Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis dan Waketum PB-ISMI)
Secara sederhana, pendidikan berkeadab-an merupakan “proses pendidikan yang berupaya menginternalisasi nilai-nilai agama dan budaya pada diri peserta didik yang berkarakter mulia”. Melalui upaya ini dimungkinkan lahir sosok manusia cerdas, beradab, adaptif, inovatif, berintegritas, dan mampu menghadapi tantangan global dengan tetap mempertahankan harga diri, agama (penghambaan), dan kepekaan sosial (kekhalifahan).
Secara ideal, pendidikan berkeadaban perlu dikembangkan secara tepat, cepat, dan bijak. Ada beberapa penekanan yang perlu diambil, yaitu :
Pertama, Menemukan dan menjaga kebenaran, bukan hanya membangun opini pembenaran untuk menutupi kesalahan (QS. al-Baqarah : 41-42). Menjaga gerbong kebenaran bukan sebatas ungkapan lidah bercabang, tapi kata selaras hati yang sesuai bukti (realita). Sebab, pencitraan tak akan mampu menutupi “bangkai” dan turunnya azab Allah (QS. Ali Imran : 188).
Kedua, Membangun karakter cendekia yang beradab sebagai arah pendidikan unggulan. Pendidikan yang mencerdaskan secara intelektual dan memperkokoh budi pekerti luhur (akhlak al-karimah).
Ketiga, Menghargai perbedaan sebagai kekuatan untuk membangun peradaban (QS. al-Hujurat : 13). Perbedaan bukan di-hindari, apalagi alasan saling membenci.
Pendidikan yang berusaha menghindari ketajaman argumentasi dengan memati-kan (membenci) ruang perdebatan ilmiah, menutup pintu ijtihad dan adab merupakan model pendidikan yang patut ditinggalkan.
Keempat, Membangun potensi diri yang inovatif berlandaskan agama (QS. al-Baqarah : 21) dan kearifan lokal (QS. al-Maidah : 32) untuk menjawab tantangan zaman. Potensi diarahkan untuk tampilnya penghambaan dan kekhalifahan yang rahmatan lil ‘aalamin.
Andai orientasi di atas menjadi ruh konsep pendidikan berkeadaban, maka martabat manusia dan dunia pendidikan akan dapat dijaga. Tak ada lagi transaksional material, kehadiran “ijazah aspal”, gelar akademik tanpa kualitas, “mucikari” karya ilmiah, dan varian negatif lainnya. Pembinaan sebatas teori, padahal secara nyata sebatas pem-binasaan dan “pemerasan” ala penjajah. Eksistensi lembaga pendidikan seyogya-nya menjadi treatment karakter dan ilmu pengetahuan, bukan lembaga “pasar tran-saksional” mencari keuntungan dan kepuasan kepentingan. Sebab, lembaga pendidikan merupakan mercusuar kejujur-an dan kebenaran. Ia harus dijaga dengan “kehormatan dan harga diri”. Namun, tatkala dunia pendidikan “tergadai dan tersandera” oleh nafsu keserakahan, maka “kejahatan intelektual” akan terus terjadi dan diwariskan secara berkelanjutan. Ketika keculasan dunia pendidikan terus dibiarkan, maka wajah peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan akan hancur berantakan melebihi “dunia hewan” (QS. al-A’raf : 179).
Hanya ketika pendidikan berkeadaban di-jadikan tujuan utama, maka harapan bagi terwujudnya peradaban yang rahmatan lil ‘aalamiin akan tercapai. Namun, ketika pendidikan berkeadaban sebatas “jualan lipstik, maka lembaga pendidikan sebatas “pasar transaksi” tanpa moral.
Eksistensi moral (adab) merupakan ruh pada pendidikan berkeadaban. Internali-sasi nilai kemuliaan menjadi daya dorong utama bagi seluruh proses pendidikan. Namun, ketika dunia pendidikan telah ke-hilangan ruh, maka eksistensinya sebatas “tempat pertemuan” para vampir yang bergentayangan. Meski berwajah manusia, tapi berprilaku hewan tanpa malu dan ragu.
Sungguh, pelaksanaan pendidikan berke-adaban sedang “tergadai” oleh keserakah-an kepentingan tak bertepi. Dunia pendidik-an lebih mengejar prestise tanpa prestasi, kuantitas tanpa kualitas, atribut (gelar) tanpa moral, keinginan tanpa kesungguh-an, gemerlap tanpa mengkilap, dan varian lainnya. Andai fenomena yang sedang ter-jadi tak lagi menjadi renungan untuk dilaku-kan perubahan (tetap tergadai), maka dunia pendidikan hanya menghasilkan benalu peradaban. Benalu yang sengaja diternakkan tanpa pernah ingin dibasmi dan diamputasi. Akibatnya, kehancuran peradaban tak lagi bisa dihindari.
Sudah saatnya dunia pendidikan yang ber-keadaban disemai, ditanam, dan dipupuk. Untuk itu, diperlukan sentuhan “tangan” yang beradab dan berkarakter mulia untuk menanamnya agar tumbuh subur “pohon peradaban” yang berbuah kebajikan.
Hanya saja, pendekatan pendidikan berke-adaban (ideal) di atas seakan sedang ter-gadai. Ada beberapa indikasi praktek yang “menggadai” pendidikan, antara lain :
Pertama, Pergeseran tujuan dan orientasi. Idealnya sebagai lembaga yang menanam-kan idealisme berubah orientasi sebatas formalitas, mengejar kuantitas dan “materi” tanpa peduli kualitas dan adab.
