Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Selembar ijazah bukan segala-galanya dan bukti utama seseorang hebat, berilmu, apalagi beradab. Ijazah hanya sebagai bukti seseorang pernah menuntut ilmu pada jenjang pendidikan tertentu. Sedangkan gelar sebagai bukti seseorang telah memiliki selembar ijazah. Meski terkadang ada segelintir gelar dimiliki tanpa selembar ijazah, tapi melalui “pemberian atau anugerah” dengan berbagai varian alasan (ideal atau politis) yang berkelindan. Terkadang segelintirnya menyimpul sejuta varian dalil yang terkadang sulit diterima dan dipahami akal sehat. Meski masih tersisa alasan yang bisa diterima dan diberikan pada yang memang berhak (pantas) menerimanya.
Gelar bukan untuk disombongkan, apalagi sebagai prestise untuk memperoleh pujian. Sebab, Rasulullah memberi batasan untuk memuji melalui sabdanya :“Kalaulah kamu harus memuji saudaramu, lakukanlah itu secara jujur dan benar (objektif)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian Rasulullah mengingatkan umatnya agar tak silau oleh pujian atas ijazah dan gelar yang dimiliki, tapi harus dibuktikan torehan peradaban. Acapkali pujian serasa manis, tapi bagai madu dalam kerubutan semut. Habis madunya, gerombolan semut pun pergi mencari madu yang lain. Pada gilirannya, nasib diri seperti pepatah Melayu mengingatkan “bak makan tebu, habis manis sepah dibuang”. Sebab, pujian yang diterima tak akan bertahan lama. Hanya ketika masih ada “manis”. Sementara karya peradaban akan lebih mampu bertahan lama dan abadi. Namun, ukiran karya peradaban perlu dibungkus dengan keikhlasan, bukan untuk disombongkan. Sebab, bila niat menoreh peradaban tanpa keikhlasan, maka segera hilang bagai “debu ditiup angin” tanpa nilai. Bukankah Allah mengingatkan dalam hadis qudsi bahwa : “Aku sesuai persangkaan baik hamba-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau…..” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Bila niatnya untuk pamer, maka Allah akan pamerkan. Bila berkeinginan untuk dipuji, maka Allah akan menggerakan manusia untuk memuji. Tapi semuanya tak memiliki nilai apa-apa dihadapan Allah.
Bukti seseorang berilmu hanya bisa terlihat dari kualitas adab dan dinamika akalnya membangun peradaban melalui karya-karya yang mencerdaskan. Adapun bukti seseorang beradab terlihat pada karakter diri (tawadhu’) dan nilai kebaikan (kebermanfatan) atas peradaban yang ditinggalkan. Idealnya, ijazah dan gelar berkorelasi pada kecerdasan akal sebagai bukti seseorang berilmu, kemapanan adab, dan sikap empati sebagai harga (kualitas) karakter diri. Bila ijazah dan gelar tak berkorelasi pada karakter, maka keberkahan ilmu tak diperoleh. Ia sebatas “tong kosong bunyinya nyaring”. Setumpuk ide tanpa karya, banyak teori tanpa bukti, banyak kata tanpa realita, minta simpati tapi miskin empati, atau gaya berilmu namun semu.
Ukuran (standard) berilmu dapat dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang terukur. Sedangkan ukuran karakter diri (adab) terlihat pada prilaku dan karya peradaban yang dihasilkan. Simpulan ijazah, gelar, ilmu, dan adab seyogyanya membuahkan karya yang berkontribusi bagi bangunan peradaban kemakhlukan (horizontal) dan peradaban kehambaan (vertikal).
Ketika selembar ijazah dan gelar sebagai segala-galanya dan menjadi tujuan utama, maka ijazah dan gelar hanya sebatas asesoris. Ketika ijazah dan gelar telah diperoleh, maka dirasakan selesai pula proses menuntut ilmu yang seyogya-nya terus dijalani. Secara standard teoritis, melalui ijazah dan gelar, manusia terangkat kemuliaan dirinya. Namun, secara substansi, ijazah dan gelar memperkuat adab dan membuahkan karya. Sebabja, Rasulullah pernah mengingat-kan melalui sabdanya : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupa kalian dan tidak juga harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian” (HR. Muslim).
