Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis
Secara umum, rimba atau jenggala berarti hamparan hutan lebat yang masih terjaga keasrian seluruh unsur flora dan faunanya. Kata rimba selalu disandingkan dengan kata “hutan”. Penggabungan kata “hutan rimba” mengandung 2 (dua) makna, yaitu : (1) deskripsi biologis (fenomena) dimaknai hutan lebat. (2) arti majazi (metafora) se-bagai simbol keberutalan yang dilakukan tanpa aturan. Bagi penganut hukum rimba, pemilik kekuatan akan berkuasa dan semua yang lemah menjadi mangsa. Dasar ini menghantarkan singa dan harimau (kuat dan lincah) dijuluki “si raja rimba”. Baginya, kekuatan dan “keberingasan” yang dimiliki menjadi modal utama agar ditakuti, semena-mena, dan bebas memangsa hewan lainnya. Ia tak pernah berfikir untuk melindungi, tapi hanya berfikir bagaimana bisa kenyang dan leluasa “menyantap” semua yang ada.
Sebagai “raja rimba”, singa dan harimau tak memiliki kepedulian atas keselamatan hutan dari perambah liar. Ia hanya berfikir apa yang bisa dimakan dan dinikmati tanpa peduli apa yang akan menimpa kelestarian hutan pada masa akan datang. Julukan“si raja rimba” hanya untuk ditakuti, bukan disegani untuk melindungi. Sebab, ia hanya menggunakan “kekuatan” untuk menindas dan menguasai, bukan mentaati aturan yang berkeadilan. Eksistesinya hanya sebatas menjual keberingasan dan menyebarkan rasa takut belaka, tapi tak pernah memberi manfaat seisi rimba. Ia hanya berfikir singkat sebatas perut (nafsu) dan keturunannya. Si raja rimba angkuh dengan “titelnya” tanpa pernah mau berkerjasama dengan seisi rimba lainnya. Ia menganggap dirinya hebat dengan kekuatannya dan tak memerlukan bantuan. Si raja rimba hanya ditakuti dan ditinggalkan sendiri. Akibatnya, ia tak mampu menjaga rimba dari eksploitasi manusia yang menguras habis seisi hutan.
Demikian tabiat singa atau harimau si raja rimba. Hanya mengandalkan “kekuatan” dan belangnya. Namun, ia tak pernah sadar bahwa apa yang dilakukan akan merugikan diri dan seisi hutan. Sementara apa yang dilakukan manusia serakah yang mengeksploitasi seisi rimba ternyata melebihi kerakusan si raja rimba.
Fenomena rimba ternyata menampilkan sejuta pelajaran. Di antara pelajaran yang bisa dipetik antara lain :
Pertama, Rimba menghadirkan keaneka-ragaman makhluk. Menyediakan suplai oksigen dan makanan yang menyehatkan. Rimba yang belum rusak senantiasa melindungi semua habitat yang ada. Namun, eksistensi rimba di era modern mengalami kerusakan yang parah. Keanekaragaman hayati semakin rusak dan terancam punah. Rimba menjanjikan kebaikan bila ia dirawat. Tapi, seisi rimba akan murka bila dikhianati oleh manusia yang “merampok” rimba secara brutal. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Telah tampak kesusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia ; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Ruum : 41).
Sungguh, kehidupan kalanya hidup bak “di alam rimba”. Perlu kesadaran atas keter-batasan dan perlunya bantuan sesama untuk menjaga “hutan”. Hanya melalui kerjasama dan saling menghargai, “hutan kehidupan” akan memberi manfaat bagi bangunan peradaban (rahmat lil ‘alamin).
Kedua, Rimba berkonotasi hukum yang berdasarkan kekuatan (kuasa). Ketika Singa dikenal sebagai si raja rimba atas “kekuatan beringas” mematikan, maka seluruh komunitas penghuni rimba akan tunduk padanya. Gelar singa sebagai “si raja rimba” bukan diangkat secara demokrasi, aklamasi, atau “pundi-pundi”. Posisinya sebagai “si raja rimba” disebab-kan “kekuatan beringas” yang dimiliki. Bila berdasarjan kekuatan, maka gajah lebih kuat. Tapi bila sifat licik, kuat, kejam, dan beringas, maka singa yang memilikinya. Karena rimba berisi kumpulan hewan, maka sebutan “hukum rimba” hanya dimiliki dan dianut oleh komunitas hewan. Mereka hanya kenal “aturan memangsa”, tanpa mengenal aturan yang mampu melindungi. Pemenuhan nafsu pribadi dan komunitas menjadi sandaran utama. Halal dan haram tak lagi diikuti, jujur dan khianat tak lagi dipeduli, serta ajaran agama dan hukum tak lagi dipedomani.
Meski istilah “hukum rimba” berlaku di dunia hewan yang hidup di alam rimba, kata ini biasa digunakan pada peradaban nyata. Hukum rimba merupakan ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan prilaku negatif yang hanya dilakukan oleh kumpulan hewan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hukum rimba adalah hukum yang menyatakan siapa yang menang atau yang kuat, dialah yang berkuasa. Istilah ini diambil dari kondisi nyata yang terjadi di hutan. Istilah ini biasa muncul dalam dunia pekerjaan, politik, penegakan hukum, maupun kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu, leluhur menggunakan kata “hukum rimba” untuk mencitrakan ciri komunitas manusia yang menggunakan “aji mumpung” kuat, berkuasa, kaya, status, atau varian lainnya untuk menguasai sebagian atau semua unsur dan sistem dalam masyarakat secara sewenang-wenang.
