Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Setiap tanggal 1 muharam, ditetapkan sebagai titik awal pergantian tahun hijriyah (kalender Islam). Meski secara historis maupun substansi mengandung makna yang sangat dalam, namun acapkali terlupakan. Keterlupaan dan kealpaan pada aspek waktu, historis, apatahlagi makna monumental yang terkandung pada peristiwa hijrah, menggiring pergantian tahun hijrah sebatas rutinitas euforia semata. Padahal, hijrah memiliki makna yang luas dan titik tolak bagi terbangunnya peradaban dunia yang lebih baik saat ini.
Secara bahasa, kata hijrah berasal dari bahasa Arab hajara yang berarti berpindah (tempat/keadaan/sifat). Secara historis, hijrah ditandai pindahnya Rasulullah SAW dan para sahabat dari kota Mekkah ke Yatsrib (Madinah). Tujuannya untuk menyelamatkan diri dari kota (kala itu) penuh ancaman dan kufur menuju kota yang aman dan penuh keimanan. Secara substansi hijrah bertujuan meninggalkan keburukan atau kondisi yang bertentangan dengan al-Quran dan hadis, serta membangun peradaban yang berdimensi spirit pengabdian dan rahmatan lil ‘aalamiin. Meski dimensi ini bersifat umum, namun bukan berarti melupakan dimensi khusus. Hal ini berkorelasi dengan semangat moderasi beragama dalam konteks toleransi. Acapkali “rahmatan lil ‘aalamiin” dan moderasi beragama penekanannya lebih berorientasi pada dimensi antar umat beragama, terutama mayoritas terhadap minoritas. Akibatnya, implementasi sisi aktivitas (pada beberapa fenomena) minoritas terhadap mayoritas dan intern umat seagama kurang terpikirkan dan menjadi fokus kajian. Padahal, nilai hijrahnya Rasulullah terimplementasi dengan lahirnya Piagam Madinah. Praktek yang dicontohkan Rasulullah diawali bangunan toleransi intern Islam (solidaritas muhajirin dan anshar) yang kokoh. Setelah bangunan intern kokoh, kemudian dilanjutkan pada bangunan toleransi antar umat beragama yang saling menghargai secara timbal balik.
Secara substansi, semangat hijrah merupakan semangat perubahan ke arah yang lebih baik. Semangat perubahan sebagai wujud manusia sebagai makhluk berperadaban (ulul al-baab). Gerak perubahan positif yang menghendaki sandaran keimanan, ikhtiar, profesionalisme, kesungguhan yang maksimal, dan tawakkal pada Allah. Hal ini dinukilkan Allah dalam firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. al-Baqarah: 218).
Merujuk ayat di atas, Syekh Nashiruddin as-Sa’di menjabarkan tiga sifat yang perlu dimiliki manusia bagi membangun peradaban berdimensi ilahiah dan keummatan atas semangat QS. al-Baqarah : 218, yaitu :
Pertama, Iman ; pembenaran yang memiliki konsekuensi ketundukan dan menerima segala apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya (amaliah). Ketundukan totalitas pada pengabdian dan kesadaran diri sebagai hamba dihadapan Allah. Ketundukan yang melahirkan ketaatan atas ayat-ayat Allah, bukan ketundukan palsu dengan menginjak-injak pesan Ilahi dengan menyebarkan kedurjanaan di muka bumi.
Kedua, Hijrah ; bukan sebatas perpindahan jasmani, tapi lebih pada perubahan sikap dan akhlak diri pada prilaku kebaikan. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah : “orang yang berhijrah yaitu orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah SWT” (HR. Bukhari). Pemaknaan hijrah sebagai pembawa peradaban yang lebih baik dan kebermanfaatan yang lebih banyak untuk seluruh alam semesta. Ruh hijrah Rasulullah bagai menanam tanaman surga yang penuh keberkahan dan kenikmatan. Namun, bila manusia melakukan perubahan berdampak mashlahat bagi alam, maka bagai menanam tanaman neraka yang penuh derita dan kenestapaan. Semua pada waktunya akan memanen atas apa yang ditanam. Demikian janji Allah yang tak pernah ingkar janji.
