Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Pergantian tahun (masa dan usia) acapkali hanya sebatas deret hitung (kuantitas), bukan deret ukur (kualitas). Ilmu dan teknologi berkembang pesat, tapi tak berkorelasi terhadap karakter manusia yang mengisinya. Hadirnya sindrom latah bermedia sosial (ruang digital) yang begitu masif terjadi merupakan indikasi ketidakcerdasan manusia modern.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sindrom latah merupakan ” kumpulan gejala yang muncul secara bersamaan pada diri penderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain”. Sindrom latah merupakan reaksi spontan dan berlebihan yang terjadi ketika seseorang dikejutkan oleh hal tertentu, baik suara keras atau sentuhan (gerakan) tak terduga (jumping frenchman of maine). Reaksi latah bisa berupa mengulangi perkataan orang lain (ekolalia), menirukan gerakan orang lain (ekopraksia), mengeluarkan kata-kata yang dianggap tabu atau kotor (koprolalia), dan melaksanakan perintah yang disampaikan orang lain secara spontan (automatic obedience).
Secara medis, belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya sindrom latah. Namun, ada beberapa kondisi yang diduga dapat memicu terjadinya latah, antara lain : gangguan spektrum autisme (sindrom asperger), gangguan mental (skizofrenia), penyakit parkinson, demensia, radang otak (ensefalitis), stroke, epilepsi, cedera kepala, budaya, atau lainnya.
Sindrom latah begitu kental terlihat pada manusia modern. Sentuhan media sosial yang menyajikan ruang komunikasi digital ditenggarai menyuburkan sindrom latah dengan berbagai variannya. Ada beberapa indikasi sindrom latah yang sedang terjadi di media sosial (WA, IG, FB, Tiktok, Youtube, atau lainnya) antara lain :
Pertama, Latah melakukan penghujatan dan membuat atau menyebar berita hoax. Kata menghujat umumnya hadir beriringan rasa benci dan kata memuji hadir beriringan rasa senang. Kedua kutub sifat ini menghadirkan penilaian dengan mengguna-kan “kacamata kuda”. Bagi yang membenci, tak ada guna dalil pembenaran dimunculkan. Sedangkan bagi yang menyenangi, tak ada guna bukti kesalahan diungkapkan. Sebab, semua dalil tak pernah akan dipercaya dan bermanfaat.
Sindrom latah suka menghujat diiringi bumbu berita palsu (hoax). Sindrom ini didorong kebencian atas objek yang dihujat. Berita rekayasa (hoax) bertujuan agar pembaca (orang lain) ikut membenci objek yang diberitakan. Begitu ada berita negatif atas objek yang dibenci, hadir secara spontan sindrom latah menyebarkannya tanpa pernah difikir secara seksama (kebenaran) atas apa yang dilakukan. Sungguh, “ajakan membenci bagaikan racun yang diminum sendiri, tapi berharap orang lain yang akan mati“. Anehnya, meski objek yang dibenci tak berkaitan atau merugikannya (penyebar) secara langsung, tapi sindrom latah menghadirkan “kepuasan” bila berita yang bernada hujatan dan berisi kebencian mampu disebarluaskan. Padahal, si penyebar tak memperoleh keuntungan secara materi atas kebencian yang diunggah. Sungguh aneh manusia berprilaku demikian. Kepuasannya hadir hanya ketika berhasil membangun kebencian pada sesama. Sifat ini sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olok-an) lebih baik dari perempuan (yang meng-olok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memang-gil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang-siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. al-Hujurat : 11).
Berkaitan ayat di atas, Rasulullah menegas-kan pula melalui sabdanya : “Cukup seorang itu menjadi pendusta bila ia membicarakan semua informasi yang didengarnya” (HR. Muslim).
Demikian pula kata pujian membumbung tinggi pada objek yang senangi. Padahal, apa yang dilakukan tak berkualitas sama sekali. Namun, sindrom “angkat telor” hadir karena terselubung maksud tertentu. Tujuannya agar orang yang dipuji akan tersanjung. Tak ada tersisa kejelekan bagi yang puji dan tak pula sedebu hadir kebaikan pada yang dibenci.
