Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Kebijakan dan program pendidikan perlu disusun secara benar dan matang, bukan sekedar trial and error” dan bongkar pasang. Sebab, sasaran pendidikan adalah manusia masa depan, bukan “kelinci percobaan”. Kebijakan yang diambil harus membangun peradaban, bukan sekedar latah popularitas tanpa mempertimbangkan kesiapan SDM dan sarana pendukung.
Di penghujung tahun 2024, Menteri Pendidik-an Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu’thi mencoba melakukan perbaikan atas kebijakan dunia pendidikan Indonesia. Ia menawarkan kurikulum yang lebih berfokus pada pembelajaran mendalam (deep learning), bukan sebatas “pelepas administrasi dan tugas”. Melalui kurikulum deep learning, sistem pembelajaran didesain bertujuan memperkuat pemahaman peserta didik dengan pendekatan yang lebih komprehensif. Sebuah tawaran yang patut diapresiasi, meski perlu disiapkan secara matang agar kesalahan tak berulang. Sebab, tawarannya berangkat dari ilmu dan pengalaman sebagai pendidik, bukan sekedar mencari popularitas politis semata.
Penulis mencoba mengelaborasi pemikiran Abdul Mu’thi dengan pengembangan berfikir triangulasi. Melalui pendekatan ini, penulis menawarkan beberapa pengembangan yang perlu dilakukan bagi merevolusi kebijakan pendidikan di Indonesia, antara lain :
Pertama, Mindful learning; menekankan pentingnya mengembangkan olah akal dan hati (al-qalb). Melalui pendekatan ini, pem-belajaran diarahkan untuk mendorong peserta aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini merupakan upaya mengembangkan potensi manusia sebagai makhluk berfikir. Peluang ini secara khusus dibuka oleh Allah melalui QS. al-‘Alaq : 1-5 dan varian kata menggunakan akal dan hati yang tersebar dalam al-Quran. Hanya saja, ruang olah akal mengalami keterbatasan. Akal hanya mampu mengolah fenomena alam (ciptaan) semata. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabda-nya : “berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah” (HR. Abu Nu’aim).
Kedua, Meaningful learning ; berfokus upaya pendidik menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan nyata. Sebab, belajar pada hakikat-nya menghadirkan makna dan memberi peluang bagi peserta didik mengekaplorasi atas apa yang dipelajari. Melalui upaya ini, peserta didik akan mendapatkan inti materi dan merasakan kebermaknaan pembelajaran yang dilaksanakan, baik secara vertikal mau-pun horizontal. Ketika pendidik mampu meng-hadirkan pembelajaran yang berdimenai kebermaknaan, maka peserta didik akan memahami nilai ilmu dan memotivasinya untuk mendalami ilmu yang dipelajarinya.
Ketiga, Joyful learning ; pembelajaran yang menyenangkan. Dalam proses pendidikan, pendidik perlu menciptakan suasana menyenangkan agar materi mudah dipahami. Sebab, belajar adalah materi yang mampu mengisi akal berkembang dan hati bahagia.
Hal ini sesuai firman-Nya : “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan” (QS. al-Furqan : 56).
Menurut Ibn Katsir, penggunaan kata pada ayat di atas penuh makna mendidik diri. Pembawa khabar gembira ketika berprilaku sesuai perintah-Nya dan peringatan bila berprilaku melanggar ajaran-Nya. Penggunaan kata “peringatan” memberikan peluang agar akal dan hati berinteraksi secara harmonis atas apa yang dilarang-Nya.
Keempat, Ethicality learning ; pembelajaran menekankan penanaman adab mulia. Sebab, pembeda utama kualitas antar manusia dan makhluk lainnya terlihat pada adab yang dimiliki. Hal ini secara tegas menjadi tujuan utama hadirnya Rasulullah di muka bumi. Hal ini dinyatakan melalui sabdanya : “Sesungguh-nya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Al-Baihaqi).
