Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Bulan ramadhan merupakan bulan yang kesembilan kalender hijiyah yang digunakan sejak tahun ke-16 setelah hijrah (622 M). Ia berlaku sejak pemerintahan khalifah Umar bin Khatab. Secara bahasa, kata ramadhan berarti “panas membakar yang menghangus-kan atau kekeringan”. Sebab, pada bulan ini posisi matahari jauh lebih menyengat dibanding bulan lain. Ada pula yang mengartikan ramadhan secara metaforis (kiasan). Hal ini dijelaskan Imam al-Qurthubi bahwa alasan penamaan bulan ramadhan karena ia mampu menggugurkan (membakar) dosa-dosa dengan amal saleh.
Secara medis, puasa berfungsi untuk menata ulang dan memperbaharui metabolisme pada tubuh, melatih makan yang seimbang, proses detoksinasi, regenerasi sel, dan meningkat-kan imunitas (kekuatan fisik dan spiritual) yang akan mempengaruhi tingkah lakunya. Melalui puasa, manusia akan memetik manfaat kesehatan. Hal ini sesuai pesan Rasulullah : “Berpuasalah niscaya kalian akan sehat” (HR. Ath-Thabrani).
Kesehatan yang dimaksud dikaji secara intens pada aspek jasmani. Namun, aspek rohani acapkali kurang ditelaah secara bijak. Ada beberapa dimensi rohani makna yang dituju oleh bulan ramadhan, antara lain :
Pertama, Ramadhan berarti panas yang mampu membantu pohon kurma mematang-kan buahnya. Ketika itu, kurma mampu memberi manfaat bagi manusia dengan berbagai jenis nutrisi yang dibutuhkan. Sebagai salah satu jenis buah yang istimewa, al-Quran menyebutkannya secara langsung sebanyak 20 kali dan 1 kali dengan meng-gunakan kata tak langsung. Secara tematik, kata yang digunakan bervariasi pula, yaitu : kata an-nakhiil (6 kali), “an-nakhl” (11 kali), “an-nakhlah” (2 kali), “liinah” (1 kali), dan “al-‘Urjuun” (1 kali).
Bila panas matahari mampu mematangkan kurma dan panasnya api mampu menempa besi yang keras, maka seyogyanya panas ramadhan mampu mematangkan akal dan budi manusia. Hal ini dianalogikan panas api yang mampu membakar dan mencairkan materi yang keras (materi yang ada di bumi). Bila besi yang berkarat telah mencair, maka akan merubah wujud yang lebih baik dan berfungsi. Namun, ketika ramadhan tak lagi mampu meluluhkan kerasnya akal dan hati manusia, berarti ia terbuat dari materi yang melampaui kerasnya besi. Untuk itu, meski bulan ramadhan acapkali ditemukan, tapi tak selamanya mampu merubah sifat manusia berkarakter “besi tua” yang mendominasi dirinya. Hal ini diperparah bila manusia menganggap dirinya belum “aqil baligh” atau masul fase “kepikunan”. Semua perbuatannya dianggap belum memiliki konsekuensi dan gugur tanggungjawab (dosa) atas yang diperbuat. Bagai prilaku anak-anak di bawah umur atau fase pikun yang bebas berbuat tanpa pernah merasa berdosa atas apa yang dilakukan. Fenomena ini terlihat jelas pada prilaku manusia yang merasa selalu benar dan bebas berbuat kesalahan selama ramadhan, apatahlagi setelah ramadhan. Ternyata, ia hanya dewasa menurut deret hitung (adanya KTP), tapi belum aqil baligh menurut deret ukur. Untuk itu, wajar bila semua amal, status, dan ilmu tak mampu menjamin hadirnya kedewasaan hakiki sebagai sosok ulul albab.
Sungguh, panasnya ramadhan acapkali tak mampu menempa kerasnya sifat dan prilaku manusia. Mungkin, karakter ini merupakan bentuk ketergesa-gesaan unsur tanah (asal kejadian) yang tanpa perhitungan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh, sehingga Allah akan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan; dan Allah akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. al-Ahzab : 72-73)
Ibnu Abbas menjelaskan maksud ayat di atas adalah korelasi amanat dan ketaatan. Awal-nya, Allah menawarkan amanat kepada alam semesta. Tapi, alam semesta sadar tak mampu amanah dan mentaati Allah. Lalu, Allah menyampaikan kepada Adam atas ketidakmampuan alam semesta. Apakah kamu mau memikul amanat ini berikut segala akibatnya?” Adam bertanya, “Apa saja konsekuensinya itu, wahai Tuhanku ?”. Allah SWT menjawab, “Jika kamu berbuat baik, maka kamu diberi pahala. Dan jika kamu berbuat buruk, kamu disiksa (diazab)”. Lalu, Adam berkata, “Saya terima.” Hanya saja, tak perlu waktu lama, Adam dan Hawa melaku-kan pelanggaran (memakan buah khuldi) atas janji yang diikrarkannya.
Kedua, Ramadhan menghangatkan dimensi silaturrahim dan kepekaan (kesalehan) sosial. Padahal, di luar ramadhan begitu kaku dan membeku. Kehangatannya terwujud pada beberapa anjuran, antara lain : berbagi rezeki (makanan) untuk berbuka puasa, memotivasi infak dan sedekah, menjaga mulut dengan zikrullah dan tidak saling menyakiti, menyadarkan dimensi penghambaan, serta membangun dan memupuk rasa kesetaraan pada sesama.
Potensi kesombongan hadir pada seluruh manusia. Namun, potensinya begitu mudah berkembang pada manusia yang tak memiliki kemampuan. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan-nya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raf : 179).
