Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Keistimewaan bulan zulhijjah (rangkaian momentum haji) adalah perintah berkurban. Aktivitas ini merupakan napak tilas atas ketundukan nabi Ibrahim AS dan ketaatan nabi Ismail AS. Ketundukan dan ketaatan yang hanya ditujukan karena Allah semata, maka dengan Rahman dan Rahim-Nya, ketaqwaan tersebut diganti dengan menyembelih seekor Kibas (domba). Perintah berkurban dapat terlihat jelas pada firman Allah SWT : “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)” (QS. al-Kautsar : 1-3).
Merujuk ayat di atas, dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada nabi Muhammad SAW dan umatnya nikmat yang demikian banyak. Di antaranya, Allah berikan al-Kautsar, berupa sungai (telaga) milik Nabi Muhammad SAW di surga. Kelak akan menjadi sumber air minum bagi umatnya. Al-Kautsar juga berarti kebaikan yang banyak pada umatnya dan seluruh alam, yaitu berupa kenabian Rasulullah, al-Qur’an, syafa’at, dan keistimewaan lainnya”. Demikian banyak nikmat yang Allah sediakan pada umat nabi Muhammad SAW sebagai bentuk keistimewaan yang diberikan pada Rasulullah yang berimbas pada umatnya. Namun, tersisa manusia yang membenci ajaran Rasulullah. Sikap ini dijelaskan dalam tafsir Jalalain, bahwa “mereka akan tergiring pada kebencian pada Rasulullah dan para pengikutnya (penerus yang senantiasa membawa ajaran Rasulullah). Janji Allah, bagi para pembenci kebenaran tersebut akan terputus dari semua kebaikan atau putus keturunannya. Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan orang yang bersikap membenci Rasulullah dan kebenaran risalahnya. Adalah ‘Ash bin Wail, sewaktu Nabi Muhammad SAW ditinggal wafat putranya yang bernama Qasim. Untuk itu, ‘Ash menjuluki Rasulullah sebagai abtar, yakni orang yang terputus keturunannya”. Padahal, justeru yang abtar sebenarnya tertuju pada diri ‘Ash bin Wail (berikut pengikutnya).
Meski sedemikian banyak nikmat yang diberikan-Nya, Allah hanya meminta umat Rasulullah untuk mensyukurinya dalam 2 (dua) dimensi, yaitu :
Pertama, Dimensi vertikal dengan cara mendirikan shalat. Makna mendirikan bukan sekedar aktivitas shalat secara syariat. Keberhasilan mendirikan shalat ditandai dengan karakter dan prilaku manusia yang menunjukkan bekas hamba yang shalat (min atsar as-sujud). Hal ini dapat terlihat tingkat ketauladanan pada Rasulullah dalam kehidupan. Allah berfirman : “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Fath : 29).
Menurut tafsir Jalalain, “makna min atsar as-sujud (tanda bekas sujud) bukan tanda zahir atau fisik (semata), tapi maknanya lebih pada karakter diri yang merujuk pada akhlak Rasulullah SAW. Mereka akan memperoleh ampunan atas dosa-dosanya, pahala yang berlimpah, serta rezeki yang mulia. Janji Allah pasti dan benar. Dia tidak akan menyalahi janji-Nya dan tidak pula akan menggantinya”.
Mendirikan shalat lebih pada dimensi pengejawantahan seluruh rangkaian shalat, mulai niat, takbir, sampai salam. Semua rangkaian hamba yang mendirikan shalat terpancar pasca shalat. Pancaran tersebut menjadikan ruh diri bisa bertemu dengan ruh Muhammad dan mengenal ruh Allah. Andai kualitas “mendirikan shalat” mampu diraih, maka ia akan menemukan hakikat dan manisnya shalat sebagai media kerinduan dan komunikasi hamba dengan Khaliq-Nya.
Kedua, Dimensi horizontal dengan cara berkurban (karena Allah) untuk sesama. Pada dimensi ini, berkurban menjadi media menumbuhkan keshalehan sosial untuk saling berbagi dengan sesama lintas SARA. Tak mengenal kaya dan miskin, status atau derajat, suku dan adat, bahkan agama. Semua diikat oleh landasan kemanusiaan (keshalehan sosial).
