Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Fitrah manusia selalu ingin tau. Untuk itu, manusia berusaha untuk memenuhi keingin-tahuannya. Di antara upaya mulia yang dilaku-kan dengan cara menuntut ilmu. Upaya mulia ini akan mengangkat derajat manusia. Hal ini dijanjikan Allah melalui QS. al-Mujadalah : 11. Ayat ini menjelaskan keutamaan orang-orang beriman (adab) dan berilmu pengetahuan. Hanya mereka yang “ahli ilmu” yang memiliki kelapangan hati dan fikiran untuk menerima dan melaksanakan ajaran-Nya. Motivasi ini menjadikan upaya menyebarkan dan mencari ilmu merupakan bagian ibadah. Hal ini terbukti pada sejarah keemasan Islam. Adalah Ibn Hajar yang tekun belajar, meng-hantarkannya sosok ulama terkenal. Ibnu Sina yang ahli di bidang kedokteran, ilmu jiwa, fiqh, filsafat, dan ilmu kalam. Nashiruddin at-Thusi, pencetus Trigonometri, filsafat Islam, dan ilmu kalam. Ibnu Khaldun, sosok bapak sosologi dunia, politisi, sekaligus ahli ilmu kalam, fiqh, dan ekonomi Islam. Imam Ghazali, seorang yang ahli ilmu kalam, tafsir Al-Qur’an, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, fiqih, filsafat, dan lainnya. Ibnu Thufail yang ahli di bidang filsafat, sastra, dan fisika. Demikian pula sosok Ibnu Miskawih (keutamaan akhlak), al-Kindi, al-Farabi (bapak peradaban), Ibn al-Haitsam, Ibn Rusyd (filsafat), al-Khawarizmi, Abbas Ibn Firnas (pencipta ide pesawat), al-Battani (matematika), al-Zahrawi (teori menjahit luka), Ahmad Ibn Tulun (Rumah Sakit al-Fustat), al-Jazari (mesin pompa air), ar-Razi (penemu penyakit cacar dan etika kedokteran), Ibn Zuhr, al-Zahrawi (bedah), Ibn al-Quff (perintis embriologi modern), Umar al-Farukhan (matematika). Ada pula sosok al-Fazari, Abu Ishaq al-Zarqali, Jabir bin Aflah, dan Abul Wafa (ilmu astronomi) ; al-Qurthubi, Ibn Athiyah al-Andalusi, Ibnu Ishaq, dan ath-Thobari (ilmu tafsir) ; Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, dan at-Tirmidzi (ilmu hadis) ; Imam Hanafi, Syafie, Maliki, dan Hambali (fiqh) ; Rabi’ah al-Adawiyah, al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami (tasauf) ; Ibnu al-Qifti, Ibn Quthaibah (sejarah), dan lain sebagainya.
Mereka semua merupakan sosok ahli ilmu (ulama) Islam pada zaman keemasan dengan keilmuan yang utuh, prilaku yang berbalut adab, dan tumpukan karya yang tersusun rapi. Kehadirannya bukan sebatas “ulama kata” (status) yang dimuliakan, tapi juga “ulama karya” (hakiki) yang membangun peradaban. Mereka mencintai dan pemilik ilmu, serta menyebarkan ilmu, bukan “ulama” yang bangga status diri (flexing status), ilmu yang dangkal, harap kemuliaan semu, dan menyebarkan gosip (fitnah) yang membuat umat terpecah. “Ulama status” bukan tipkal ahli ilmu. Sebab, hanya ahli ilmu yang mampu meraih inti ilmu (adab). Hal ini dinukilkan pepatah Arab “adab lebih penting daripada ilmu pengetahuan”. Sebab, ilmu tanpa adab akan menyebabkan ketidaktertiban moral dan kehancuran peradaban.
