Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa lepas berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesamanya. Sejak zaman kuno sampai modern, bentuk komunikasi yang dilakukan manusia begitu dinamis. Mulai menggunakan media yang paling sederhana sampai media paling mutakhir. Semua digunakan agar komunikasi berjalan lancar dan efektif. Meski demikian, tanpa disadari berbagai kemajuan media komunikasi yang ada telah merenggut keharmonisan interaksi yang sebenarnya.
Sepanjang sejarah, manusia melakukan komunikasi dan interaksi, menempatkan-nya pada karakter yang berbeda-beda atas bentuk dan apa yang dikomunikasikannya. Karakter tersebut menghadirkan pilihan tipologi manusia, antara lain :
Pertama, Tipologi usus dua belas jari (duodenum). Dalam ilmu biologi, usus ini berfungsi sebagai tempat pencernaan makanan dan penyerapan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Sebelum menuju usus dua belas jari, makanan yang telah dicerna lambung akan menjadi kimus dan bergerak menuju usus dua belas jari (bagian pertama usus halus). Makanan yang bergizi dialirkannya keseluruh tubuh. Sementara makanan yang tak bermanfaat, dibuang melalui jalur pembuangan.
Begitu selektif usus dua belas jari mem-filter dan memilah semua makanan yang masuk. Wajar bila usus dua belas jari bermasalah, maka kesehatan manusia akan terganggu.
Namun, kerja usus dua belas jari tak berkorelasi dengan prilaku manusia, terutama mulut dan akal (didukung jari yang lincah). Berbagai informasi yang diterima acapkali keluar dari mulut dan disampaikan oleh jari tanpa filter. Seakan, dinding kepala (otak) tanpa sekatan, rongga, atau mungkin isinya kosong (sebatas batok kepala). Kondisi ini didukung hati yang membusuk dan kehilangan fungsinya. Ketika kedua alat fikir ini mengalami kerusakan, maka wajar filter diri menjadi terkoyak. Semua meluncur deras melalui mulut dengan tambahan “bumbu-bumbu” racun yang memutus silaturrahim dan merobek bangunan peradaban. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” (QS. al-Ahzab : 70-71).
Kedua, Tipologi jalan tol. Layaknya jalan tol yang bebas hambatan, tipologi ini berkomunikasi tanpa rambu. Bahkan, rambu batas kecepatan acapkali tak dipedulikan. Meski melihat rambu yang ada, pijakan pedal gas semakin ditekan agar semakin kencang.
Demikian tipikal manusia berkarakter jalan tol. Semua yang didengar, dilihat, dan dikatakan tanpa memikirkan kebenaran dan urgensi atas apa yang dibicarakan (sampaikan), apatahlagi mempertimbang-kan perasaan orang lain. Semakin diberi nasihat agar bijak berkomunikasi (langsung atau media sosial), namun semua tak dipedulikan. Ia hanya berinter-aksi sesuai keinginannya, tanpa peduli rambu dan etika. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkata-an yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia” (QS. al-Isra’ : 53).
Ayat di atas merupakan rambu-rambu berkomunikasi. Melalui rambu tersebut, manusia diperintahkan untuk menjaga ucapan dan varian isi media sosial lainnya. Jangan sampai setiap ucapan, ungkapan, dan postingan yang disampaikan justeru membuat fitnah, membangun kesombong-an, dan menyakiti perasaan sesama. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendak-lah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, Tipologi saringan teh (varian lain-nya). Bagai saringan teh, isi yang keluar akan dinikmati oleh orang lain. Sementara yang tinggal padanya hanya ampas belaka. Sosok “saringan teh” hanya mampu memberikan rasa nikmat pada orang lain, tapi tak pernah berdampak positif atas dirinya. Bahkan, saringan menjadi kotor. Sebab, kotoran ampas teh yang membuat saringan semakin berkarat.
Manusia tipikal saringan teh begitu anggun dan suci pada tampilan dan kata yang bisa “disantap” orang lain, namun tersisa ampas kotor pada hatinya. Katanya bagaikan “pahlawan kesiangan”. Berbagai perubahan (prestasi) dinisbahkan pada keberhasilannya secara tunggal. Padahal, semua yang terjadi tak pernah ia lakukan. Untuk itu, tipikal manusia yang demikian telah diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan ?. (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan” (QS. as-Shaff : 2-3).
At-Thabari dalam Jāmi` al-Bayān memberi-kan rincian asbab nuzul ayat di atas. Ayat tersebut turun sebagai teguran bagi sebagian sahabat Nabi yang membangga-banggakan perbuatan yang tidak mereka kerjakan. Mereka berkata “Aku melakukan ini dan itu,” padahal mereka tidak pernah melakukannya. Sikap yang demikian sangat dibenci oleh Allah SWT. Sedangkan menurut Ibn Qatadah, ayat tersebut berkait-an dengan seruan jihad. Ketika itu, ada seorang laki-laki berkata “Aku pasti ber-perang, aku pasti melakukan-nya,” padahal dia tidak melakukannya. Untuk itu, Allah menegurnya dengan teguran yang keras. Teguran tersebut ditujukan kepada orang-orang munafik yang berjanji kepada orang-orang mukmin untuk menolong mereka (di medan perang). Namun kenyataannya, mereka berbohong dan tak melakukan apa yang diucapkan atau dijanjikannya. Sifat manusia tipologi ini diingatkan Allah SWT melalui firman-Nya : “Dan apabila dikata-kan kepadanya, Bertakwalah kepada Allah, bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa. Maka pantaslah baginya neraka Jahanam, dan sungguh (jahanam itu) tempat tinggal yang terburuk” (QS. al-Baqarah : 206).
