Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Alam semesta beserta isinya merupakan ciptaan (hamba) Allah SWT yang senan-tiasa tunduk dan bertasybih mengagung-kan-Nya. Bahkan, alam dan seluruh isinya merupakan ayat Allah yang terbentang dan menjelaskan firman-Nya. Begitu banyak penjelasan Allah dalam al-Quran tentang alam senantiasa berbicara (bertasybih). Di antara penjelasan tersebut dinyatakan Allah SWT dalam firman-Nya : “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalam-nya bertasybih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasybih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasybih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS. al-Isra’ : 44).
Ayat di atas diperkuat pada firman Allah SWT pada ayat yang lain : “Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembang-kan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) berdoa dan tasybihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (QS. an-Nur : 41).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas bahwa yang dimaksud dengan apa yang ada di langit dan bumi adalah seluruh makhluk, baik dari kalangan malaikat, manusia, jin, semua hewan dan tumbuhan, serta benda hidup dan benda mati. Semua bertasybih dengan caranya masing-masing. Semua bertasybih memuji Allah SWT tanpa terkecuali. Hanya saja, pada sebagian diri manusia yang congkak akan melupakannya bertasybih memuji dan menyucikan-Nya.
Sungguh, seluruh alam semesta ber-tasybih sebagai bentuk kesadaran penghambaannya. Semua tunduk pada aturan Allah (sunnatullah). Sebagai ayat-Nya yang terhampar, alam telah menjelas-kan kuasa-Nya Yang Maha Adil. Untuk itu, alam semesta pada waktunya akan ber-bicara pada manusia atas izin Allah sesuai perilaku manusia. Semua ditujukan untuk mengingatkan manusia agar kembali pada addin hanif (jalan yang lurus) dan peng-hambaan yang telah diikrarkannya sejak di alam mitsaq (kandungan).
Ada beberapa tahapan alam semesta berbicara pada manusia, meski kebanyak-an tak peduli atas semuanya, yaitu :
Pertama, Alam semesta berbicara melalui aturan (hukum) alam sesuai sunnatullah. Pada konteks ini, sunnatullah diartikan sebagai suatu gambaran atau deskripsi kehidupan yang nantinya akan dihadapi. Kata sunnatullah diulang sebanyak 13 kali dalam al-Quran. Di antaranya, Allah SWT berfirman : “Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” (QS. al-Ahzab : 62).
Ayat di atas menjelaskan bahwa hukum alam (sunnatullah) yang ditetapkan Allah guna mengatur penciptaan dan mekanisme alam semesta yang bersifat fitrah (tetap dan otomatis) atas semua ciptaan-Nya. Dalam Ensiklopedi Islam, sunnatullah merupakan ketentuan, hukum, atau ketetapan Allah SWT yang berlaku pada alam semesta. Sejak alam ini diciptakan, Allah SWT telah menentukan hukum-Nya dan alam bergerak sesuai dengan hukum yang ditetapkan-Nya, tak terkecuali pada manusia. Hanya saja alam selalu tunduk, sementara manusia kalanya tunduk dan kalanya ingkar. Hal ini seirama sabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa yang membiasakan kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan bagi yang melaksana-kan sesudahnya, dengan tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang-siapa yang membiasakan kebiasaan buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang-orang yang melaksanakan sesudahnya dengan tidak dikurangi sedikit-pun dari dosa-dosa mereka” (HR. Muslim).
Dalam pembuktian sederhana, buah yang matang menyajikan rasa nikmat, manis, dan menyehatkan bila dipetik pada waktu-nya. Tapi, bila dipetik sebelum matang dan belum waktunya, maka akan hilang manis, kesegaran, dan keranumannya. Apatahlagi bila buah yang dipetik berasal dari benih yang busuk, masam, atau pahit, maka hanya menampilkan tumpukan ulat belatung dan tak memberi manfaat.
