Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Penempatan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima, menghadirkan rahasia yang perlu dikaji. Sebab, makna istitha’ah yang terdapat dalam QS. Ali Imran : 97 bukan sebatas mampu secara fiqh (memiliki biaya, sehat, dan aman), tapi bermakna lebih luas, terutama iman dan ilmu. Sebab, urutan pelaksanaan haji merupakan kombinasi ibadah jasmani dan rohani. Kesemuanya memiliki makna yang berkelindan dan mendalam, antara lain :
Pertama, Ibadah haji merupakan bentuk penyempurna ibadah yang mengikat 4 (empat) rukun sebelumnya (syahadatain, shalat, zakat, dan puasa). Artinya, haji merupakan akumulasi rukun Islam yang berkelindan. Setiap rukun yang saling mengisi. Idealnya, ketika hamba mampu melaksanakan haji, berarti ia telah melak-sanakan 4 (empat) rukun lainnya. Hamba yang sempurna keempat rukun akan mampu menunjang ibadah hajinya. Allah berfirman : “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerja-kan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat !” (QS. al-Baqarah : 197).
Kedua, Haji merupakan bentuk undangan-Nya terhadap hamba pilihan. Undangan hadir karena beberapa alasan, yaitu : (1) dikenal oleh yang mengundang. (2) hadiah atas perkenalan yang telah dilakukan sebagai hamba-Nya. (3) sindiran karena “kejahilan” yang tak pernah berubah.
Sungguh, seharisnya manusia malu bila telah memenuhi syarat, tapi tak pernah tergerak langkahnya menuju baitullah. Bila hal ini terjadi, berarti Allah tak mengenal-nya. Ketika Allah tak mengenal, maka apa yang perlu dibanggakannya lagi.
Ketiga, Pakaian ihram perlambang kain kafan. Semua hadir dengan hati suci bagi penghambaan hakiki. Untuk itu, manusia yang memakai kain ihram idealnya mampu “mematikan diri” sebelum kematian tiba. Mematikan diri dalam makna hilangnya nafsu duniawi agar hadir cinta pada-Nya.
Keempat, Thawaf wujud kesatuan arah yang tuju. Berputar melawan arah jam wujud upaya mengangkat penghambaan menuju kualitas yang tinggi. Berbeda dengan arah putaran jam yang menuju ke bawah. Untuk itu, Allah berfirman : “Dan hendaklah mereka melakukan thawaf se-keliling rumah yang tua itu (Baitullah)” (QS. al-Hajj : 29).
Seyogyanya, hamba yang pernah melaku-kan thawaf hanya ber7harap naik kualitas penghambaannya. Sungguh merugi bila sekedar melakukan thawaf, tapi kualitas (iman) semakin menurun dan hina.
Kelima, Sa’i mengingatkan perjuangan seorang ibu (Siti Hajar) yang berupaya melindungi anaknya (nabi Ismail). Upaya yang tak kenal lelah. Di sisi lain, sa’i mengingatkan bakti anak kepada kedua orang tuanya. Perjalanan panjang yang harus dilakukan sebagai wujud anak yang shaleh. Perintah malakukan sa’i merujuk pada firman-Nya : “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar agama Allah. Maka siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya” (QS. al-Baqarah : 158).
Keenam, Wukuf di Padang ‘Arafah simbol Padang Mahsyar. Ketika itu, semua sibuk dengan amal masing-masing. Tak ada yang sempat bergunjing atau menilai orang lain. Semua hanya melihat diri dengan amal yang dilakukan. Sungguh, inti haji adalah wukuf di Arafah. Hal ini merujuk sabda Rasulullah : “Haji itu adalah Wukuf di ‘Arafah, maka barangsiapa yang mengetahui (wukuf di ‘Arafah) pada malam ‘Arafah, hingga menjelang terbitnya fajar dari malam berkumpulnya para jama’ah, maka sungguh hajinya telah sempurna” (HR. Abu Daud).
Ketujuh, Mabit di Musdalifah bermakna menyiapkan “amunisi” menghadapi rayuan iblis dan variannya. Amunisi berupa penguatan iman yang kokoh. Hal ini sesuai sabda Rasulullah : “Aku wukuf (mabit) di sini dan Muzdalifah seluruhnya adalah tempat wukuf (mabit)” (HR. Muslim).