Sungguh, tak sedikit manusia menuntut ilmu –berikut deretan gelar– tapi bukan sosok ahli ilmu. Sebab, -menurut penulis–menuntut ilmu merupakan rangkaian aktivitas syariat. Proses yang dilalui kalanya berwujud upaya formal (lembaga pendidikan sesuai aturan), non formal (alam semesta), dan abnormal (kemungkaran atau jalan pintas).
Aktivitas menuntut ilmu secara formal dan non formal memiliki peluang meraih kualitas “ahli ilmu”. Sementara aktivitas meraih prestise ilmu dengan cara batil tak akan mampu meraih predikat ahli ilmu. Sedangkan ahli ilmu melakukan rangkaian aktivitas ilmu secara syariat dan hakikat. Ahli ilmu adalah orang yang memiliki ilmu, pemahaman (kompetensi), dan mengamal-kan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, seorang ahli ilmu berprilaku dan mengambil keputusan dengan landasan keilmuan yang kompeten dan komprehensif. Sebab, ahli ilmu senantiasa menjadikan ilmu sebagai sarana menunaikan perintah-Nya dan bercermin adab pada akhlak Rasul-Nya. Dalam Islam, sosok ahli ilmu yang demikian akan diangkat pada posisi mulia . Hal ini dinyatakan dalam sabdanya : “Dan ulama adalah pewaris para anbiya (nabi), dan sesunguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu” (HR. Abu Dawud).
Keistimewaan ulama tercermin pada keluas-an ilmu yang berbingkai adab dan kekokohan akidah sesuai risalah Rasulullah. Hanya sosok ulama yang amanah atas risalah Rasulullah akan menghantarkannya sebagai pewaris nabi. Namun, bila karakter ulama tak lagi sesuai adab dan risalah Rasulullah, maka ia tak pernah menjadi pewaris nabi secara hakiki. Meski sosok ulama suu’ dipandang mulia oleh penduduk bumi, tapi dinilai hina dan nista oleh penduduk langit. Sebab, pen-duduk langit tak pernah bisa ditipu oleh kilau asesories palsu.
Bila dilihat secara bahasa asal, kata ulama terdiri atas huruf ‘ain, lam, dan mim. Rangkai-an huruf yang singkat, tapi memiliki makna yang sangat dalam. Bila ketiga huruf tersebut dikaji, maka tergambar sosok ulama yang berkarakter ahli ilmu (ulul ‘ilmi) yang hakiki (ngilmu). Kandungan makna ketiga huruf tersebut antara lain :
Pertama, ‘Ain sosok ‘illiyyin (tempat yang tinggi). Hal ini merujuk pada firman-Nya : “Sekali-kali tidak !. Sesungguhnya catatan orang-orang yang berbakti benar-benar tersimpan dalam ‘Illiyyīn. Dan tahukah engkau apakah ‘Illiyyīn itu ?. (Yaitu) Kitab yang berisi catatan (amal), yang disaksikan oleh (malaikat-malaikat) yang didekatkan (kepada Allah). (QS. Muthaffifin : 18-21).
Ibnu Abbas RA menjelaskan bahwa ‘illiyyin merupakan posisi hamba pilihan yang dikumpulkan di langit ketujuh bersama ruh hamba-Nya yang beriman. Sedangkan terhadap hamba yang ingkar akan ditempatkan pada lapisan bumi ketujuh (sijjiin) bersama ruh hamba yang kafir.
Sosok ulama ‘illiyyin (“ngilmu”) memiliki wawasan yang luas dan adab mulia. Ia tak pernah berhenti menimba, mencari, dan menghormati sumber ilmu. Karakter mencari ilmu bagaikan minum air laut. Semakin diminum semakin haus. Pemilik ilmu yang demikian senantiasa memandang mulia pada sesama. Ulama “ngilmu” yang berkarakter ‘illiyyin bukan hanya meraih kemuliaan, tapi ikut mengangkat kemuliaan semua makhluk yang ada disekelilingnya. Ia bagaikan penjual “minyak wangi” yang menghadirkan aroma wangi bagi alam semesta.