Ketiga, Jihad ; ketercapaian iman yang berimplementasi pada perubahan ke arah karakter akhlak mulia, memerlukan kesungguhan yang tak kenal menyerah (jihad). Tak akan ada perubahan tanpa kesungguhan, apatahlagi bila perubahan ke arah kebaikan, memerlukan kesungguhan dan konsistensi yang melebihi di atas rata-rata. Sebab, perubahan pada kebaikan memiliki tantangan yang lebih berat, terutama bila “kejahatan” telah menjadi kebiasaan dan pemandangan umum. Hal ini bak ungkapan “sudah menjadi rahasia umum”. Ungkapan ini dialamatkan pada praktek kemungkaran (kesalahan) yang dianggap wajar (selalu dipelihara), sementara praktek kebaikan (kebenaran) justeru dianggap tak wajar (perlu disingkirkan). Sosok penjilat mendapatkan tempat, sosok amanah perlu dimusnah. Ungkapan yang mengisyaratkan tradisi kejahatan yang dimaklumi dan dibiarkan menjadi kebiasaan sehari-hari. Akibatnya, praktek kebaikan acapkali mendapat tantangan dan dianggap sesuatu yang aneh (seiring anehnya dunia terbalik). Tantangan yang muncul bisa berwujud “bisikan syaitan” atau berbentuk makhluk sesama. Bila tanpa upaya sungguh-sungguh (jihad), maka kebenaran tak mungkin bisa memenangkannya. Bila hal ini terjadi, maka kejahatan akan menguasai seluruh dimensi kehidupan.
Sungguh, korelasi iman yang teguh menghasilkan perubahan yang terukur. Perubahan yang terukur, berangkat upaya yang maksimal dan sesuai aturan. Sementara iman yang palsu menghasilkan perubahan semu. Perubahan yang semu, berangkat upaya yang tak terencana dan acapkali (biasanya sering) melanggar aturan (positif dan agama).
Padahal, demikian nyata janji Allah berjanji yang akan menganugerahkan kebahagian bagi orang yang berhijrah dengan mendapatkan tempat yang lebih luas dan rejeki yang banyak, serta kasih sayang Allah. Hal ini dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 100).
Meski ayat di atas demikian jelas, namun manusia acapkali sebatas harap dengan ucapan yang tak bisa terwujud. Namun realitanya bertolak belakang dan menantang kebenaran kalam-Nya. Retorika keshalehan dan penampilan zhahir bisa dimunculkan untuk menutupi kezhaliman yang dilakukan. Namun, manusia tak mampu menipu kebenaran yang dituntut Allah dan Rasul-Nya.
Momentum tahun baru hijrah untuk perbaikan diri dan peradaban dapat dijadikan cermin melihat kualitas isi setiap diri. Paling tidak, ada 3 (tiga) tipikal peradaban yang dapat dijadikan barometer diri, yaitu :
Pertama, tipikal sifat iblis ; melakukan perubahan (hijrah) dari ketundukan (kebaikan) menjadi keingkaran (keburukan). Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. Al-Baqarah 2 : Ayat 34).
Tipikal “iblis” bermakna luas untuk melihat seluruh dimensi prilaku peradaban manusia. Kesemua berwujud pada penurunan kualitas dan kuantitas atas apa yang sebelumnya ada atau diraih. Grafik menurun dimaksud pada aspek kehidupan ; keimanan menjadi kekufuran, kejujuran menjadi kemunafikan, ketundukan atas hukum menjadi pembangkangan hukum, rajin ibadah menjadi malas beribadah, kesejahteraan menjadi kesengsaraan, keadilan menjadi kezhaliman, membangun peradaban menjadi menghancurkan peradaban, kebaikan menjadi keburukan (dibungkusan rapi), ketawadhu’an menjadi keangkuhan, kecukupan menjadi keserakahan, kualitas (profesionalisme) menjadi “ashobiah negatif” berkelindan, kesantunan menjadi kesombongan, kelembutan menjadi kekerasan, dan berbagai varian prilaku menurun lainnya.