Kedelapan, Melontar jumrah (Mina) wujud kebencian atas semua rayuan iblis dengan menggelontorkan amunisi iman yang tak pernah tergadai. Hal ini sesuai sabda Rasulullah : “Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim).
Melontar jumroh perlu dilakukan sesuai syari’at sebagai napak tilas perjuangan nabi Ibrahim dan nabi Ismail yang meng-usir iblis dengan cara melemparinya. Sedangkan secara hakikat melempar iblis dalam diri dengan amunisi zikrullah dan keteguhan iman.
Kesembilan, Tahallul wujud dihalalkan beberapa larangan selama berihram. Penghalalan ini merupakan bentuk kasih sayang-Nya. Sebab, Allah halalkan semua yang diharamkan bagi hamba yang mampu menjaga iman dengan mengikuti aturan-Nya.
Secara syariat, tahallul ditandai dengan memotong minimal 3 (tiga) rambut. Se-dangkan secara hakikat, tahallul merupa-kan simbol keberhasilan manusia membersihkan diri dari segala hal yang membebani dan mengotori jiwa, seperti dosa, kesombongan, dan pikiran negatif. Namun, bila hati dan pikiran kotor, prilaku tak sesuai perkataan, maka tahallul tak bermanfaat dan tertolak.
Kesepuluh, Thawaf wada‘ wujud akhlak perpisahan hakiki penuh rindu. Perintah ini merujuk pada sabda Rasulullah : “Jangan-lah salah seorang dari kalian berangkat (meninggalkan Makkah) hingga akhir pertemuannya adalah thawaf di Baitullah” (HR. Muslim).
Sayangnya, seluruh rangkaian di atas sebatas aktivitas syariat, belum mampu menggetarkan iman dan membekas pada prilaku. Kalanya, di tanah haramain saja tak khawatir berbuat tercela, apatah lagi setelah kembali di tanah air. Haji bukan sebatas membersihkan kotoran (dosa), tapi setelah bersih kembali dikotori. Sebab, hanya kerbau yang akan mengotori diri setelah ia dibersihkan.
Secara syariat, rangkaian haji di atas tak bisa dilepaskan dari perintah berqurban. Dalam sejarah manusia di muka bumi, awal sejarah perintah kurban diawali kepada putra nabi Adam AS. Adalah sosok Habil dan Qabil. Keduanya diperintahkan untuk berkurban atas hasil profesinya sebagai peternak dan petani. Perintah tersebut merupakan ujian dari Allah untuk melihat kualitas keikhlasan keduanya. Sebagai peternak, Habil memilih hewan tenaknya yang terbaik dan gemuk. Sedangkan, Qabil sebagai petani memilih hasil panen yang busuk.
Dalam ujian tersebut, kurban Habil yang baik dan ikhlas diterima dan kurban Qabil yang busuk dan jelek ditolak. Akibatnya, Qabil merasa tidak puas, iri, dan dengki terhadap Habil yang kurbannya diterima. Ia kemudian berniat membunuh Habil. Meski Habil lebih kuat, tapi ia mampu menahan dirinya dari berbuat dosa. Peristiwa pembunuhan ini kemudian menjadi pembunuhan pertama di dunia. Kisah ini diceritakan Allah dalam QS. al-Maidah : 27-31. Setelah membunuh Habil, Qabil merasa menyesal dan bingung cara menguburkan mayat saudaranya. Untuk itu, Allah mengutus dua ekor burung gagak yang bertarung. Ketika salah satu burung gagak mati, kemudian dikuburkan oleh burung gagak yang masih hidup. Melihat hal ini, Qabil meniru tindakan tersebut untuk menguburkan jenazah Habil.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Allah menunjukkan keburukan yang ditimbulkan akibat sifat dengki yang berujung kezaliman. Kedengkian atas sifat arogan Qabil terhadap Habil yang ikhlas dan kurbannya diterima. Qabil tak mau mengakui kelemahan diri dan memandang orang lain tak pantas melebihi dirinya.
Sifat baik Habil dan sifat buruk Qabil mem-buat nabi Adam sedih. Padahal, ia sangat berharap anaknya tersebut bisa melanjut-kan tugas kenabiannya. Kesedihan yang begitu mendalam terlihat jelas pada diri nabi Adam. Untuk itu, Allah hadirkan dari zuriyatnya seorang yang amanah. Anak tersebut adalah nabi Syits. Kepadanya, Allah anugerahkan ilmu yang luas dan amanah menjaga Nur Muhammad. Tugas ini sangat dirahasiakan dari Qabil yang memiliki sifat dengki dan licik.