Kedua, Latah berbangga diri (ujub), sombong, dan memandang rendah orang lain. Sindrom latah pada dimensi ini terlihat pada kebiasa-an berflexing ria. Media sosial memberi ruang publikasi. Namun, kalanya publikasi yang dipertontonkan justeru hanya untuk “memamerkan diri” atau kolega. Bahkan, bentuk aktivitas flexing yang dipamerkan (diunggah) berkaitan kehidupan pribadi, keluarga, kekayaan, status atau prestasi yang diperoleh, atau kegiatan yang remeh-temeh (sepele) dan tak bermanfaat. Trend flexing bukan hanya pada aktivitas duniawi, bahkan terhadap rangkaian ibadah yang dilakukan-nya. Semua diunggah agar memperoleh pujian atas aktivitas kehebatan dan keshaleh-annya. Prilaku ini berdampak pada sifat riya’ atas apa yang dimiliki atau diraih. Padahal, apa yang dilakukan merupakan sifat tercela. Untuk itu, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada kalian adalah syirik kecil. Mereka bertanya, apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah ?. Beliau menjawab, riya’. Allah pada hari kiamat akan memberi balasan amal para hamba yang demikian seraya berfirman, “Pergilah kalian kepada mereka yang kalian riya’ di hadapan mereka ketika kalian berada di dunia lalu perhatikan apakah kalian mendapatkan pada mereka balasan ?” (HR. Ahmad).
Fenomena di atas anehnya justeru menjadi “lahan pekerjaan” yang menghasilkan pundi-pundi. Akibatnya, hampir tak tersisa ruang privasi yang dimiliki. Sementara, segelintirnya melakukan publikasi diri tanpa tujuan materi. Tujuannya hanya untuk memenuhi kepuasan memamerkan semua yang dimiliki atau dilakukan. Untuk itu, sindrom latah ini mendorongnya selalu mengabadikan setiap momen aktivitas (pelesiran, makan minum, gaya hidup), status, kekayaan, dan prestasi yang diraih untuk dipublikasi melalui media sosial. Sikap pongah (riya’) menikmati atas apa yang dimiliki, tanpa “merasakan” dampak yang ditimbulkanya.
Dua jenis sindrom latah di atas begitu banyak ditemukan di media sosial. Fenomena ini merupakan prilaku manusia berperadaban rendah. Mereka begitu senang unggahannya dipuji dan tak suka bila disanggah (dikritik). Mereka hanya ingin dikenal tanpa memberi manfaat. Bahkan, informasi hoax dan kebencian merupakan bentuk perlawanan atas sosok yang dibenci, tanpa berani menunjukan diri atau berhadapan langsung dengan objek yang dihina. Namun, kebencian begitu mudah berubah bila ada kepentingan. Unggahan benci berubah menjadi pujian menjulang, bahkan menembus “langit logika”.
Sungguh berbeda terbalik dengan prilaku pemilik peradaban tinggi. Mereka justeru “tampil biasa” dengan prestasi luar biasa. Ia tak ingin menyombongkan diri, tapi hanya untuk disyukuri. Ia tak ingin “melukai” tapi menjaga perasaan sesama. Ia ingin berbagi tanpa perlu diketahui orang lain. Karakter manusia yang demikian selalu berusaha menjauhi sindrom latah. Ia hanya menjadikan media sosial sebagai fasilitas untuk lebih bermanfaat dan mencerdaskan, tanpa melukai perasaan sesama. Sungguh, “kerang yang memiliki mutiara selalu menyembuyikan isinya”. Sementara manusia yang “hampa” justeru sibuk mempertontonkannya. Adapun indikasi manusia bijak yang terhindar dari sindrom latah dalam memanfaatkan media sosial (ruang digital) antara lain :
Pertama, Media sosial sebagai jembatan perantara menjalin silaturrahim dunia maya. Hal ini disebabkan ruang waktu manusia modern yang terbatas. Untuk itu, kehadiran media sosial menjadi jembatan penghubung yang efektif bagi ikatan silaturrahim lintas wilayah. Hal ini merupakan prinsip yang disyariatkan dalam ajaran Islam. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya : “Tidak ada dosa yang lebih pantas disegerakan balasannya bagi para pelakunya di dunia bersama dosa yang disimpan untuknya di akhirat daripada perbuatan zalim dan memutus silaturahmi” (HR. Abu Daud).
Dalam riwayat lain, Rasulullah mengatakan dampak positif yang diperoleh bagi penjaga silaturrahim melalui sabdanya : “Barangsiapa yang senang agar dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim” (HR. Bukhari).
