Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Dalam dunia pewayangan, masyaraka sangat familiar nama-nama tokoh seperti Semar, Gareng, Bagong dan Petruk. Dalam budaya Jawa, keempat tokoh jenaka tersebut merupakan “Punakawan Pandawa” (empat bersaudara) pengiring Ksatria Pandawa Lima. Namun mungkin tak banyak yang tahu jika empat karakter jenaka dalam pewayangan tersebut merupakan karya Sunan Kalijaga yang awalnya digunakan sebagai sebuah metode dakwah dalam menyebarkan Islam di nusantara. Penggubahan wayang dengan memasukkan nilai-nilai Islam dilakukan Sunan Kalijaga sekitar tahun 1443 M.
Di antara keempat tokoh di atas, sosok Semar menjadi tokoh sentral dalam pewayangan dan merupakan pemimpin ketiga tokoh lainnya. Secara Javanologi, Semar berarti haseming samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar berarti sang penuntun makna kehidupan. Sosok Semar dikenal karakter yang arif dan bijaksana. Ia bisa bergaul dengan siapa saja, baik kalangan atas maupun kalangan bawah. Sosoknya sangat tanggap terhadap dinamika zaman dan idealis atas prinsip kebenaran. Tatkala ditemukan ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang, maka ia dengan tegas melakukan tindakan preventif, persuasif dan represif. Bahkan, ia rela mempertaruhkan segalanya demi amanat yang diterimanya dari Sang Maha Kuasa. Ada beberapa simbol nilai religius pada sosok karakter kepemimpinan Semar, yaitu :
Pertama, tangan kanan menunjuk ke atas (hablum min Allah) dengan telunjuk tegak mengisyaratkan secara jelas ketauhidan atas pengakuan meng-esa-kan Allah. Apa pun yang dilakukan dalam kehidupan wujud penghambaan diri dan hanya karena Allah semata. Semua gerak hidup pemimpin harus wujud pengabdian dan merujuk pada aturan Sang Pencipta (Allah SWT). Bukan sebaliknya, menganggap diri yang patut disembah (melalui berbagai variannya) dengan keangkuhan atas aturan yang dibuat.
Kedua, tangan kiri dibelakang (hablum min an-Nas). Posisi ini mengisyarakan bahwa apapun kebaikan yang dilakukan seorang pemimpin atau manusia secara umum sebaiknya disembunyikan agar tidak muncul ujub atas kebaikan yang dilakukan. Sebab, apa yang dilakukan pada sesama perlu keikhlasan yang tak perlu dipublikasikan. Bukan sebaliknya, semua yang dilakukan pada sesama (meski terkadang tak seberapa) dipublikasikan dan diviralkan untuk mengangkat pamor dan elektabilitas diri agar diketahui semua orang. Sikap pemimpin seperti ini merupakan tampilan sikap ujub dan hilangnya keikhlasan atas apa yang dilakukan.
Ketiga, tangan kanan terlihat ke depan dan tangan kiri tersembunyi dibelakang merupakan wujud keikhlasan dalam interaksi sesama. Tangan kiri kebelakang simbol tak ingin ujub atas apa yang dilakukan. Hal ini merupakan simbol atas sabda Rasulullah : Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah SWT dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya. Di antaranya, seorang yang mengeluarkan suatu sedekah, tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tangan kanan ke atas, tangan kiri ke bawah yang ditampilkan sosok Semar memiliki kemiripan dengan tarian sufi Jalaluddin Rumi (dikenal dengan whirling dervishes). Makna dari simbol tersebut adalah menyadarkan diri bahwa semua yang dimiliki merupakan amanah, milik, dan anugerah dari Yang Maha Kuasa. Kesemua titipan-Nya diperoleh, maka jangan lupa untuk membaginya pada yang di bawah. Hal ini mengingatkan manusia pada ajaran agama supaya tidak menjadi pribadi yang egois, serakah, lupa diri, tapi menjadi sosok pribadi yang selalu berbagi dan menyebarkan kebaikan pada seluruh alam semesta. Bukan sebaliknya, semua keuntungan untuk memperkaya diri (berikut dinikmati seputar ikat pinggang) dan setiap yang dilakukan untuk sesama, dipublikasikan dimana-mana.