Demikian dimensi sosial yang diajarkan dalam agama Islam yang menghargai perbedaan dalam penghambaan. Daging kurban yang dibagikan meliputi seluruh sisi organ. Semua dapat merasakannya. Tak ada yang diistimewakan. Semua diikat oleh kesadaran sosial yang sama. Daging yang dimakan seyogyanya mampu menyentuh kesadaran kemanusiaan secara kaffah. Namun, acapkali nilai ini terkikis oleh sifat kebinatangan yang mendominasi diri, melampaui kekuatan sifat kemanusiaan yang harusnya dimiliki. Hal ini yang diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan sesungguh-nya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf : 179).
Imam Qurthubi menafsirkan ayat di atas bahwa “bukan berarti mereka benar-benar tuli maupun buta secara fisik, mereka memang punya mata yang berfungsi untuk melihat, punya telinga yang berfungsi untuk mendengar. Namun yang dimaksud adalah mereka tidak mempergunaka fungsi panca indranya dengan benar dan sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya”. Demikian keras dan jelas apa yang difirmankan-Nya, namun acapkali manusia mengingkari apa yang ada. Ia hanya sebatas melaksanakan shalat dan “pamer” kurban, maka ia hanya akan menampilkan pakaian keshalehan semu penuh kepura-puraan. Padahal, seluruh nikmat-Nya telah diperoleh, namun nyatanya belum mampu mendirikan shalat dan berkurban secara hakiki. Keshalehannya hanya sebatas asesoris tanpa ruh. Meski demikian jelas ayat-Nya, namun masih tersisa manusia yang mengingkarinya. Merugilah diri, apatahlagi bila terjerumus pada kebencian (fitnah) atas kebenaran dan senang pada kemungkaran.
Perintah berkurban sebenarnya telah diawali sejak putra nabi Adam AS, yaitu Habil dan Qabil. Hal ini dinukilkan Allah SWT melalui firman-Nya : “Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima” (QS. al-Ma’idah : 27).
Perintah berkurban pada umat nabi Muhammad SAW berangkat pada peristiwa nabi Ibrahim AS dan nabi Ismail AS. Hal ini merujuk pada firman Allah : “Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu ; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar” (QS. As-Saffat : 102).
Merujuk beberapa ayat dan paparan di atas, ada beberapa makna qurban secara substansi yang perlu dipahami, antara lain :
Pertama, Qurban sebagai bentuk harapan hamba untuk dekat (qarib) pada Sang Khaliq dan ketundukan yang bermuara pada ketaqwaan. Kedekatan yang bisa dirasakan tatkala manusia mampu “menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri. Di antara sifat-sifat kebinatangan tersebut antara lain : sifat tak tau malu, sifat egois, pelit, sifat tamak (rakus), korupsi, sifat merasa paling kuat dan benar, sifat memangsa dan menimpakan kesalahan pada sesama (mencari kambing hitam), sifat sombong, provokator dan penyebar fitnah, senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang, dan lainnya.
Sungguh, tatkala merujuk ayat tentang perintah berkurban, terlihat jelas perbedaan antara perintah menunaikan ibadah haji dan kurban. Bila ibadah haji diperintahkan pada mereka yang memiliki kemampuan (istitha’ah), maka ibadah kurban justru ibadah bagi yang memiliki kemauan (takwa). Muncul-nya kemauan yang didorong oleh keinginan untuk dekat pada Allah Yang Maha Pemberi rezeki. Sebab, tak sedikit manusia yang memiliki kemampuan secara ekonomi, tapi tak memiliki keinginan dan berhitung (untung rugi) untuk berkurban. Ada saja alasan kebutuhan duniawi yang menyebabkan manusia menunda untuk berkurban.
Qurban secara syariat berupa menyembelih hewan sesuai syarat yang tertera dalam kitab fiqh. Namun, qurban secara hakikat berupa upaya hamba “menyembelih sifat-sifat kebantangan” yang ada dalam diri. Alangkah beruntung bila kedua dimensi ini dapat diraih. Namun, bila tak mampu melakukan keduanya, minimal dapat melaksanakan salah satu dari dua dimensi yang dimaksud.
Kedua, Qurban wujud bentuk keshalehan sosial dengan berbagi atas rezeki yang diberikan-Nya. Hal ini terlihat melalui proses pembagian daging kurban kepada para fakir miskin. Agama Islam mengajarkan hanba untuk tetap mengedepankan rasa solidaritas dengan sesama manusia. Hal ini berkaitan dengan sikap empati, kesadaran diri, dan pengendalian diri (terhindar sifat egois dan kikir) sebagai akhlak terpuji seorang Muslim. Sikap keshalehan sosial terpuji agar manusia terhindar dari sifat munafik “ada udang disebalik batu” untuk menarik simpati atau hanya ingin dipuji.