Kedua, Pengembangan tidak mengedepan-kan kebutuhan dan profesionalitas. Ia hanya sebatas rutinitas tanpa mimpi, apa-lagi inovasi. Akibatnya, lembaga pendidik-an tak mampu menjadi mesin peradaban dan berkontribusi bagi keummatan.
Ketiga, Berorientasi pada capaian status (ijazah dan gelar), tanpa kualitas (isi dan moral). Tampil pongah bak ilalang tanpa isi (QS. Lukman : 18). Akibatnya, lembaga pendidikan tak mampu menghantarkan lulusan berkualitas bak “padi runduk berisi”.
Keempat, Lembaga yang seyogyanya bisa memanusiakan menjadi lembaga yang se-kedar “berebut status” untuk mengumpul-kan “pundi” disemua lini tanpa henti (QS. at-Takatsur : 1-2), bak sekumpulan serigala memperebutkan daging (QS. al-A’raf : 179).
Kelima, memupuk “rasa malu” agar tak ber-ubah menjadi “rasa mau” (menuruti nafsu). Rasulullah SAW bersabda : “Malu adalah sebagian dari iman dan iman tempatnya di surga. Adapun perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).
Hadis di atas menjelaskan fenomena “kata” yang tak terkendali. Semua merupa-kan cara Allah memperlihatkan watak asli yang selama ini tersembunyi. Melalui “kata” tak terkendali, manusia terjerembab pada kenistaan dan hujatan. Semua diakibatkan hilangnya “pendidikan berke-adaban”. Hadir kepongahan memandang diri mulia, padahal semua hanya nestapa.
Semua fenomena “ketergadaian” dunia pendidikan diperparah dengan hadirnya pelaku tanpa kompetensi mumpuni. Hanya mengejar atribut prestise (pongah) dan kelengkapan administrasi belaka. Akibatnya, orientasi hanya menuntut hak tanpa pernah berkontribusi memenuhi kewajiban berkualitas yang sesuai harapan. Tampil bak sampah yang tak memberi manfaat. Hanya “suara keledai” membahana men-cari pujian. Rasulullah bersabda : “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR. Bukhari).
Kondisi di atas semakin diperparah bila posisi didasarkan “kesepakatan, perminta-an, dan titipan”. Padahal, Rasulullah SAW telah mengingatkan :“Sungguh aku tidak akan mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang berambisi terhadap jabatan itu” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan an-Nasa’i).
Semua begitu nyata. Padahal, al-Quran dan hadis secara tegas telah mengingatkan. Setiap pilihan menunjukan kualitas akal budi setiap diri. Semua pasti akan diper-tanggungjawabkan. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kehati-hatian dalam bertindak dan menilai perlu menjadi perhatian. Merasa diri paling sempurna, padahal pelaku kezaliman yang nyata. Sosok produk pendidikan tanpa adab hanya melihat dengan bilah pisau bermata tunggal (tajam ke bawah, tumpul ke atas dan runcing ke depan, tumpul ke belakang). Penduduk bumi bisa ditipu dengan “sumpah palsu”, tapi penduduk langit akan menyaksikan keburukan yang sedang dipermainkan. Semua prilaku dan keputusan akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah, tanpa bisa ditutupi deng-an “selembar kertas” penuh rekayasa.
Ketika pendidikan berkeadaban tetap terus tergadai, maka langkah perubahan secara individual menjadi pilihan. Upaya yang di-lakukan antara lain : (1) melatih dan meng-isi nilai keadaban pada diri. (2) berpegang teguh pada agama sebagai pondasi harga diri. (3) menjaga marwah agar tak “terjual”.
Ketiga upaya di atas perlu diresapi dan dimiliki oleh para intelektual masa depan. Bila marwah diri telah tertanam, maka bangunan peradaban akan cemerlang. Namun, bila marwah diri telah tergadai, maka kehancuran akan diraih.
Pilihan bijak, cerdas, dan beradab akan menghantarkan terwujudnya pendidikan berkeadaban. Tentu, pilihan bijak ini selalu menjadi harapan seluruh anak bangsa, bukan sebatas euforia. Harapan bijak agar bisa menunjukan jalan keluar dari nestapa peradaban. Nestapa yang tumbuh atas ketidakpedulian para penyandang gelar yang sekedar mengaku intelektual. Andai pendidikan berkeadaban telah tergadai oleh kerakusan “keinginan” yang tak ber-tepi dan diri tak berbudi, maka peradaban semakin terpuruk. Bila hanya “kertas sebatas tanda“, ia bak buih di lautan. Terlihat bersih, nyatanya kotor. Terlihat banyak, tanpa jati diri. Tampil bak raja, sejatinya jelata. Zaman yang mengedepan-kan kuantitas (gelar) tanpa kualitas (adab) akan menciptakan sosok manusia rakus. Ketika “hidangan” disajikan di meja makan, semua berebutan dan saling “menghabisi”, tanpa empati dan harga diri. Semua hadir akibat kesalahan “nakhoda” –di hulu– yang berkarakter nista. Menggadaikan kebenar-an, keadilan, dan menyebar virus kebiadab-an ke “hilir” tanpa pernah mampu diobati. Sungguh, pesan Ki Hajar Dewantoro telah dilakukan secara terbalik (Ing Ngarso Sung Korupsi, Ing Madyo Mangun Dinasti, dan Tutwuri Negosiasi). Sikap yang membuat pendidikan berkeadaban (berakhlak) hanya sebatas mimpi dan semakin terjungkal tanpa marwah. Fenomena ini segogyanya mengetuk pintu hati untuk segera taubatan nasuha. Bukan berprilaku semakin brutal tanpa rasa berdosa.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.



