Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Pada hakikatnya, kehadiran bulan ramadhan merupakan bentuk undangan Allah kepada hamba-Nya (QS. al-Baqarah : 183) yang ingin memperoleh kemuliaan (taqwa). Dalam konteks ini, paling tidak ada 3 (tiga) tipologi manusia dalam merespon undangan-Nya tersebut, yaitu : (1) menghadiri undangan yang diberikan. Bagi yang datang menghadiri, ada 2 (dua) bentuk tampilan, yaitu : (a) ia datang dengan penuh bahagia dan gembira (keimanan) ; (b) ia datang dengan rasa keterpaksaan. (2) menerima undangan, namun hanya hadir sebatas “setor muka” (jasmani). Tapi sebenarnya hati dan perasaan-nya tak pernah hadir memenuhi undangan tersebut. (3) ada pula yang tak mau datang sama sekali untuk menghadiri undangan-Nya.
Pada undangan ramadhan, Allah suguhkan berbagai hidangan (pahala) untuk dinikmati manusia yang bijak beriman. Ada beberapa respon atas hidangan yang disediakan, antara lain : (1) lahap menyantap hidangan nikmat yang tersedia dengan penuh bahagia. (2) sekedar mencicipi ala kadarnya. (3) ada pula yang enggan dan tak menyentuh sama sekali hidangan yang tersedia. Sebab, semua makanan yang disuguhkan tak ada yang menarik dan mengundang selera. Padahal, hidangan yang tersedia begitu lezat dan menyehatkan (jasmani dan rohani). Mungkin seleranya lagi bermasalah karena ia sedang menderita penyakit iman (mati rasa).
Kini, syawal hadir dengan harapan agar terjadi peningkatan kualitas setelah sebulan ditempa selama ramadhan. Bila analogi besi berkarat dijadikan contoh, maka setelah ditempa “panasnya” ramadhan, seyogyanya berguguran semua karat yang menempel.
Ketika hal ini terjadi, maka tampil besi yang sejati yang berkualitas, tanpa “kotoran” melekat. Kondisi ini akan menaikan kualitas dan harga besi. Demikian pula halnya pada manusia pelaku dosa dan kealpaan. Sebab, kehadiran bulan ramadhan memanaskan iman agar dosa yang berkarat mampu berguguran. Bila hal ini mampu diraih, maka ramadhan akan mampu menempa fitrah manusia agar hidup sesuai aturan agama (QS. ar-Rum : 30), yaitu addin hanif. Ketika kualitas kesucian diri ini mampu diraih, maka ia akan terlihat pada syawal (bulan peningkatan) kualitas penghambaan. Kualitas ini akan terawat dan terjaga tatkala suplemen kesehatan hati (iman) terpenuhi. Suplemen tersebut dapat dilakukan melalui asupan vitamin ala Tombo Ati.
Tombo Ati adalah tembang tradisional Jawa yang diciptakan oleh Sunan Bonang. Ia menciptakan lagu ini sebagai sarana dakwahnya agar mudah diingat, diterima, dan dipahami. Lagu ini berisi tentang 5 (lima) cara untuk mendapatkan ketenangan (kesehatan) hati dan menjaga nilai spiritual.
Layaknya racikan obat, melalui syair Tombo Ati, Sunan Bonang menawarkan ruang untuk mengobati derita diri (horizontal) dan mampu merawat amal ibadah (vertikal) agar terjaga. Upaya ini dilakukan agar seluruh amal berbekas dan dipertahankan (istiqamah).
Sungguh, bulan ramadhan telah berlalu me-ninggalkan berbagai bekas yang telah diukir. Seyogyanya, semua akan terlihat mewarnai diri di bulan syawal dan bulan-bulan setelah-nya. Di antara perwujudan Tombo Ati sebagai perawat nilai ramadhan terlihat pada manifestasi atas seluruh bagian amaliah selama bulan ramadhan, antara lain :
Pertama, Baca al-Qur’an dan maknanya. Meski perintah membaca secara tegas diperintahkan melalui QS. al-‘Alaq : 1-5, namun ianya perlu diiringi dengan rangkaian memahami maknanya. Dengan mengetahui maknanya, maka al-Quran akan menjadi penyuluh kehidupan. Hal ini dipertegas melalui firman-Nya : “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas-an-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)….. (QS. al-Baqarah 185).