Apa yang dilakukan manusia terhadap buah yang dipetik sebelum waktunya merupakan bentuk keserakahan dan upaya memanipulasi sunnatullah. Di antara melalui upaya “menyuntiknya” dengan pemanis buatan. Akibatnya, bukan kesehatan yang diberikan, tapi justeru penyakit yang akan datang. Fenomena ini terjadi disebabkan hukum alam yang dilanggar. Pelanggaran yang didorong nafsu serakah dan melupakan aturan-Nya. Hal ini sepertinya bukan hanya menimpa pada buah-buahan, tapi juga terhadap flora, fauna, semua isi alam, termasuk manusia. Bahkan, bila dilakukan secara sistemik oleh manusia tak beradab untuk menempatkan pemilik sifat yang sama, maka akibatnya sangat masif dan menimbulkan mafsadah yang berdampak luas. Kondisi kehancuran yang dilakukan akan sulit diperbaiki. Hanya tersisa penyesalan yang tak lagi diperlukan.
Begitu jelas hukum alam ditampilkan dan dibuktikan secara ilmiah, namun semakin jelas pula pengingkaran yang dipilih dan dilakukan manusia di muka bumi. Bahkan terkesan manusia seakan menantang Allah atas sunnatullah-Nya dengan melakukan pelanggaran secara sengaja, terencana, kolektif, sistemik, dan masif.
Kedua, Alam semesta berbicara melalui tanda dan geraknya. Ketika hukum alam dipermainkan, maka pada tahap selanjut-nya semesta akan berbicara tanpa ampun. Sebab, alam hanya tunduk sesuai aturan-Nya semata. Melalui tanda yang disampai-kan, alam mengingatkan manusia atas kebesaran Allah SWT. Begitu banyak tanda alam telah diperlihatkan. Di antara tanda umum terjadi pada hujan –dan variannya– dengan gumpalan mendung. Kata hujan disebut dalam al-Quran sebanyak 55 kali. Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer. Sebelum hujan turun ke bumi, terjadi proses sebab akibat. Semuanya bisa dibuktikan dan dijelaskan secara detail melalui pendekatan ilmiah.
Sungguh, tak ada yang terjadi tanpa sebab. Demikian pula terhadap perilaku manusia dan seluruh isi alam semesta lainnya. Semuanya diawali adanya sebab, tanda-tanda, dan akibat (peristiwa atau kejadian). Pada dasarnya, tanda alam bertujuan untuk mengingatkan manusia atas kelalaian dan perbuatannya di muka bumi. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena per-buatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Ruum : 41).
Ketiga, Alam semesta berbicara dalam bentuk bencana (murka). Tatkala hukum alam dilanggar, tanda alam didustakan dan tak dijadikan peringatan, maka alam akan menunjukkan murkanya. Berbagai macam bentuk murka alam yang terjadi sepanjang sejarah manusia. Kalanya murka alam terjadi secara individu, kelompok, bahkan kolektif. Bila murka alam hanya menimpa pelaku kejahatan, dampaknya terhadap sesama dapat diminimalisir. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Karena kesombong-an (mereka) di bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri. Mereka hanyalah menunggu (berlakunya) ketentuan kepada orang-orang yang ter-dahulu. Maka kamu tidak akan mendapat-kan perubahan bagi Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyim-pangan bagi ketentuan Allah itu” (QS. al-Fathir : 43).
Namun, murka alam adakalanya bersifat kolektif. Hal ini terjadi tatkala manusia bersikukuh melakukan pengingkaran, maka Allah akan mengutus alam menyampaikan firman-Nya. Ketika hal ini terjadi, maka dampaknya akan luas dan musibah akan menimpa semua makhluk. Begitu nista manusia yang menjadi penyebab murkanya alam. Murka yang menimpa dan berdampak pada seluruh isi semesta oleh ulah segelintir manusia yang tak bermoral. Untuk itu, Allah telah meng-ingatkan melalui firman-Nya : “Dan demi-kianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan” (QS. al-An’âm :129).