Menurut at-Thabari, ayat di atas menjelaskan sifat manusia. Mereka punya hati, mata, dan telinga, tapi berpotensi tersesat layaknya binatang ternak. Mereka tampil sebagai manusia, tapi sifat dan prilaku layaknya hewan melata. Sedangkan menurut Ibn Katsir manusia layaknya binatang ternak yang diseru oleh sang penggembala. Namun, ia hanya sebatas melihat dan mendengar, tapi tak memahami apa yang dilihat dan dikata-kan oleh si penggembala.
Meski ramadhan hadir mengikis karatnya diri, tapi segelintirnya justru menyembunyikan sisi karat diri agar tak terlihat. Untuk itu, ia akan bangun kesombongan dan memakai baju kemunafikan. Tujuannya agar ketidakmam-puan dan kelemahan yang dimiliki mampu ditutupi. Kesombongan biasanya berkelindan dengan prilaku zalim yang tersusun rapi. Ianya bertujuan untuk memperkuat otoritas “keagungan” yang dimiliki tak mampu terentuh. Sifat ini sangat dimurkai oleh Allah. Hal ini dinyatakan dalam hadist qudsi, “Allah berfirman bahwa sifat sombong itu selendang-Ku dan keagungan itu pakaian-Ku. Barangsiapa menentang-Ku dari keduanya, maka Aku akan masukkan ia ke neraka jahanam” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad).
Melalui hadis di atas, Allah secara tegas sangat benci dan murka kepada hamba-Nya yang memiliki sifat sombong yang bermuara pada kezaliman. Potensi ini berkorelasi antara potensi kesombongan dan hakikat penciptaan manusia yang berasal dari tanah (saripati), sujud ke tanah, dan pada waktunya kembali ke tanah. Kesemuanya agar manusia menyadari dan mampu meredam potensi kesombongan yang ada. Puasa ramadhan membawa pesan kesetaraan penghambaan dan neraca kuantitas “sujudnya hamba” yang seyogyanya lebih baik di banding bulan di luar ramadhan. Namun, tatkala di bulan ramadhan saja sifat sombong dan prilaku kezaliman tak mampu dihancurkan, maka tak ada harapan kebaikan yang tersisa pada dirinya. Semua hanya terselesaikan ketika jasadnya kembali bersama tanah (kematian).
Sejauh apa perjalanan manusia, ujungnya tetap menuju kematian. Dunia bukan tujuan, tapi dunia sebatas perantara menuju akhirat. Dunia bukan rumah atau wilayah kekuasaan, tapi hanya tempat transit sementara menuju keabadian. Dunia bukan untuk dimiliki, tapi diisi tanaman kebajikan untuk dipanen dan dinikmati kelak di akhirat.
Meski semua manusia tau atas pesan agama dan olah rasa, tapi anehnya acapkali tak mau tau atas apa yang dilakukan. Ia merasa seakan pemilik, penguasa, dan ingin memiliki dunia selama-lamanya. Kelezatan dunia seakan menjadi tujuan utama dan segala-galanya. Manusia acapkali berangan-angan panjang dan berhasrat tinggi menguasai dunia dengan segala cara. Akibatnya manusia lupa adanya kematian dan kehidupan akhirat yang abadi.
Meski manusia diciptakan sebagai makhluk bumi untuk menata alam, namun wujud tampilan dan prilakunya seakan pemilik yang menguasai seluruh semesta. Sifat ini pada gilirannya mendorongnya menguasai secara tidak wajar (serakah) dan zalim. Akibatnya, manusia tampil melampaui kebutuhan hidup seluruh ciptaan Allah yang ada di muka bumi.
Manusia sebagai makhluk berperadaban, bila bersentuhan dengan hasrat menguasai, maka lebih dahsyat dibanding makhluk yang tak berbudaya. Tak kenal lagi halal-haram, benar-salah, baik-buruk, mengikuti atau melanggar aturan (hukum), dan lain sebagainya. Semua dilakukan untuk tercapainya hasrat nafsu yang tinggi menggunung.
Sungguh, ramadhan hadir dengan sejuta kesucian-Nya, namun manusia acapkali mengotorinya. Ramadhan kesempatan untuk mengasah jiwa, ketajaman pikiran, dan kejernihan hati. Bila ingin melihat kesucian manusia, lihat upayanya mengikis dosa diri selama ramadhan. Bila selama ramadhan hadir kesadaran dan kebajikan diri, maka peluang bangunan kebaikan masih terbuka hadir pada 11 bulan ke depan. Namun, bila selama ramadhan prilaku munafik, zalim, dan tipu muslihat tetap dijalankan, maka dipastikan semakin parah pada 11 bulan ke depan. Tipikal manusia seperti ini tak tersisa harapan kebaikan akan mampu hadir pada dirinya. Bahkan, 11 bulan ke depan akan dijadikan kesempatan tampil bebas menginjak agama dan menyebar kezaliman pada sesamanya demi memuas-kan nafsu duniawi.
Anehnya, sosok manusia yang bijak justru terinjak, manusia jujur selalu terbujur, manusia beradab dituduh biadab, dan varian lainnya. Sementara manusia berkarakter penjilat justru semakin mengkilat, manusia zalim dinilai ‘alim, manusia munafik dianggap tuntutan akademik, dan varian lainnya. Mungkin, ramadhan telah kehilangan kehangatannya (panas), atau sifat manusia telah berubah keras melampaui benda yang paling keras di muka bumi yang tak lagi mampu disentuh panasnya ramadhan ?. Entahlah…
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 10 Maret 2025