Berbeda dengan ulama “ngaku-ngaku”. Ia hanya menilai dirinya paling sempurna dan hebat. Merasa diri tak terkalahkan, paling mulia dan benar. Pemilik ilmu tipe ini hanya ingin derajatnya ditinggikan, padahal sebenar-nya tak memiliki kemampuan dan adab layak-nya orang berilmu. Meski tampilan dan retorikanya memukau, tapi semua tipuan belaka. Ulama “ngaku-ngaku” hanya ingin dimuliakan, tapi melalui jalan menjatuhkan orang lain. Eksistensinya bagaikan politik “belah bambu” yang ingin dirinya terangkat dengan memijak pihak lain. Sosok tipikal “ngaku-ngaku” yang sombong, maka pada waktunya akan jatuh dan nista (sijjin). Demikian janji Allah dalam QS. al-A’raf : 146.
Kedua, Lam sosok lathifah : pemilik sifat kasih sayang beruntaikan akhlak mulia. Hal ini merupakan implementasi sifat Allah yang termuat pada firman-Nya : “Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya. Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. asy-Syura :19).
Dalam al-Quran, kata lathif atau lathifah diulang Allah sebanyak 7 kali yang tersebar pada 7 surah. Kata ini menunjukan sifat Allah Yang Maha Lembut. Demikian seyogyanya pemilik ilmu yang beradab. Untaian kata dan prilakunya menyejukan. Katanya datar penuh hikmah dan mengisi ruang akal yang sehat. Bahasanya santun dan beradab pada semua manusia tanpa melihat status.
Berbeda dengan kata ulama “ngaku-ngaku”. Ucapannya tak bisa dibantah dan selalu menganggap dirinya paling benar dan enggan mengakui ketidaktauannya. Katanya berisi kesombongan dan prilakunya menyakitkan hati, berisi provokasi penuh ambisi, penuh kebencian, atau kasar tanpa filter pada sesama, terutama kaum pinggiran. Sejuta alasan dan dalil hanya sebatas asesories untuk membenarkan kesalahan. Sikapnya terkesan merendahkan ilmu dan jasa orang lain. Padahal, ruang ilmu sangat luas. Sebab, ilmu manusia sangat sedikit sesuai kadar yang dianugerahkan-Nya (QS. al-Isra’ : 85). Bagi sosok ahli ilmu hakiki (ngilmu), persoalan furu’iyah tak membuatnya tampil sebagai hakim yang merasa paling benar dan berpihak pada kelompok tertentu, tapi saling menghargai perbedaan atas ijtihad yang lainnya. Demikian tampilan adab ahli ilmu muslim zaman keemasan. Mereka hadir tanpa ingin minta dipuji, tapi pujian hadir oleh masyarakat dan dihadirkan oleh Allah karena kualitas ilmu dan adab yang dimiliki. Dalam konteks ini, penghargaan yang diperoleh hadir karena kepatutan dan kepantasan, bukan sekedar “pencatutan” dan jalan pintas.
Ketiga, Mim sosok malik al-‘ibad yang menjadi panutan bagi umat, baik kata dan perbuatan. Sosoknya menjadi penyuluh di saat kegelapan, pedoman (kompas) bila umat kehilangan arah, penyejuk ketika sua-sana memanas, didahulukan selangkah, dan ditinggikan seranting. Kehadirannya sebagai penjaga akidah umat, bukan menjual agama untuk dunia. Posisi ulama yang demikian dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama’. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun” (QS. al-Fatir : 28).
Ulama pada ayat di atas menjadikan ilmunya untuk mengenal Allah dan adab bercermin pada Rasulullah. Ia hadir pembawa khabar gembira, petunjuk, pembinaan (bukan peng-hinaan), pemberi peringatan, menjernihkan yang kotor, mendidik dengan ketauladanan, menyatukan umat, serta mengajarkan ilmu bermanfaat yang mencerdaskan.