Sungguh, aktivitas amaliah tadarrus al-Quran yang dilakukan selama ramadhan perlu dijaga. Namun, kebiasaan ini perlu ditingkat-kan dengan memahami maknanya. Sebab, bila al-Quran mampu dipahami maknanya, maka ia akan menjadi tuntunan, bukan se-kedar “tontonan”. Melalui aktivitas ini, al-Quran akan menjadi media komunikasi antara hamba dengan Allah secara dialogis. Majelis al-Quran ini sangat disenangi oleh Allah. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya :“Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid), untuk membaca Al-Qur’an dan mempelajari-nya, kecuali akan diturunkan kepada mereka ketenangan, dan mereka dilingkupi rahmat Allah, para malaikat akan mengelilingi mereka dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk-Nya yang berada didekat-Nya (para malaikat)” (HR. Muslim).
Kedua, Dirikan shalat malam (qiyamul lail). Shalat malam merupakan media meditasi meraih ketenangan jiwa. Shalat malam men-jadi jembatan hamba “mengadukan” semua persoalan yang dihadapi dengan Rabb-nya. Ketika hal ini dilakukan, maka himpitan per-soalan akan terasa ringan dan rahasia diri akan terjaga oleh Yang Maha Penjaga. Tak ada ketenangan atas berbagai persoalan dan nikmat yang diperoleh bila disampaikan pada Allah Yang Maha Melindungi dan Maha Pemberi Solusi. Begitu besar manfaat shalat malam bagi hamba yang mengharap kete-nangan jiwa. Hal ini dinyatakan secara jelas oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Hendak-nya kalian melakukan shalat malam, karena shalat malam adalah hidangan orang-orang saleh sebelum kalian, dan sesungguhnya shalat malam mendekatkan kepada Allah, serta menghalangi dari dosa, menghapus kesalahan, dan menolak penyakit dari badan.” Dan Nabi saw bersabda: “Sebagus-bagus lelaki ialah Abdullah, andai saja ia suka shalat di waktu malam.” Salim berkata: “Sejak saat itu ‘Abdullah tidak tidur di waktu malam, kecuali sebentar sekali” (HR Al-Bukhari).
Ketiga, berkumpul dengan orang-orang yang shaleh, bukan komunitas orang yang salah. Untuk itu, Islam menganjurkan untuk memilih teman yang baik, berakhlak mulia, dan amanah. Sebab, teman yang baik dapat akan dapat membantu menuju jalan kebaikan dan menjauhi keburukan atau berbagai pelang-garan. Sungguh, berbagai pelanggaran terjadi kalanya disebabkan oleh pengaruh kerjasama pilihan teman yang salah.
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlu-kan orang lain. Hidup tanpa teman akan terasa kering. Untuk itu, Islam menganjurkan untuk mencari teman yang baik agar bisa memberikan manfaat kebaikan dalam kehidupan. Mencari dan memilih teman yang baik bukan perkara mudah, akan tetapi tanpa berusaha mencarinya, maka mustahil akan menemukannya. Hal ini diingatkan Allah me-lalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman !. Bertakwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)” (QS. at-Taubah :119).
