begitu jelas pengingkaran yang dilakukan, tanpa ter-sisa ketundukan pada Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, Setiap pemain musik mengerti kapan ia memainkan alat musiknya dan kapan harus memberi kesempatan pada pemain lain memainkan alat musiknya. Mereka tak pernah egois, apalagi saling mencela. Melalui profesionalitas yang dimiliki, setiap pemain musik mampu meminimalkan sifat egois dan sombong atas “suara atau bentuk” alat musik yang dimiliki. Mereka sadar bahwa semua diberi kesempatan (tanggungjawab) memain-kan dan menjalankan tupoksi atas alat musik-nya. Hanya melalui harmonisasi dan kerja tim yang solid, “perahu orkestra” akan menghasil-kan irama indah dan menjadi kunci keberhasil-an pementasan. Sifat ini seirama dengan sabda Rasulullah : “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang jika melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan sempurna)” (HR. Thabrani).
Hanya saja, semangat sadar “setiap waktu ada orangnya dan setiap orang ada waktu-nya” hanya sebatas kata belaka. Kesadaran atas keterbatasan kemampuan dimiliki ter-tutupi ego nafsu belaka. Upaya memonopoli menguasai suatu urusan lebih mendominasi. Akibatnya, upaya saling menjegal selalu ter-jadi. Permusuhan dan prilaku zalim semakin “menganga” dan menjadi ruang terjadinya ketidakharmonisan.
Keempat, Kemampuan profesional sosok konduktor (dirigen) sangat menentukan hadir keharmonisasi setiap alat musik untuk meng-hasilkan irama yang memukau. Semua pemain taat aturan dan arahan. Tak ada yang “ambil muka” atau “buang muka”. Tak ada yang bermain maksimal atau bermalasan berpangku tangan. Semua anggota tim bekerja keras dan kreatif melaksanakan tugas yang berfokus pada tujuan bersama. Hal ini telah diajarkan Allah melalui firman-Nya : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembali-kan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. at-Taubah : 105).
Melalui kerja keras tanpa kenal putus asa, semua anggota orkestra berupaya meng-hasilkan irama yang indah dan enak didengar. Keberhasilan yang diraih merupakan kesuk-sesan bersama. Tak ada yang merasa paling hebat dan berjasa. Semua melaksanakan proses dan memetik hasil atas kebersamaan.
Namun, hal di atas acapkali sulit ditemukan pada manusia di luar pemain orkestra. Ter-dapat manusia yang bekerja keras dan ada pula yang berpangku tangan. Ketika usaha-nya berhasil, kelompok “berpangku tangan” tampil terdepan dan merasa paling berjasa. Hadir “pahlawan kesiangan, menembak di atas kuda”. Ia hadir terdepan h!nya sebatas menikmati hasil perjuangan, tanpa pernah berbuat apa-apa. Sementara, para pekerja keras membangun peradaban dan membawa perubahan acapkali tersingkir dan dilupakan. Upaya licik digerakan kelompok yang hanya berpangku tangan. Fenomena ini begitu jelas tampil dipelupuk mata, tapi sulit disadarkan. Sebab, tak lagi tersisa rasa malu. Ia hanya menikmati apa yang tak pernah dilakukan. Anehnya, bersamaan hadir penilaian subyektif yang memandang diri paling hebat, benar, dan berjasa.
Kelima, Seluruh unsur orkestra menghadirkan kerjasama yang harmonis. Mereka tak ada yang mengedepankan ego diri atau ego sektoral (kelompok) yang membuat irama musik yang sumbang dan memekakkan. Tak ada yang “mencuri” start irama untuk ambil muka kondektur atau penonton. Semua saling bekerjasama dan menopang untuk menghadirkan irama harmonis nan indah.
Sungguh, orkestra bagaikan bumbu masak-an. Setiap bumbu tak ada yang ingin tampil dominan, apatahlagi merasa hebat dengan “menginjak” yang lain. Harmonisasi seluruh bumbu mampu menghasilkan aroma harum, rasa nikmat, dan menyajikan makanan lezat menyehatkan. Ia hadir melalui kepiawaian koki yang profesional dan amanah pada tugasnya. Masakan lezat disantap dengan nikmat dan koki tak pernah berharap pujian.
Alangkah indah tatkala manusia mampu belajar dari orkestra dan bumbu masakan. Di “tangan” pemimpin yang bijaksana, terbangun harmonisasi seluruh elemen untuk memak-simalkan potensi yang dimiliki menuju target impian dan tujuan bersama. Bangunan per-adaban ideal hanya akan diraih tatkala hadir sosok pemimpin yang memiliki visi, bukan serba “alergi”. Sosok pemimpin merangkul, bukan “memukul”. Sosok pemimpin yang berkarya, bukan hanya beretorika. Sosok pemimpin pemersatu, bukan pelaku “politik belah bambu”. Berharap “kuasa” dengan cara menyebar fitnah, tanpa mampu berkompetisi secara sehat dan beradab. Fenomena ini selalu terjadi sepanjang sejarah manusia di muka bumi. Hanya pelaku dan media yang berbeda, tapi substansinya tetap sama.
Sungguh, pemimpin orkestra dan sosok koki memberi pelajaran berarti bagi manusia yang berbudi dan memiliki nurani. Pelajaran bagi membangun kebersamaan harmonis yang taat aturan menuju tujuan keummatan. Semua elemen tampil anggun dan sibuk dengan tusinya untuk menghasilkan karya nyata, bukan hanya “usil”, saling menyalah-kan, menyebar fitnah, dan tampil angkuh sebatas karya kata semata (tong kosong nyaring bunyinya). Pilihan terpampang jelas. Semua pilihan tentu sesuai kualitas diri yang akan menentukan muara pilihannya.
Dalam kehidupan, eksistensi “konduktor orkestra” atau “koki profesional” tak bisa direkayasa dan dipaksakan (instan). Sebab, kehadirannya menyangkut hajat hidup dan kemaslahatan manusia. Ia hadir melalui proses panjang dan tanpa rekayasa. Semua berproses secara alami sesuai gerak yang digerakan-Nya, bukan gerak nafsu. Meski demikian, seorang dirigen orkestra yang memiliki segudang prestasi acapkali dilupa-kan bila sekali saja tak mampu tampil memuaskan. Segudang prestasinya lenyap ditelan bumi. Hanya tersisa sisi ketidakpuas-an subyektif-personal yang selalu diapung-kan. Dirigen yang bekerja dengan hati selalu menyadari tantangan yang ada. Semua tak pernah menjadi beban baginya, apalagi balas dendam. Ia sadar begitulah sifat manusia yang tak pernah mampu bersyukur. Manusia yang tak bisa melihat beda antara emas dan besi berkarat.
Sungguh, sosok pemimpin yang mampu merangkul dan menyentuh hati akan selalu diterima dan dinantikan oleh seluruh isi alam semesta. Meski penduduk bumi tak pernah mengakui, tapi penduduk langit akan menulis-kannya dengan tinta emas.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 12 Mei 2025