Kedua, tipikal sifat hewan ; aktivitas hidup tanpa perubahan apapun (stagnan) atas peradabannya sejak diciptakan alam sampai kiamat tiba. Tipikal ini hanya melakukan aktivitas rutin yang bertujuan sebatas mempertahankan kehidupan dan melanjutkan keturunannya. Tak ada perubahan, apatahlagi berfikir untuk berubah. Apa yang dilakukan sebatas keberlanjutan (kontinuitas) atas apa yang ada, tanpa perubahan yang berdimensi menurun atau lebih baik. Semua dilakukan sebatas rutinitas tanpa berupaya melakukan inovasi. Rutinitas yang menjadikan peradaban mengalami stagnasi (jalan ditempat).
Ketiga, tipikal manusia berperadaban dan cendekia ; melakukan aktivitas melalui olah akal dan budi dengan bimbingan agama untuk menyempurnakan peradaban ke arah yang lebih baik. Tipikal ini dinukilkan dalam al-Quran sebagai kaum ulul al-baab, yaitu makhluk yang memiliki pikiran (mind), perasaan (heart), daya pikir (intellect), tilikan (insight), pemahaman (understanding), kebijaksanaan (wisdom), dan agama (truth). Tipikal ulul al-baab senantisa menghiasi waktunya dengan dua aktivitas utama, yaitu berzikir dan berfikir (Q.S. Ali Imran :190-191). Kedua aktivitas ini berjalan secara harmonis bagai dua sisi mata uang. Tipikal ini akan menghantarkan akal budi yang senantiasa berpedoman pada agama. Ketika akal budi tak ingin dizhalimi dan agama melarang, maka akal budi membangun kemashlahatan yang dibimbing agama untuk kesejahteraan alam semesta dengan mengedepankan keadilan. Ketika akal budi tak ingin disakiti dan agama melarang, maka akal budi membangun peradaban saling menyayangi dan menghargai yang dibimbing agama untuk lahirnya saling menyebarkan kebaikan. Ketika akal budi tak ingin hidup nista dan sengsara karena dilarang agama, maka akal budi membangun dan menyebarkan kebahagiaan bagi seluruh alam semesta. Demikian seterusnya varian-varian perubahan (hijrah) yang seyogyanya dilakukan.
Sungguh ketiga tipikal di atas merupakan barometer pilihan yang diambil dan evaluasi atas kecenderungan apa yang dilakukan. Seyogyanya pilihan pada perubahan (hijrah) yang dipilih merupakan hijrah totalitas sebagai wujud perubahan monumental (kaum ulul al-baab) bagi diri dan seluruh alam semesta. Namun, 2 (dua) tipikal yang tersisa terkadang lebih piawai dan dominan mempengaruhi manusia untuk cenderung dekat padanya. Meski kata tak mampu menjelaskan (kebanyakan menjelaskan sebatas bersilat lidah), namun hasil akal budi yang dibimbing agama mampu melahirkan peradaban mulia yang dinikmati seluruh alam semesta. Ia akan mampu menjelaskan sejuta pesan yang akan dinilai secara obyektif pada waktunya.
Derajat kebaikan seorang hamba atas hijrah monumental (ulul al-baab) yang paling tinggi adalah ketika hatinya dapat terpuaskan oleh Rab-nya Yang Maha Benar, sehingga ia tidak membutuhkan perantara antara dirinya dengan Rab-nya Yang Maha Agung. Lalu, hijrah dan tipikal barometer mana yang menjadi acuan diri, tentu hanya diri dan pemilik diri yang tau.
Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1444 H. Hanya hijrah diri yang benar secara totalitas mampu mengawali perubahan ke arah yang lebih baik (rahmatan lil ‘aalamiin).
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 1 Agustus 2022