Bagi ‘ulama yang masuk pada kategori ahli ilmu (ulul ‘ilmi), semua yang ada berawal pada Allah semata. Bagai deretan angka, semua tak pernah ada tanpa angka 1 (ahad). Tak ada ulama yang ‘alim (pintar) bila belum mampu kenal dan menghadirkan Yang Maha ‘Alim (Allah). Sebab, setiap aktivitas manusia berawal dari satu titik (nuqthotil wujud). Melalui titik tersebut, manusia mengembang-kannya dengan karya (ilmu). Ulama yang ahli ilmu senantiasa menghadirkan Allah dalam denyut nadi, nafas, kata, dan perbuatan. Demikian inti seorang ulama hakiki (ngilmu). Ia hadir sebagai wujud penghambaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan.
Hanya saja, perkembangan zaman kalanya menghadirkan sisi manusia prestise (titel dan penghormatan), tanpa niat memiliki ilmu. Sosok ini mengedepankan “keberanian tampil beda”, bukan alasan kepantasan ilmu dan adab. Anehnya, terdapat masyarakat “selevel” yang mudah terpengaruh dan siap “pasang badan” menjadi pembela ala buzzer, baik dunia nyata maupun dunia maya. Bahkan, kata dan prilakunya yang tak pantas pada sesama akan dinilai biasa. Ketika kesalahan dianggap biasa dan dibiarkan berulang, maka kesalahan akan menjadi kebiasaan. Akibat-nya, sosok manusia “ngaku-ngaku” menjadi bebas berbuat dan berujar, tapi tak pernah boleh disalahkan atau diajar. Hal ini menjadi daya tarik bagi manusia “ngaku-ngaku” untuk mencari dan meraih posisi agar “leluasa”. Sebab, ketika atribut status diperoleh, ia bisa “menggenggam dunia”. Fenomena ini memperlihatkan secara jelas perbedaan antara sosok ulama (ilmuan) jalur “ngilmu” dengan jalur “ngaku-ngaku” yang ingin diakui dan populer. Jalur “ngilmu” prosesnya evolusi (formal dan alami). Sedangkan jalur “ngaku-ngaku” prosesnya revolusi (posisi-situasi).
Secara historis, ulama zaman keemasan Islam, berinteraksi dengan menghasilkan karya (buku dan temuan ilmiah) untuk saling memperkuat kebenaran (diskusi ilmiah) dan saling menghormati perbedaan ijtihad. Sementara ilmuan modern melakukan debat kusir –tanpa karya– melalui media sosial untuk melampiaskan dendam dan menyebar kebencian. Meski tampilan seakan pemilik kebaikan dan kecerdasan, namun kenyataan kata dan prilaku justeru bagaikan manusia yang mengalami keterbelakangan (mental).
Sungguh, pada waktunya, Allah SWT akan memperlihatkan kualitas manusia “ngilmu” dan “ngaku-ngaku”. Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Barangsiapa yang beramal ingin dilihat, maka Allah akan tampakkan amalan (riya’) itu. Barangsiapa yang beramal dengan sum’ah, maka Allah akan bongkar (perlihatkan) pula amalan tersebut” (HR. Bukhari dan Muslim).
Masihkah hati dan akal tak tersentuh dan malu tatkala Allah secara jelas menyampai-kan dalam al-Quran, Rasulullah mencontoh-kan adab mulia, dan karakter ulama hakiki mengikutinya. Semua manusia memiliki potensi berprilaku keliru. Hanya saja, ada yang sadar dan segera memperbaiki, tapi banyak pula yang tak pernah mau sadar dan tak mau diperbaiki. Pada waktunya, pilihan akan memperlihatkan kualitas diri yang sebenarnya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 9 Desember 2024