Bila dicermati secara seksama, peristiwa awal kurban di atas mengandung pesan bagi anak cucu Adam, antara lain :
Pertama, Keikhlasan dan ketundukan terhadap perintah Allah merupakan pondasi utama amaliah. Sebab, semua aktivitas merupakan perwujudan peng-hambaan. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. al-An’am : 162).
Kedua, Kemuliaan akan diraih bila mengikuti agama. Sedangkan kehinaan akan dipetik bila mengikuti nafsu yang melanggar agama. Hal ini dengan tegas diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al-Quran) dan menghinakan yang lain” (HR. Muslim).
Kemuliaan dihadapan Allah bersifat hakiki. Sementara, ukuran kemuliaan dihadapan manusia acapkali bersifat relatif (nisbi). Ia dinilai mulia tergantung apa yang menjadi harapannya. Ketika ada harapan, kemulia-an selalu diberikan. Tapi, ketika harapan telah diraih atau tak mampu diperoleh, posisi kemuliaan akan sirna berganti hinaan.
Ketiga, Kemuliaan tak bisa diraih pada diri manusia yang memiliki sifat iri, dengki atau berpenampilan shaleh. Hal ini digambarkan pada sosok Qabil. Ia mem-bunuh karena iri atas kurban saudaranya yang diterima-Nya. Bila dahulu Qabil menghabisi Habil dengan cara membunuh (fisik), maka manusia modern melakukan “pembunuhan” dalam wujud melancarkan fitnah. Agar fitnah yang dilancarkan mampu mencapai tujuan, maka berbagai rekayasa dilakukan agar terbuka aib sesama. Hal ini dilakukan sebagai senjata menyebar kebencian pada sesama. Bila hal ini terjadi, maka “keikhlasan” tak akan pernah mampu diraihnya. Ada pula yang meraih kemuliaan melalui cara bathil. Me-ngambil hak yang bukan miliknya menjadi pemandangan yang biasa. Seakan kemulia-an diukur dengan status dan materi. Akibatnya, segala cara dilakukan hanya untuk memenuhi ambisi meraih kemulia-an. Seakan Allah tak lagi dianggap ada atau tak melihat apa yang dilakukan. Pada-hal, Rasulullah telah mengingatkan melalui sabdanya : ““Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian” (HR. Muslim).
Meski ayat dan hadis terpampang jelas, namun begitu nyata pengingkaran dilaku-kan manusia. Hanya mengharap kemulia-an dengan “membeli” apa yang diinginkan. Rasulullah mengingatkan : “Laknat Allah SWT kepada –setiap– pemberi suap dan penerima suap” (HR. Ahmad).
Apa yang dinyatakan Rasulullah merujuk pada firman-Nya : “Dan janganlah sebagi-an kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah : 188).
Demikian jelas rambu kemuliaan (taqwa) dan kehinaan (fujur) yang telah diatur dalam agama-Nya. Untuk itu, tak ada ruang retorika mencari alasan menafsirkan sesuai keinginan nafsu. Sebab, pilihan yang diambil atau diucapkan acapkali bertolak belakang dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Meski manusia bisa ditipu, tapi Allah Maha Tau.
Pelanggaran kalanya dilakukan manusia yang mengetahui semua batasan yang telah digariskan-Nya. Namun, ia hanya sekedar tau tanpa pernah mampu atau mau melaksanakannya. Sungguh, momentum haji berkorelasi terhadap kurban Habil dan Qabil. Ada yang mampu menghadir-kan iman dan amal yang terbaik (ikhlas) ala Habil. Tapi, ada pula yang hanya memanfaat-kannya (haji dan qurban) sebagai ruang mencari keuntungan dan “masker” penutup sifat kemunafikan ala Qabil. Bagi manusia yang kufur, semua ayat-Nya tak mampu terlihat. Akibatnya, manusia hanya mampu menyembelih hewan kurban secara syariat. Sedangkan hakikatnya, ia justeru sedang mengembangbiakan dan mempertahankan sifat kehewanan dalam dirinya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 2 Juni 2025