Sungguh, inti dan tanda pemilik ilmu ada pada adab mulia. Tanda berilmu bukan sebatas karya yang dimiliki status yang diperoleh, atau deretan gelar yang didapat. Hal ini sesuai pepatah Arab mengatakan : “al- adab fauqa al-‘Ilmi” (adab lebih tinggi dari-pada ilmu). Untuk itu, proses pembelajaran pada hakikatnya menanamkan adab. Tanam-an adab hanya bisa tumbuh tatkala pendidik dan peserta didik mampu memahami dan mengamalkan ilmu secara benar.
Kelima, Profesionally learning; pengajaran dilakukan oleh pendidik profesional sesuai keahlian (berkeahlian). Dengan demikian, peserta didik akan memperoleh ilmu dari pemilik ilmu, bukan “serabutan” dan asalan. Tanggunjawab keilmuan pendidik diingatkan Rasulullah melalui sabdanya :“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Bila meletakkan (menyerahkan) ilmu bukan pada ahlinya bagaikan menggantungkan permata, mutiara dan emas pada babi” (HR. Ibnu Majah).
Begitu jelas dan tegas hadis di atas meng-ingatkan agar proses pendidikan diserahkan pada ahlinya. Bila pendidik dan pembimbing ilmu diberikan pada mereka yang bukan ahli-nya, maka bagai menggantungkan mutiara dan emas ke leher babi (hewan). Bagi pemilik akal, pernyataan Rasulullah seyogyanya menjadi acuan. Namun, anehnya apa yang diingatkan Rasulullah justeru acapkali dilanggar dan dipermainkan. Sebab, fenomena yang muncul memperlihatkan proses pendidikan kalanya diberikan oleh pendidik yang bukan ahlinya. Ada beberapa penyebab fenomena ini masih terjadi, antara lain : (1) material oriented dan “bagi-bagi rezeki”. (2) hilangnya muru’ah (harga diri) pendidik atas adab keilmuan yang seharusnya dimiliki. (3) kekuatan pengaruh kolegial yang begitu mengkristal.
Sayangnya, persoalan profesional keilmuan acapkali terlepas dari perhatian dan pantau-an “penjaga kebijakan”. Akibatnya, praktek fenomena amatiran (tidak profesional) ini seakan terjadi pembiaran, dianggap biasa (wajar), tanpa evaluasi, dan tanpa sanksi. Ketika sikap ini terus dibiarkan terjadi, maka ruh pendidikan akan hilang dan tujuan pendidikan akan terkoyak. Bila demikian, maka wajah generasi akan membawa “virus” busuk bagi bangunan peradaban selanjutnya. Sebab, tak ada yang bisa diharapkan atas keilmuan yang diperoleh. Apatahlagi rendah-nya kemampuan literasi pendidik dan peserta didik. Padahal, sejarah para ilmuan (ulama) zaman keemasan Islam sangat jelas menampilkan korelasi keilmuan (proses) dan literasi yang dihasilkannya (buku rujukan). Adalah sosok Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Nashiruddin at-Thusi, Ibnu Miskawaih, Imam Ghazali, Ibn Thufail, dan ratusan ilmuan muslim lainnya. Semua menyampaikan ilmu sesuai keahlian dan beriringan karya yang dihasilkan. Bahkan, setiap ilmuan mampu menghasilkan karya yang tak sedikit jumlahnya. Sementara –kalanya– segelintir pendidik saat ini justeru menyampaikan ilmu tanpa memiliki karya terhadap ilmu yang diajarkan. Andai ada, acapkali sebatas kepentingan administrasi pribadi (kenaikan golongan), bukan kepentingan membangun peradaban keummatan. Hal ini menunjukan rendahnya profesionalisme dan kepedulian literasi yang dimiliki. Anehnya, terhadap “ilmuan” yang demikian, amanah mendidik dan membimbing acapkali selalu diberikan. Sungguh telah hilang muruah diri bersamaan dominasi asa mengejar “materi” dan prestise tanpa prestasi yang membumbung tinggi.