Kata “hati dan perbuatan” pada hadis di atas dapat dipahami bahwa manusia dilihat pada aspek kualitas kecerdasan hati (termasuk akal) dan implementasi atas kualitas tersebut dalam realita (perbuatan). Bukti implementasi kualitasnya dapat berwujud karya yang dilahirkan, baik tertulis, kebijakan, kearifan, maupun bukti yang terhampar. Harmonisasi kualitas kecerdasan hati dan akal terlihat nyata pada bangunan peradaban yang dimunculkan mencitrakan kebesaran Allah semata. Pencitraan karya berdimensi Ilahiah melahirkan peradaban yang rahmatan lil ‘aalamiin. Sementara karya berdimensi pencitraan politis hanya melahirkan tipuan dan pembodohan peradaban. Demikian pepatah Melayu menukilkannya “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Hanya saja, pilihan nama apa yang akan ditinggalkan. Pilihannya apakah nama harum semerbak bunga kasturi, atau nama busuk bak aroma bunga bangkai yang tak pernah mampu ditutupi.
Untuk itu, buya Hamka pernah mengingatkan bahwa “banyak manusia ada tapi tiada, hanya segelintir ada dan senantiasa ada”. Pesan yang mengandung makna filosofi yang dalam. Meski banyak manusia ada terlahir di dunia, tapi setelah wafat ia sirna dan tak pernah dikenal “ada” oleh manusia lainnya. Sebab, tak ada karya kebaikan yang ditinggalkan untuk memperkenalkan adanya diri di muka bumi. Sementara hanya sedikit manusia yang ada di muka bumi ini eksistensinya dikenal dengan peradaban yang ditinggalkan. Meski telah tiada, ia tetap dikenal dan selalu hadir melalui karya peradaban mencerdaskan yang ditinggalkan.
Berangkat dari paparan di atas, maka paling tidak, selembar ijazah dan gelar mengisyaratkan beberapa pesan kualitas harga diri, antara lain :
Pertama, kualitas intelektualitas. Standard yang lihat pada penguasaan bidang keilmuan yang menjadi keahlian diri. Bukan seperti “pukat harimau” seakaan menguasai semua bidang ilmu, tapi ternyata tuntunan yang keliru. Kualitas intelektual yabg ideal ditandai secara akademik dan dibuktikan secara non akademik dengan peradaban yang dirasakan masyarakat. Idealnya, ilmu yang dimiliki membuat bangunan harga diri dan empatinya semakin kokoh. Ilmu yang membimbing diri menjadi manusia beradab dan memiliki empati. Malu memberi bila tak diminta, bukan mengobral ilmu bagai jualan murahan. Merasa diri dhaif atas ilmu yang dimiliki, bagai “padi yang runduk tanda berisi”.
Bukan merasa paling hebat dan berkualitas, namun nyatanya bagai “ilalalang tegak menjulang, namun hampa tanpa isi”.
Kedua, kualitas etikabilitas (adab dan moral). Kemampuan intelektualitas hanya menyentuh aspek kognitif (akal). Namun, tak ada jaminan intelektualitas berkorelasi atas kemampuan afektif (kalbu) yang berbuah pada adab (moral). Aspek ini acapkali terlupakan. Akibatnya, kecerdasan intelektual dimiliki, namun gagal pada adab dan kesusilaan. Bila kecerdasan afeksi dimiliki, maka akan melahirkan kecerdasan sosial sebagai pengejawantahan khalifah yang rahmatan lil ‘aalamiin. Kegagalan dunia pendidikan membangun kecerdasan etika (adab) ditenggarai berbagai penyebab yang berkelindan dan sulit diselesaikan. Apalagi kecerdasan etika (adab) dan sosial tak menjadi standard memasuki atau menyelesaikan jenjang pendidikan, apalagi memperoleh bidang pekerjaan.