Ketiga, Qurban perlambang orang tua yang amanah atas titipan Allah untuk menyiapkan keturunan yang shaleh. Sosok nabi Ibrahim dan Siti Hajar (ayah dan ibu) yang berikhtiar sekuat tenaga untuk mencari rezeki yang halal dan thaiyibah untuk anaknya. Ikhtiarnya terwujud berupa air zam-zam yang penuh keberkahan dan dikonsumsi anaknya (nabi Ismail AS). Kebaikan atas apa yang dikonsumsi (halal dan thaiyibah) melahirkan sosok anak yang shaleh.
Keempat, Qurban membangun pilihan karakter Habil atau Qabil. Bila kurban dilaksanakan dengan ikhlas, maka ia menjadi bagaikan kurbannya Habil yang diterima oleh-Nya. Ia pilih rezeki hasil peternakanya (qurban) yang terbaik. Semua ia persembahkan dengan keikhlasan dan ketundukan. Habil telah mampu “menyembelih” sifat hewan dalam dirinya dan menghadirkan hamba Allah yang bersyukur. Namun sebalik-nya, bila kurban dilakukan untuk sekedar pamer, maka akan menjadi kurbannya Qabil yang ditolak oleh Allah SWT. Ia pilih rezeki (qurban) yang jelek dan dinilai tak memberi manfaat padanya. Ia lakukan sekedar memenuhi perintah. Habil ternyata tak mampu “menyembelih” sifat hewan dalam diri, tapi justeru mengembangbiakkan sifat hewan pada dirinya.
Kelima, Qurban merupakan lambang kemenangan hamba atas fitnah Iblis yang gagal membujuk nabi Ibrahim AS, nabi Ismail AS, dan Siti Hajar. Rayuan iblis sesungguhnya berisi fitnah atas perintah Allah pada hamba-Nya. Hal serupa juga dilakukan oleh iblis terhadap nabi Adam AS dan Siti Hawa. Bentuk fitnah iblis berupa bujukan seakan perintah Allah merupakan kesalahan. Ia bujuk manusia seakan apa yang dikatakannya adalah kebenaran tunggal. Ciri-ciri sifat iblis yang menularkan tabiat manusia untuk suka menyebarkan fitnah pada sesama, antara lain : (1) bicaranya tinggi (angkuh), menilai diri paling benar, merasa paling baik dan hebat, padahal tak ada satupun kebaikan yang dilakukan. Semua katanya hanya untuk dipuji dan menarik simpati belaka. (2) hidupnya habis digunakan hanya mengoreksi dan mencari kesalahan orang lain, tapi tak pernah mengoreksi diri sendiri dengan “borok busuk yang menganga”. Kebaikan orang dianggap kesalahan, apalagi kesalahan lawan. Tapi, bila berkaitan dengan dirinya, kebaikan kecil dibesar-besarkan, tapi kesalahan besar yang dilakukan dianggap kebenaran dengan berusaha mencari “kambing hitam”. Bagaikan iblis yang menimpakan kesalahan pada nabi Adam sebagai penyebab dirinya dimurkai Allah, padahal penyebabnya adalah kesalahan dirinya yang ingkar pada Allah. Sifat manusia seperti ini akan sulit menemukan kawan sejati. Ia akan selalu dijauhi, apalagi bagi pemilik “akal sehat” akan menghindar karena khawatir akan difitnah juga nanti-nya ketika ada kepentingan yang lain. Kecuali bagi sesama pemilik “akal busuk dan borok” yang saling bekerjasama.
Lalu, dimana posisi setiap diri atas fenomena dan realita momentum ‘iedul qurban yang setiap tahun hadir menyapa. Tak ada yang tahu, kecuali setiap diri dan yang memiliki diri (Allah SWT). Bila hati dan akal tak juga bergeming setelah demikian jelas ayat-ayat-Nya ditampilkan, maka jalan kesesatan dan kehinaan yang akan diraih. Namun, bila hati dan akal tersentak dan bergetar menyadarkan dimensi keimanan, maka keselamatan akan diperoleh. Demikian jelas dan pasti janji Allah pada semua makhluk ciptaan-Nya. Pilih-an diberikan pada setiap manusia, tapi pertanggungjawaban atas pilihan tak bisa dipilih (pasti).
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 26 Juni 2023