Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Menjelang momentum 100 hari pemerintah-an Prabowo Subianto (Presiden RI ke-8), asa “bersih-bersih” ditubuh NKRI terus dilakukan, terutama pemberantasan korupsi, narkoba, dan judi online (judol). Pada beberapa kasus, asa tersebut telah dilakukan secara cepat, tepat, dan nyata. Upaya tersebut telah menunjukan hasil yang membanggakan dan membangun kepercayaan rakyat. Upaya ini perlu didukung oleh semua pihak. Namun, upaya yang dilakukan pemerintahan Presiden Prabowo perlu diiringi “langkah tak biasa” dan tak pernah terfikirkan sebelumnya. Melalui langkah ini dimungkinkan upaya “bersih-bersih” akan sulit diprediksi dan dielak oleh oknum pelaku yang telah mengotori NKRI. Tapi, bila upaya yang dilakukan masih tetap menggunakan cara lama melalui “langkah biasa” (apalagi biasa-biasa saja)”, maka pengentasannya akan mudah terbaca dan “pelaku yang telah lihai” akan mampu berkelit melepaskan diri atau direkayasa –seakan– lenyap ditelan bumi. Namun demikian, langkah biasa dan langkah tak biasa perlu dikolaborasi secara cermat. Sebab, persoalan yang terjadi bak sebatang pohon. Bila langkah yang diambil tidak tepat, maka upaya “mematikan pohon masalah” akan sulit dilakukan. Ada beberapa langkah kolabarasi antara pendekatan biasa dan pendekatan tak biasa yang perlu dilaku-kan secara tepat, antara lain :
Pertama, Langkah biasa merujuk pada pepatah “mencabut harus dengan akar-akarnya” ternyata masih menyisakan persoalan. Sebab, tak semua pohon mati dengan mencabut akarnya. Terdapat segelintir jenis pohon yang bertunas dengan pucuknya. Meski akar telah dicabut, tapi pucuk luput dari perhatian, tunas masalah akan tumbuh menjadi pohon besar. Apalagi bila muncul isu baru yang membuat masalah sebelumnya menjadi –sengaja–terlupakan. Sebab, upaya langkah biasa pada umumnya hanya mampu menyasar unsur terbatas. Bila sasaran pada akar masalah kalanya tak mampu membongkar semua pohon masalah. Sebab, upaya membongkar akar memakan waktu yang lama dan acapkali setelah ditopang oleh penggiringan opini (viral) yang intens (masif). Sebab, fenomena yang terjadi menghadirkan adagium di masyarakat “no viral no justice”. Bahkan, adakalanya meski telah viral masih lambat, belum, atau tidak ditindaklanjuti. Seakan hilang ketakutan vertikal (imani). Padahal, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Maidah : 8).
Ayat di atas dipertegas oleh Rasulullah dalam sabdanya : “Siapa pun yang menginginkan untuk menjadi hakim (penegak hukum *pen), kemudian keadilannya mengalahkan kezalimannya, maka dia (akan memperoleh) surga, dan siapa pun yang kezalimannya mengalahkan keadilannya, maka dia (penghuni) neraka” (HR Abu Daud).
Hadis di atas menjelaskan urgensi penegak-an hukum bagi terbangunnya keadilan. Namun, hadis tersebut seakan menjelaskan persoalan hukum selalu hadir sepanjang sejarah manusia sejak dahulu kala. Hadir 2 (dua) kutub warna penegakan hukum, yaitu : (1) penegakan hukum sesuai keinginan “sponsor” dan kuasa. Hal ini terlihat pada penegakan hukum yang dilakukan oleh Haman. Penegakan hukum sesuai “telunjuk” keinginan Fir’aun. Hukum pada waktu itu hanya untuk “melayani” kepentingan sang penguasa. (2) penegakan hukum sesuai keadilan yang beradab tanpa “pandang bulu”. Hal ini terlihat pada zaman Rasulullah dan sahabat (khulafa ar-rasyidin). Pada zaman Rasulullah, penegakan hukum yang berkeadil-an tercermin pada sabda Rasulullah : “Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sementara pada zaman sahabat dapat ter-lihat pada pengadilan atas baju besi Sayidina Ali bin Abi Thalib yang dicuri dan dijual oleh seorang Nasrani. Meski Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, namun karena hakim (Syuraih) tak menemukan alasan (bukti) baju besi tersebut dicuri, maka pengadilan memutuskan si Nasrani yang berhak atas baju besi tersebut. Justeru keputusan hakim yang demikian membuat si Nasrani memeluk Islam. Sebab, ia menyaksikan sosok kepemimpinan (Ali bin Abi Thalib) yang tidak menggunakan kuasanya untuk menginter-vensi hakim dalam memutuskan perkara.