Keempat, memiliki kuncung rambut seperti anak-anak, tetapi berwajah tua. Simbol ini merupakan isyarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Maksudnya, untuk mencapai derajat pemimpin ideal, seseorang harus memiliki sisi kejernihan berpikir (seperti yang dimiliki anak-anak) sekaligus sisi kematangan berpikir (seperti yang dimiliki orang tua). Melalui kejernihan dan kematangan berpikir, seorang pemimpin akan mampu melahirkan kebijaksanaan dalam setiap putusan yang diambil. Bukan sebaliknya, berprilaku seperti anak-anak ketika memperebutkan “mainan” dan bagai orang tua jompo yang hanya minta dilayani.
Kelima, matanya digambarkan seolah menangis, tapi bibirnya menyiratkan tawa kebahagiaan. Hal ini merupakan gambaran isi kehidupan di dunia yang fana. Setiap diri melalui momen duka dan momen suka. Semua pasti terjadi pada setiap orang, dan tak mampu dihindari. Di sisi lain, posisi air mata (posisi atas) dan senyuman (posisi bawah) menampilkan seorang pemimpin harus mampu merubah kesedihan rakyat menjadi senyum kebahagiaan. Meski senyum kebahagiaan telah dirasakan rakyat, seorang pemimpin tatkala berada “bersendirian” dalam munajat pada Allah, air matanya tak pernah kering menangis mengharapkan kasih sayang Allah untuk semua yang dipimpinnya. Hal ini merupakan implementasi bentuk akhlak Rasulullah terhadap ummatnya. Bukan sebaliknya, senyumannya hanya untuk diri sendiri, tak peduli tetesan air mata umat membasahi alam semesta.
Keenam, Semar seolah-olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila berbicaranya selalu spontan, tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur sehingga orang yang sedih menjadi gembira. Demikian simbol sosok pemimpin. Meski derita dan kesedihan yang dirasakan, namun tak pernah ia perlihatkan pada orang lain. Bagai tampilan ayah dan ibu. Meski berat beban yang dipikul untuk membahagiakan anak-anaknya, semua beban dan kesedihan disembunyikan agar tak diketahui anak-anaknya. Mereka tak ingin rakyat atau anak-anaknya ikut menangis. Mereka nikmati beban dan kesedihan untuk dirinya, asal rakyat atau anak-anaknya senantiasa bahagia. Bukan sebaliknya, hanya ingin diri (berikut kolega) tersenyum dalam kemewahan, sementara rakyat atau anak-anaknya menangis pilu dalam penderitaan.
Ketujuh, pementasan wayang tak bisa dilepaskan dengan iringan gamelan. Gamelan merupakan musik pengiring pementasan keempat tokoh yang diciptakan oleh Sunan Bonang. Bila dihayati dan didengarkan secara seksama, irama gamelan merupakan ungkapan syahadatain. Wujud isi ketauhidan. Demikian sakralnya gamelan, sehingga para pemainnya harus mampu menjaga wudhu’ dan fokus pada irama syahadatain, bukan pada tembang yang “dinyanyikan”. Tembang yang dilantunkan merupakan dinamika yang terjadi pada masyarakat dengan pesan-pesan keagamaan dan sosial yang sarat nilai. Sosok pemimpin yang ditampilkan oleh Semar perlu pengiring (gamelan) yang membuat gerak kebijakan tetap menyatu dalam asma Allah. Gamelan yang mengiringi “pementasan” Semar merupakan simbol ulama yang tafaqquh fi ad-din secara kaffah, bukan sebatas tampilan asesories, untaian kata, atau keanggunan “rumah yang didiami”. Musik gamelan mengingatkan Semar untuk senantiasa bermunajat mengingat Sang Pencipta. Para pemain gamelan (ulama) yang tetap “menjaga wudhu’nya” agar senantiasa bersih dari noda (zahir dan batin). Bukan sebalinya, suara musik yang masuk (para pembisik) yang melupakan pemimpin dari kebenaran Ilahi, pemain musik yang tak pernah tersentuh air wudhu’ (jauh dari Allah), dan irama musik yang melantunkan keserakahan dan kesombongan.