Merujuk ayat di atas, Imam Thabrani dalam kitab Kasyfu al-Khafâ menyebutkan bahwa“pemimpin kalian adalah buah dari amalan kalian dan kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian”. Padangan ini diperkuat oleh pepatah Arab “kamu menuai atas apa yang kamu tabur (tanam *pen)“. Bila kebaikan yang ditabur atau ditanam, maka buah kebaikan peradaban akan dipanen. Bila adab lebih didahulukan, maka bangunan peradaban akan kokoh. Tapi, bila adab telah sirna dan kejahatan yang ditabur atau ditanam, maka buah keburukan yang akan didapat dan peradab-an akan penuh luka. Sungguh, tak ada yang terjadi tiba-tiba dan tanpa sebab akibat. Semua hadir diikat melalui aturan Ilahi (sunnatullah) yang pasti. Untuk itu, ketika alam sedang berbicara, maka dengarkanlah secara baik dan bijak.
Sebab, bicara alam merupakan bentuk ketaatannya terhadap perintah Allah semata. Alam akan berbicara tanpa dusta, khianat, dan pembangkangan. Alam tak pernah bisa dinegosiasi (sogok). Ketika alam telah berbicara dan menyampaikan tanda-tandanya, namun manusia tetap angkuh dan melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan ajaran yang telah disampaikan oleh Rasul-Nya, maka bersiap-siaplah pada “sabda alam”. Sebab, ketika alam murka, maka semua akan berpotensi menimpa siapa saja tanpa tebang pilih. Padahal, penyebab murka alam bisa jadi hanya dilakukan oleh segelintir manusia, namun akibatnya bisa menimpa seluruh alam semesta. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan Kami tidak mem-binasakan sesuatu negeripun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan” (QS. asy-Syara’ : 208).
Ketika manusia “bimbang” untuk berkata, tapi semesta (akan) tak pernah ragu untuk berbicara pada waktunya terhadap semua perbuatan manusia. Ia akan berbicara kebaikan ketika manusia menebar kebajik-an. Tapi ia akan berbicara dengan penuh murka ketika semua yang telah disampai-kan tersebut dilanggar oleh manusia deng-an penuh kesombongan. Alam semesta akan menuntut pada niat yang diseleweng-kan, gaya selangit penuh ambisi, kata manis penuh racun, janji yang diingkari, dan sumpah yang dipermainkan. Hukum alam terbukti begitu jelas dan nyata dalam lintas sejarah manusia di muka bumi. Bukti semesta berbicara telah berulangkali terjadi. Tak ada alasan manusia tak mengetahui. Semua sunnatullah yang terjadi membuktikan kebenaran janji Ilahi. Tujuan alam berbicara pada manusia agar kembali pada kepatuhannya mengikuti aturan Allah dan adab Rasul-Nya. Meski alam berulangkali berbicara, namun manusia tak memahami atau tak mau memahaminya. Bila hal ini terjadi, maka apa yang dinyatakan Allah seakan sedang dikangkangi. Hal ini sesuai firman-Nya : “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di muka bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar. Sebenarnya bukan mata itu yang buta, melainkan yang buta adalah hati yang di dalam dada” (QS. al-Hajj : 46).
Andai murkanya alam disebabkan perilaku segelintir manusia yang tanpa adab (ingkar), tapi dampaknya akan berakibat pada semua yang ada. Sungguh, betapa besar dosa yang menyebabkan semuanya terjadi. Apakah kelak di neraka manusia masih lihai mengatur siasat, berkilah, kuat, dan mampu “membeli kesalahan” sebagai-mana biasa dilakukannya ketika di dunia untuk menahan siksaan-Nya ? Atau sebenarnya telah sirna iman dan malu dalam diri yang menganggap janji dan peringatan Allah sebatas dongeng belaka. Entahlah, padahal semesta telah, sedang, dan akan selalu (pasti) berbicara seiring tak hentinya perilaku manusia memper-mainkan, mendustakan, dan memperjual-belikan ayat-Nya dalam setiap untaian kata, janji yang menggema, sumpah yang menggelegar, dan berupaya untuk meng-hilangkan “sinar matahari” agar tak tak ada bayang-bayang. Manusia seperti ini merupakan sosok vampire yang takut kebenaran. Ia hanya “berselimut asesoris keshalehan” untuk menutupi kebusukan nafsu yang suka “menghisap darah” dan anasir kotor lainnya. Namun, pada waktunya semua akan terlihat, meski akan tersisa penyesalan yang tak bertepi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 4 Maret 2024