Ketiga, kualitas realitas (karya peradaban). Bagai sebuah tanaman, kecerdasan intelektual dan adab perlu dibuktikan dengan lahirnya buah (karya nyata) yang dapat dinikmati seisi alam. Karya nyata sebagai wujud upaya membangun dan mewarnai sisi-sisi peradaban kemanusiaan. Andai tak berbuah, minimal menjadi pohon rindang tempat berteduh dan ranting tempat bertengger. Tapi, jangan menjadi pohon benalu yang hadir sebatas “menumpang, menikmati, dan menyengsarakan” pohon peradaban. Hanya saja, pilihan acapkali memperlihatkan pemandangan kualitas intelektual yang semu, etika dan adab yang “abu-abu”, serta karya-karya semu tak bermutu.
Keempat, kualitas elektabilitas, yaitu tingkat keterpilihan (keterpercayaan) yang disesuaikan dengan kriteria pilihan atas bukti kemampuan. Elektabilitas berbeda dengan popularitas. Popularitas berdimensi tingkat keterkenalan. Kendati begitu, seyogyanya elektabilitas beriringan dengan popularitas atau sebaliknya. Namun acapkali manusia modern lebih cenderung melihat aspek popularitas ketimbang elektabilitas. Sebab, elektabilitas memerlukan waktu panjang berliku, sementara popularitas hanya memerlukan waktu singkat. Padahal, populer belum tentu layak dipilih jika tidak memiliki kriteria keterpercayaan (amanah). Sebab, bila popularitas dikedepankan ketimbang elektabilitas, maka bak pepatah “membeli kucing dalam karung”. Hanya mengandalkan suaranya, tanpa melihat totalitas kualitas si kucing.
Idealnya, selembar ijazah, deretan gelar akademik, kualitas intelektual, kemampuan komunikasi, karakter adab dan empati, serta tumpukan karya berkorelasi pada elektabilitas (keterpilihan) pembuktian diri. Hal ini yang terjadi pada masa keemasan Islam (Dinasti Abasiyah) yang menempatkan elektabiitas seorang berilmu melalui karya yang dilahirkan. Melalui karya peradaban yang dilahirkan, khalifah menghargai setara berat emas dan perak. Standard ini digunakan oleh komunitas high civilization. Standard yang dilakukan melalui proses pembuktian yang transparan, serta terukur dan obyektif. Pemilik high civilization meyakini proses ini akan menempatkan proses penilaian sesuai kapasitas hasil karya peradabannya. Melalui hasil peradabannya, elektabilitas seseorang menjadi dasar bagi penempatan sesuai kapasitasnya. Melalui elektabilitas yang dimiliki, seseorang mampu melaksanakan amanah yang dipikul dan menghantarkannya memperoleh popularitas. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah : “… Apabila sebuah urusan (pekerjaan) diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi kehancuran” (HR. Bukhari).
Paparan dan bukti historis di atas demikian nyata. Bagi pemilik high civilization religion, mengemis posisi dan janji palsu merupakan kehinaan dan menjatuhkan harga dirinya. Namun, bila elektabilitasnya tak terangkat, ia tak pula menuangkan kekecewaan dengan melakukan “penyerangan”, apalagi dengan bahasa yang tak beradab. Semua yang terjadi dikembalikan pada kasih sayang Allah sebagai pemilik keadilan. Ia senantiasa beraktivitas berdasarkan amanah dan kemampuan, bukan karena “ada udang disebalik batu”. Apa yang dilakukan berangkat dari pesan Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Demi Allah, sesungguh-nya kami tidak akan memberikan jabatan bagi orang yang meminta dan yang rakus terhadapnya” (HR Muslim).