Kedelapan, tokoh Semar, Gareng, Bagong dan Petruk merupakan simbol 4 (empat) jenis nafsu pada manusia, yaitu nafsu muthmainnah, lawwamah, sufiah, dan ammarah. Kesemua nafsu tersebut secara fitrah ada pada setiap diri. Namun, bila manusia ingin keselamatan hidup, maka nafsu muthmainnah harus menjadi pengendali atas ketiga jenis nafsu lainnya. Bila tidak, maka manusia akan tersesat oleh nafsunya sendiri. Hal yang sama pada tampilan keempat tokoh wayang di atas, menjadi indah dan penuh pesan tatkala hadirnya sosok Semar yang lebih dominan dalam interaksi keempat tokoh tersebut. Dimensi ini perlu dimiliki oleh setiap pemimpin atas yang dipimpin dan semua manusia atas dirinya. Bukan sebaliknya, dominasi nafsu muthmainnah hilang oleh hempasan kuasa ketiga nafsu lainnya yang lebih berkuasa dan menguasai diri. Bila hal ini terjadi, maka hilanglah nilai kebajikan dalam semua kebijakan yang dibuat dan prilaku yang ditampilkan.
Kesembilan, jiwa kesatria. Semar menampilkan sosok kesatria dan sahabat yang peduli. Apa diucap tak perlu diragukan, bukan bak baling-baling di atas bukit (munafik). Katanya santun penuh makna. Saling membantu dengan tulus, tanpa janji yang justeru diingkari. Katanya adalah janji sebagai wujud karakter diri. Tak pandai bersilat lidah berbicara disebalik niat tersembunyi. Bila bertentangan dengan aturan agama dan hukum ditentangnya tanpa tebang pilih. Idealisme diri yang tak pernah tergadai oleh kepentingan ala “politik belah bambu” yang sarat kepentingan material. Saling menghargai sesama dengan kata yang pasti. Kebijakan dan janji yang bukan bagai “lempar batu sembunyi tangan” atau berlindung idealisme yang sudah digadaikan.
Berkaca dengan filosofi yang disampaikan Sunan Kalijaga melalui tokoh Semar patut dijadikan cermin diri. Kesembilan karakter di atas melambangkan Walisongo untuk mengingatkan kembali atas ajaran, karakter diri, dan strategi juang yang dilakukan. Apa yang dilambangkan Semar sangat relevan bagi kehidupan saat ini. Apatahlagi era media sosial yang demikian bebas tanpa kontrol syahadatain. Semua kebaikan (meski terbatas) atau dimensi keikhlasan rusak oleh publikasi media yang gegap gempita dan penuh euforia. Dukungan pada seseorang atau kelompok yang terlalu tergesa-gesa dan terkesan “ambil muka”. Ketidakpercayaan pada seseorang yang tanpa usul periksa atas apa yang dinilai. Kekecewaan yang diperlihatkan pada semua untuk mendapatkan simpatik dan mendeskreditkan lawan. Ketidaksenangan acapkali menjurus pada pembunuhan karakter. Kebencian dengan membuka aib sesama, sementara aib sendiri demikian lebar menganga. Semua aib tersaji dan mudah ditemukan di media sosial. Tergantung pilihan diri pada sosok tokoh wayang mana yang dominan akan ditampilkan. Atau ada sosok lain selain keempat tokoh di atas yang telah tampil pada manusia era 4.0. Atau bagaimana bila sosok yang tampil semakin keluar dari filosofi Semar pada era 5.0 saat ini dan seterusnya. Tak terbayangkan, hanya setiap diri yang mampu menjawab dan memilih karakter yang mau dimainkan. Atau, ada karakter yang di luar “Punakawan Pandawa” yang tak pernah terpikirkan oleh semua tokoh wayang, namun manusia modern menampilkannya dengan keangkuhan yang nyata. Meski hanya sebagai “wayang” namun angkuh pada perannya. Bagaimana kalau keangkuhan “wayang” ketika telah menjadi “dalang”. Mungkin melebihi keangkuhan obyek yang dinukilkan Allah dalam QS. al-Baqarah : 34. Entahlah, tak ada yang akan mau menjawab, kecuali pemilik diri yang senantiasa tafakkur ila Allah.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 8 Agustus 2022