Meski kualitas jalinan silaturrahim lebih baik secara tradisional (offline), namun alternatif silaturrahim secara online menjadi pilihan. Hanya saja, silaturrahim melalui media sosial perlu dilakukan secara bijak dalam memilih diksi yang lebih beradab. Jangan sampai pilihan diksi menjadi penyebab putusnya silaturrahim. Dalam Islam, memutuskan hubungan silaturahmi dilarang kecuali atas alasan yang dibenarkan syariat. Untuk itu, penggunaan kata yang baik (ahsan) menjadi acuan utama.
Kedua, menjadikan media sosial sebagai penyambung informasi dan diskusi yang mencerdaskan, berbagi ilmu, atau petuah kebajikan. Meski isi konten yang disuguhkan dalam media sosial didominasi informasi konstruktif, namun secara kuantitas, “pelayaran” pengguna media sosial untuk konten ini masih sangat rendah dan konten mencerdaskan kurang diminati. Ia tergerus oleh 2 (dua) konten sindrom latah di atas. Akibatnya, ketika konten-konten untuk mencerdaskan tak lagi digubris, apalagi menjadi asupan utama manusia modern. Untuk itu, wajar bila isi peradaban modern kehilangan vitamin dan ruh. Sebab, pengguna konten media sosial lebih senang “menyerbu” informasi destruktif. Padahal, semua yang disantap berupa “tumpukan sampah” yang mengotori ruang peradaban.
Sungguh, media sosial memberi ruang untuk menyebarkan kebajikan dan melaksanakan ajaran agama (dakwah). Tentu ruang dakwah yang rahmatan lil ‘aalamiin, bukan hujatan yang hanya bertujuan membenarkan faham tertentu. Bila isi konten berselindung pada agama, namun muatannya berisi cercaan, maka konten yang demikian patut ditinggal-kan. Sebab, pendekatan yang demikian tak mencerminkan kemuliaan akhlak Rasulullah SAW. Sungguh, bagi pemilik ilmu (hakiki), media sosial merupakan “hamparan sajadah” ruang munajat pada-Nya dan melaksanakan ajaran (akhlak) Rasul-Nya. Setiap ruang media sosial diisi nilai-nilai kebajikan, bukan kesombongan dan kemunafikan. Hal ini merupakan harapan baginda Rasulullah yang dinyatakan melalui sabdanya : “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).
Meski kepedulian penggiat konten ilmu pengetahuan tak berkorelasi tegak lurus secara material dan penghargaan sosial, namun ia senantiasa mulia dihadapan-Nya. Aktivitasnya selalu ditunggu penghuni langit. Untuk itu, seyogyanya konten yang berisi ilmu-Nya menjadi ruang perhatian bagi hamba-Nya yang berharap cinta-Nya. Sebab, apa yang dilakukan bagai wujud interaksi ilmu antara nabi Musa dan nabi Khaidir. Hal ini dinyata-kan Allah melalui firman-Nya : “Musa berkata kepada Khaidir, “Bolehkah aku mengikutimu agar kamu mengajarkan mengajarkan ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah mengajarkan kepadamu ?” (QS. Al Kahfi : 66).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menjelaskan bahwa suatu ilmu yang pernah diajarkan oleh Allah kepada nabi Khaidir (pemancar) agar Musa dapat menjadikannya sebagai pelita dalam mengerjakan urusan, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh. Demikian pula bagi manusia yang berharap pelita-Nya akan selalu haus informasi yang bermuatan ilmu yang mencerdaskan.
Sungguh, berbagai pilihan terbentang luas. Pilihan untuk meneruskan sindrom latah yang berujung waham atau berubah menjadi faham. Bila waham yang dipilih dan ditradisi-kan, maka akan menghadirkan penyakit pada keyakinannya (agama) yang tidak sesuai dengan prilaku dan kenyataan (munafik). Penyakit ini sangat sulit dirubah secara medis dan logis. Meski berbagai pengobatan dan nasehat (ilmu) disampaikan, namun prilaku yang mengalami sindrom latah dalam bermedia sosial sangat sulit untuk ditinggal-kan. Sebab, sindrom latah ini berakibat delusi yang mengindikasikannya sedang mengalami gejala gangguan mental yang serius. Atau pilihan cerdas sebagai tanda manusia yang faham atas ayat-ayat-Nya. Semua pilihan memiliki kosekuensi akan dipertanggung-jawabkan. Hal ini berulangkali (31 kali) diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?” (QS. ar-Rahman). Entahlah…..
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 6 Januari 2025