Begitu jelas hadis di atas, namun semua tergantung pada pilihan sikap yang diambil. Demikian jelas benang merah selembar ijazah dan atribut-atributnya dalam kehidupan. Ijazah bukan sebatas lembaran yang menjadi syarat memperoleh kerja, deretan gelar untuk dinyatakan pintar atau prestise semata, serta karya bukan hanya untuk publikasi dan kepentingan administrasi. Semuanya perlu diletakkan sebagai “harga diri dan wujud keimanan” atas kepemilikan tersebut. Namun, bila pondasi “harga diri” telah roboh, maka akan lahir manusia low civilization yang berkarakter tanpa iman dan bak “bajing loncat atau bunglon” yang menari kian kemari menyesuaikan irama kebutuhan peradaban yang sumbang. Bagi pemilik low civilization, mengharapkan dan meraih “posisi amanah” dengan menginjak-injak keimanan merupakan langkah yang dianggap lumrah. Sosok manusia seperti ini sungguh kehilangan karakter (adab) dan idealisme sebagai pemilik keimanan atas ajaran agamanya. Akibatnya, popularitas lebih dikedepankan untuk menutupi ketidakmampuan elektabitas (amanah) diri.
Anehnya, meski hasil keculasan pada waktunya terlihat nyata, namun acapkali tak membuat manusia berubah secara signifikan. Secara teori, kesalahan dihulu akan berakibat pada rendahnya kualitas proses (perantara) yang dilakukan, serta memetik kegagalan hidup di hilir. Bahkan, terkadang masih berjalan “video akibat ketidakjujuran” yang belum terselesaikan, kembali disuguhkan tontonan yang serupa pada video dan rekayasa yang lain. Pembedanya hanya pada “alur sinetron dan aktor” yang berbeda. Namun, subsntansinya memiliki kesamaan dengan episode yang meluluhlantakkan kejujuran peradaban. Meski demikian nyata, namun semua sepi dan membisu, seakan tak ada yang peduli. Muncul dominasi motivasi “menyelamatkan diri” tanpa ingin memperbaiki kesalahan yang menganga. Padahal, Rasulullah berpesan agar pemilik high ciilization melakukan respon dengan 3 (tiga pendekatan), yaitu : “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya. Bila dia tak mampu hendaknya dia ubah dengan lisannya. Bila tak mampu hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah–lemahnya iman” (HR. Muslim).
Saat ini, hampir semua memiliki ijazah dan gelar. Namun, setiap pemilik perlu muhasabah atas kepemilikan administratif tersebut. Apakah berkorelasi sebagaimana sebab dan akibat yang terjadi secara ideal, atau sebab dan akibat yang tidak normal. Sungguh, selembar ijazah dan gelar memang diperlukan, namun bukan sebatas asesoris dan peristiwa seremonial. Ijazah dan gelar adalah harga diri yang perlu dijaga. Ia akan bermakna dan bernilai bila berada pada manusia yang berperadaban. Namun, bila jatuh pada manusia yang tak berperadaban, maka selembar ijazah dan gelar akan menjadi asesoris yang menghancurkan bangunan peradaban. Apalagi bila ijazah atau gelar diperoleh melalui jalan kebatilan atas hasil proses “transaksi”, maka hanya nestapa yang akan disebarluaskan dan merusak peradaban dan kepercayaan generasi masa depan. Untuk itu, jadikan ijazah dan gelar sebagai harga diri. Meski tak ada yang semourna, tapi teruslah mencari ilmu tiada henti bak minum air laut, dan terus berkarya (minimal berkontribusi) membangun peradaban sebatas kemampuan dengan balutan adab mulia dalam genggaman ridho Ilahi.
Sungguh, masih sangat banyak pemilik ijazah dan gelar yang mampu mempertahankannya sebagai harga diri. Meski tak terlihat, namun kilauannya mampu menembus langit. Torehan peradabannya akan dicatat dengan tinta emas penghuni langit, meski penghuni bumi berupaya untuk menghapusnya. Lalu, bagaimana setiap diri pemilik selembar ijazah dan menyandang gelar untuk mempertanggungjawab-kannya secara vertikal dan horizontal ? Tak ada yang tau, kecuali setiap diri yang memiliki harga diri dan Zat Yang Maha Kuasa tempat muara munajat hamba.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 12 Desember 2022