Imam asy-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menjelaskan, bahwa ayat di atas turun untuk menjelaskan sifat al-Akhnas bin Syuraiq (seorang munafik yang memiliki lisan dan janji yang manis). Sementara Ibnu Katsir menyebutkan bahwa sifat tersebut juga ditujukan pada orang-orang yang beriman agar terhindar dari sifat munafik. Sifat yang memperlihatkan sosok yang baik (shaleh), tapi menyimpan sifat jahat dan zalim (salah). Sosok yang demi-kian sangat berbahaya bagi peradaban.
Keempat, Tipologi benang kusut dan bara di atas tungku. Tipikal ini menghadirkan manusia yang mencari keuntungan atas kusutnya benang peradaban. Kehadiran-nya (teoritis) seakan bijak menyelesaikan masalah, tapi sebenarnya tak lebih hanya memperkeruh keadaan. Kekisruhan yang diciptakan justeru menghadirkan keuntung-an materi. Kondisi ini diperparah bila sosoknya membawa “bara di atas tungku”. Membuat suasana panas, tapi tak ada yang mampu menyentuh. Akibatnya, ia merasa leluasa melakukan berbagai kebatilan. Sebab, kebatilan yang dilakukan memperoleh perlindungan dan tak ada yang mampu “mengenggamnya”. Ingatlah, “setiap kata adalah api dan gerak tangan (coretan) adalah pedang yang tajam”. Untuk itu, berhati-hatilah berucap dan menggunakan kuasa yang diamanahkan.
Pada sisi lain, makna “bak bara di atas tungku” merupakan i’tibar zaman yang menghadirkan kemungkaran terorganisir. Bila tidak waspada dan bijak “mengurai” kekusutan tali masalah, maka setiap upaya untuk memperbaiki akan binasa dan hangus terbakar. Jangan jadikan agama sebatas lipstik dan topeng semata. Sebab, upaya ini telah diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Akan datang pada manusia suatu saat orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang memegang bara api” (HR. Tirmidzi).
Ketika zaman tersebut tiba, hanya pemilik iman (ketaqwaan) dan kesabaran (istiqomah) yang mampu selamat. Hal ini dijanjikan Allah melalui firman-Nya : “….. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas” (QS. az-Zumar : 10).
al-Auza’iy mengatakan bahwa pahala bagi manusia yang meraih kualitas ayat di atas berupa pahala yang tidak ditukar ataupun ditimbang melainkan diberikan tanpa per-hitungan. Sedangkan menurut Ibnu Juraij, pahalanya akan ditambah terus-menerus.
Kelima, Tipologi burung beo. Burung beo memiliki potensi meniru kata yang diucap tuannya. Meski ia tak tau maksud apa yang dikatakannya. Hal ini sering terungkap pada pepatah “bagai burung beo”. Pepatah ini mengandung pesan filosofis yang mengingatkan manusia agar tidak hanya berkata tanpa memahami isinya. Bak burung beo yang memiliki kemampuan meniru ucapan manusia, namun sebenarnya ia hanya mengikuti tanpa memahami apa yang mereka ucapkan. Tipikal ini kalanya hadir pada sosok manusia yang hanya “membeo” tanpa mengerti apa yang diucapkan. Kalanya, ia membeo disebabkan ketidak-fahaman atau ingin “ambil muka” pada orang yang memiliki pengaruh. Tipikal ini memposisikannya bagai “baling-baling di atas bukit”. Bahkan, bila berganti frekuensi “stasiun” berubah pula bentuk “siarannya”.
Seyogyanya, sebagai makhluk cerdas, manusia tidak boleh menjadi sosok yang hanya berkata tanpa mengerti isinya. Sebab, manusia dinilai dari apa yang dilakukan, bukan sebatas apa yang diucapkan. Untuk itu, manusia dianugerah-kan potensi sebagai makhluk ulul albab (akal dan hati). Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “….. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal” (QS. Ali Imran :7).
Menurut Ibnu Katsir, “ulul albab” hanya diraih oleh manusia yang memiliki akal sempurna, bersih, dan mengetahui hakikat berbagai hal secara jelas. Bila demikian, ketika manusia hanya sekedar “membeo” pertanda pemilik akal yang tak berfungsi dan hati yang kotor.
Dari 5 (lima) tipologi di atas, hanya pemilik tipologi 1 (pertama) yang menghadirkan kebajikan bagi peradaban. Namun, tipologi ini “terhimpit” kekuatan 4 (empat) tipologi lainnya. Akibatnya, cahaya kebajikan yang dimiliki hanya tegak lurus menembus langit, tanpa mampu menerangi bumi yang tertutupi rimbunnya pohon kejahilan dan kezaliman. Sementara, 4 (empat) tipologi lainnya hanya mampu “membakar peradab-an” dengan debu yang beracun. Akibatnya, ia yang mampu memunculkan kabut asap tebal (dukhan) yang menyesakkan isi bumi dan menutupi langit. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Maka tunggu-lah hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih” (QS. ad-Dukhan :10 – 11).
Namun, eksistensi 4 (empat) tipologi tersebut tampil lebih dominan dan menguasai panggung peradaban di muka bumi. Wajar bila setelah hilang “cahaya”, ia akan tersingkir (hina) tanpa kebajikan. Allah berfirman : “Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. an-Nur : 24).
Pilihan tipologi tak hanya sebatas untaian janji (kata), tapi wujud prilaku yang harus mengiringi. “Jubah imitasi” bisa dibeli, tapi isi keshalehan yang tertuju pada Ilahi tak akan mampu “dinegosiasi”. Tipologi mana-kah yang akan dipilih dan menjadi pakaian setiap diri ?. Hanya pemilik qalbun salim yang mampu menjawab dihadapan Ilahi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 3 Pebruari 2025