Ada kalanya, agar “ilmuan” yang diinginkan memperoleh “kue”, maka kurikulum disusun sesuai keinginan, bukan sesuai tujuan dan aturan. Kurikulum “dikloning dan diamputasi” tanpa akar ilmu yang kokoh. Ketika model ini terus dilakukan dan dibiarkan, tak ada lagi harapan lahirnya generasi berkualitas. Hanya lembaran ijazah dan deretan gelar bertengger anggun, tapi kosong isi dan adab terpuji.
Keenam, Pendidikan bukan sekedar untuk menyesuaikan tuntutan lapangan kerja, tapi seyogyanya mampu menciptakan lapangan kerja baru yang berorientasi masa depan. Bila hanya sekedar menyesuaikan lapangan kerja, maka pendidikan akan terus tertinggal untuk menjawab tantangan yang dinamis. Bila hal ini terjadi, maka lembaga pendidikan hanya sebatas “pepesan titel dan prestise” tanpa isi kecerdasan dan kebijaksanaan. Untuk memperbaiki persoalan di atas perlu didukung kebijakan dan keinginan bersama. Muatan dan struktur kurikulum yang benar perlu dibangun secara matang. Sebab, sebagian muatan kurikulum masih terkesan sekedar mengulang jenjang pendidikan sebelumnya dan bersifat stagnan. Hal ini terlihat pada struktur, isi materi, dan substansi kurikulum sejak tingkat dasar sampai pendidikan tinggi.
Ketujuh, Dunia pendidikan bukan sebatas pemberi ijazah dan anugerah gelar akademik. Sebab, beberapa kasus menghadirkan pemandangan memilukan. Begitu mudah gelar diperoleh, bahkan diraih sebelum waktu semestinya (normal). Apalagi tatkala rangkai-an tugas dan proses dunia pendidikan menjadi rusak oleh campur tangan “mafia pendidikan” yang menjamur. Eksiatensinya bak angin semilir, terasa tapi sulit diberantas. Ada pula lembaga pendidikan “abal-abal” dan misterius yang lepas dari pantauan penjaga kebijakan. Bahkan, di antara lembaga tersebut hadir “di depan mata” sekitaran pemegang kebijakan. Sebuah pertanyaan yang patut ditelusuri secara serius hubungan benang kusut yang terjadi. Atau mungkin –memang– dibiarkan agar tetap menjamur.
Kedelapan, Pendidik perlu lebih fokus pada tugas mendidik, bukan disibukan tumpukan tugas administrasi atau status yang sangat menyita perhatian dan waktu. Akibatnya, penguatan materi ajar menjadi terbengkalai. Apatahlagi hadir kebijakan “serba scopus” yang mem-buka peluang “bisnis” dan “permainan para predator” yang mencederai dunia pendidikan. Meski fenomena ini sering diapungkan, tapi kebijakannya seakan tak pernah dievaluasi dan dicari solusinya.
Dengan titik revolusi deep learning yang bermakna, menyenangkan, beradab, dan profesional diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu yang kreatif, inovatif, ke-ingintahuan yang tinggi, kepribadian beradab,dan profesional. Untuk itu, penjaga kebijakan pendidikan saatnya “turun gunung” (tanpa main mata) melihat “lahar” dunia pendidikan yang berserakan. Sebab, ketika gunung hanya dilihat dari kejauhan, maka semua begitu indah menawan. Keindahan yang dipengaruhi fatamorgana palsu. Padahal, ketika gunung didekati secara langsung, maka akan terlihat banyak “makhluk” mati di kaki gunung.
Sungguh, meski pendidikan merupakan pondasi bangunan bernegara dan wajah bangsa, namun acapkali “bongkar pasang” sesuai musim. Fenomena ini menunjukan bentuk “kebingungan dan ketidakfahaman” dalam membangun pondasi peradaban. Saatnya “tukang” yang bingung perlu segera diamputasi. Bila tidak, ia bagaikan anai-anai yang merobohkan bangunan peradaban. Bangsa ini memerlukan “tukang” yang ahli –bukan kenek serabutan– dalam menata dan melaksanakan pendidikan yang benar (ideal).
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 2 Desember 2024