Kedua, Langkah tak biasa dengan menyasar pucuk masalah yang biasanya tak tersentuh dan tak terpikirkan untuk diberantas. Padahal, sosok “si pucuk” merupakan “penikmat masalah”. Bak sebatang pohon, bila pucuk masih tersisa, maka akan berpotensi tumbuh tunas pohon masalah berikutnya yang lebih besar. Akibatnya, jejaring masalah tak pernah mampu terselesaikan secara totalitas.
Sungguh, sebatang pohon menghadirkan sejuta pelajaran dan seakan menjawab berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Sebatang pohon terdiri dari akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah. Kesemua unsur pohon saling berinteraksi secara harmonis.
Akar menjadi pondasi dan penopang hidup sebatang pohon. Kualitas akar menjadi standar kekokohan dan kesuburan pohon. Semakin kuat dan sehat akar, semakin kokoh dan subur seluruh unsur pohon. Meski vital, tapi eksistensi akar sangat mudah disentuh dan dibinasakan. Akar hanya sebagai penopang, memberi asupan air, bukan penikmat “gizi dan nutrisi”. Secara kasat mata (umum), “penikmat” hasil kerja keras akar adalah batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah. Tapi, ada unsur penikmat yang acapkali luput dari perhatian dan kajian adalah “pucuknya”. Tanpa disadari, posisi pucuk yang tinggi tampil selalu segar dan berseri. Keberadaannya yang tinggi membuat-nya tak terlihat, tak tersentuh, dan tak begitu dipedulikan.
Fenomena sebatang pohon menampilkan fenomena kehidupan manusia. Berbagai keberhasilan dan kegagalan menyelesaikan masalah selalu dikaitkan dengan “akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah” yang menyebabkan persoalan terjadi. Unsur-unsur tersebut begitu mudah tersentuh dan “dieksekusi”. Bila masih tak tersentuh, berarti ada “penunggu” yang menjaga. Padahal, bila angin berhembus kencang, akar mudah terbongkar, batang mudah tumbang, dahan dan ranting patah, serta daun jatuh berguguran. Tapi “pucuk” tak mudah (pernah) gugur dan koyak. Keberadaan “pucuk” selalu tak tersentuh dan menjadi fokus analisa ketika berbicara tentang pohon masalah. Akibatnya, “pucuk” selalu aman dan lepas dari “sentuhan”, baik hukum maupun aturan sosial (adat) lainnya.
Demikian manusia dalam mengisi dan menyelesaikan persoalan peradaban. Berbagai persoalan yang terjadi dalam pranata kehidupan, pada umumnya yang selalu dicari hanya akar masalah, tubuh masalah, dan buah (dampak) masalah. Tapi “penikmat (penikmat) masalah” luput dari perhatian. Akibatnya, “pucuk masalah” selalu berada pada posisi aman. Bila akar masalah, tubuh masalah, dan buah (dampak) masalah terungkap, maka masalah dianggap selesai. Padahal, penikmat atas semua masalah adalah “pucuk masalah”. Meski semua masalah mampu terungkap, pucuk masalah tetap pada posisi aman. Ia hanya sekedar sampah biasa yang begitu mudah dilupakan. Seyogyanya, posisi pucuk masalah perlu diwaspadai lebih serius. Sebab, seluruh mata rantai persoalan yang ada akan berhilir pada “pucuk masalah” yang menikmatinya.