Berteman merupakan bentuk interaksi sosial yang bisa mempengaruhi keadaan seseorang. Ketika pertemanan hadir pada sosok yang benar, maka akan banyak ilmu, hikmah, dan manfaat yang diperoleh. Namun, ketika salah memilih sosok yang dijadikan sebagai teman, maka kesalahan (ibarat percikan api) akan mengenai dirinya. Untuk itu, Rasulullah berpesan : “Perumpamaan teman yang baik dengan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dengan pandai besi, ada kalanya penjual minyak wangi itu akan menghadiahkan kepadamu atau kamu membeli darinya atau kamu mendapatkan aroma wanginya. Sedangkan pandai besi ada kalanya (percikan apinya) akan membakar bajumu atau kamu akan mendapatkan aroma tidak sedap darinya” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Hamzah Qasim dalam kitab Manar al-Qari menjelaskan bahwa hadis di atas perlu dipahami dalam makna kiasan. Sebab, nabi Muhammad mengumpamakan teman baik (amal dan akhlak) bagaikan orang yang membawa minyak misk yang begitu harum. Sedangkan teman buruk diumpamakan dengan pandai besi yang dapat memercikkan api permusuhan dan aroma yang menyengat.
Meski ayat dan hadis di atas begitu jelas, namun kalanya justeru berbalik arah. Pilihan lebih merangkul teman yang salah dan menyingkirkan teman yang shaleh. Akibatnya, komunitas kesalahan semakin “subur” dan pemilik keshalehan semakin “terkubur”.
Keempat, Perbanyaklah berpuasa sunnat. Hal ini bertujuan meningkatkan ketakwaan, pahala, keberkahan, memperbaiki diri, melatih kesabaran, membangun kebiasaan mulia, dan meningkatkan fokus guna meminimalkan stres. secara fisik, puasa sunnat memberi waktu bagi oragan tubuh beristirahat dari proses pencernaan, membantu detoksifikasi, dan meningkatkan metabolisme. Hal ini sesuai sabda Rasulullah : “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu” (HR. Bukhari).
Manusia yang membangun kebajikan pada diri akan menghadirkan kebajikan pada orang lain. Tapi, bila pada diri sendiri tak mampu berlaku seimbang dan adil, maka bagaimana mungkin berharap kebaikan untuk sesama.
Kelima, Zikir malam diperbanyak. Hal ini merupakan bentuk keseimbangan hidup. Sebab, ketika siang manusia begitu banyak beraktivitas untuk urusan horizontal. Untuk itu, Allah meminta hamba-Nya menyisakan sedikit waktu membangun komunikasi penghambaan (vertikal). Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu…” (QS. al-Baqarah : 152).
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa bila manusia mampu meraih maksud ayat di atas, maka sesungguhnya “ingatnya Allah kepadamu jauh lebih banyak daripada ingatmu kepada-Nya”. Alangkah beruntung manusia pilihan yang senantiasa ingat dan meraih cinta-Nya.
Ketika kehadiran atas undangan ramadhan ditemui dengan iman, maka suguhan “jamuan-nya” akan mampu dinikmati. Bila Tombo Ati hadir sebagai suplemen untuk 11 (sebelas) bulan ke depan, maka nilai ramadhan akan mampu dirawat dan membekas dalam diri. Bekas yang membantu setiap diri melakukan metamorfosis menjadi hamba-Nya yang berkualitas paripurna (taqwa). Bak ulat yang menjijikan berubah menjadi kupu-kupu yang berwarna warni nan indah dipandang mata.
Namun, tatkala undangan ramadhan sebatas “basa basi” atau tak dipenuhi, suguhan lezat “jamuannya” tak pernah disentuh, dan Tombo Ati tak dijadikan suplemen untuk menjalani kehidupan, maka kehadiran ramadhan selama sebulan tak akan mampu berbekas. Bila sebulan ibadah ramadhan (kontinue) tak mampu membekas, maka akan sulit bagi ibadah temporer yang singkat bisa mem-bentuk karakter diri. Demikian hukum logika atas pilihan fenomena yang ada. Kondisi ini diperparah tatkala karakter “kerbau” dijadikan tradisi. Ketika telah bersih, kerbau selalu kembali mencari lumpur untuk mengotori dirinya. Lalu, pada posisi mana setiap diri ?. Entahlah. Hanya Allah dan setiap diri yang tau. Namun, manusia kalanya menafikan dan tak mau mengakuinya. Tampil dengan mempublikasikan berbagai bentuk kesalehan, padahal sebatas upaya menutupi tumpukan kesalahan semata.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 7 April 2025