Meski hukum rimba lebih dominan dikonotasikan pada kekuatan beringas si raja hutan dan diikuti oleh variannya, tapi hukum rimba juga dikonotasikan kelicikan, kemunafikan, atau varian sifat negatif lainnya. Pemaknaan hukum rimba sebagai prilaku “menghalalkan segala cara” dengan melanggar aturan dan adab yang ada. Apa-lagi bila si raja rimba memiliki sifat monyet yang egois, angkuh, sombong, iri, licik, dan serakah. Hewan ini mempunyai rasa bersaing yang hebat. Namun, sifat ini membuatnya amat mahir menyembunyi-kan perilaku aslinya dan menampilkan tindakan munafik. Sifat dan prilaku seakan penurut tapi menyimpan sifat kelicikan, seakan sosok yang baik tapi menyimpan kejahatan yang keji, seakan memaafkan tapi menyimpan dendam kesumat, seakan pendiam bila di depan tapi biang keributan bila di belakang, atau varian sifat lainnya. Semua dilakukan seakan hukum hanya berlaku untuk di luar dirinya, tapi bagi dirinya semuanya diperbolehkan. Hal ini terkadang terlihat pada perilaku manusia. Tampil seakan penurut dan berbudi bila berhadapan dengan sesama atau atasannya, tapi sebenarnya ia sosok pemberontak dan nista bila dibelakang. Bila singa berani menunjukkan keberingasannya meski ketika sendiri, namun berbeda dengan sifat monyet yang takut bila sendiri dan sangat berani bila berada di tengah komunitasnya.
Ketiga, Di hutan rimba terdapat berbagai jenis dan ukuran kayu. Dari sekian banyak kayu, manusia selalu memilih kayu yang lurus dan besar untuk ditebang. Sebalik-nya, kayu yang bengkok selalu dibiarkan dan terus berkembang. Fenomena ini menjelaskan sifat segelintir manusia dalam kehidupan modern. Ia akan memusuhi pemilik kejujuran dan amanah untuk “dimusnahkan”. Anehnya, terhadap manusia yang khianat, zalim, dan melang-gar aturan justeru diberi ruang tumbuh subur “berakar tunggang”. Padahal, Allah secara tegas telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (jangan pula) kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. al-Anfal : 27).
Keempat, Rimba peradaban modern dan keserakahan tak terbatas. Fenomena hukum rimba dan karakter si raja rimba era modern menembus semua sisi potensi yang ada. Eksistensinya menerpa pada hampir semua strata. Mulai dari kelas sosial paling rendah sampai tinggi menju-lang, mulai kaum intelektual sampai tak pernah mengenyam pendidikan, pekerja kasar di tengah terik matahari sampai pekerja di ruang dingin dan berdasi, kaum miskin sampai konglomerat dengan timbunan harta menggunung, mulai anak kecil sampai kaum jompo, bahkan laki-laki atau perempuan, dan strata sosial lainnya. Atas potensi keserakahan manusia tanpa kendali, maka Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Hadis di atas menjelaskan sifat manusia yang serakah. Sifat ini tidak akan pernah hilang kecuali setelah ajal menjemputnya. Keserakahan merupakan sikap tak pernah merasa puas dengan yang sudah dicapai. Karena ketidakpuasannya, maka segala cara ditempuh, bahkan tak peduli bila me-langgar agama-Nya dan saling memangsa.
Keserakahan merupakan salah satu jenis penyakit hati. Jika si raja rimba serakah sebatas memenuhi perutnya. Kebutuhan perut yang sangat terbatas. Bila telah kenyang, maka ia akan berhenti. Akan tetapi, keserakahan nafsu manusia bukan hanya sebatas kenyang, tapi melampaui batas kewajaran makhluk hidup dan batas ruang perutnya. Dorongan nafsu yang dimiliki, menjadikan manusia selalu menginginkan lebih banyak (tak terbatas). Dorongan ini akan menggiringnya melakukan upaya yang tidak peduli apakah dibenarkan syariat atau bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ia tak peduli apakah harus mengorbankan atau menjual kehormatan diri atau masa depan orang lain. Baginya, semua dilakukan hanya untuk tercapainya dorongan nafsunya.
Sungguh, hukum rimba di hutan rimba hanya dilakukan oleh hewan yang memiliki kekuatan, keserakahan, dan keberingasan. Ketiga komponen ini menjadikannya merasa paling benar dan bebas berbuat sekehendaknya tanpa aturan. Demikian dampak “hukum rimba” sepanjang sejarah. Praktik prilakunya hanya didorong oleh dominasi sifat hewani. Akibatnya, nilai kemanusiaan yang asasi menjadi sirna. Hal ini berdampak semakin suburnya keserakahan manusia yang melampaui kebuasan si raja rimba belantara.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 7 Juli 2025.