Berbagai fenomena masalah judi online (judol), pinjaman online (pinjol), narkoba, korupsi, mafia hukum, pungli, nepotisme, dan varian persoalan yang menerpa acapkali hanya fokus pada akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah persoalan. Tapi, pucuk yang menikmati pokok masalah selalu lepas dari perhatian hukum. Padahal, posisi pucuk sangat vitas atas seluruh persoalan yang terjadi. Sebab, bagaikan pucuk pohon, ia berperan vital dalam membantu tumbuhan menangkap cahaya matahari untuk keperluan fotosintesis. Melalui bantuan sinar matahari, pucuk memproses pembentukan karbohidrat tumbuhan hijau. Artinya, keberadaan pucuk memiliki peranan penting dan seharusnya dicermati secara serius, bukan hanya dipandang sebelah mata.
Mungkin “pucuk” begitu lihai meliuk-liuk ketika diterpa angin. Ia sulit disentuh dan tak mudah gugur. Ia pandai melihat gerak alam ketika menerpa pohon. Berbekal posisinya yang “tinggi” dan kelenturannya meliuk, wajar bila ia selalu lepas dari perhatian. Ia selalu selamat meski seluruh pohon tumbang dan binasa. Seyogyanya, bila asa penyelesaian persoalan hadir, maka seluruh unsur mulai akar sampai pucuk patut diperhatikan dan diberantas. Kesemuanya merupakan satu kesatuan masalah. Sebab, bila “pucuk” dibiarkan dan tak pernah tersentuh, maka ia berpotensi tumbuh dan berkembang menghadirkan pohon masalah yang baru. Fenomena ini dapat dilihat pada tumbuhan pucuk merah (syzygium oleana). Jenis tumbuhan yang hidup dari tunas yang ada dipucuknya. Tunas yang tak menjadi perhatian dan acapkali dibiarkan. Akar masalah acapkali dimaknai penyebab (aktor) masalah. Umumnya ia hadir karena memiliki kuasa. Sedangkan pucuk masalah biasanya merupakan “penikmat” masalah. Umumnya ia hadir tanpa kuasa, tapi mampu “menyetir” pembuat akar masalah.
Sadarlah, penyelesaian pohon masalah perlu dilakukan secara totalitas, konsisten, dan melalui “langkah tak biasa”. Dalam tradisi leluhur, kalanya pohon ada sosok “penunggu” yang menjaga dan mengharap “sesajian”. Ada kalanya “penjaga” pohon berupa “benalu” yang menumpang kenikmatan atas pohon masalah. Layaknya benalu, ia acapkali berpenampilan bersih (putih), tapi sebenar-nya berupa racun mematikan. Untuk itu, jangan pernah menyisakan dan menyepele-kan sisi tampilan lembut pucuk. Padahal, posisi pucuk sebenarnya penikmat pohon masalah. Sisi yang tak terfikirkan kalanya justeru merupakan kunci masalah. Bisa jadi komponen masalah yang “diamputasi” ternyata merupakan jenis tanaman “pucuk merah”. Meski akar perlu dibongkar untuk memutus “asupan makanan dan pohon perlu ditebang, tapi bila pucuk tak tersentuh akan berpotensi terus bertunas dan berkembang biak menumbuhkan “pohon masalah” baru secara simultan. Untuk itu, upaya bersih-bersih perlu dilakukan secara tepat, matang, dan konsisten mulai hulu sampai ke hilir. Upaya ini perlu diiringi “amputasi” mulai akar sampai ke pucuk pohon masalah. Jangan sampai asa sebatas retorika. Sebab, negeri ini perlu dibangun dengan kerja nyata tanpa intrik yang penuh rekayasa. Semoga…..
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 20 Januari 2025