Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis)
Tak dapat disanggah, eksistensi guru, dosen, bahkan guru besar (profesor) atau derivasi lainnya untuk menyatakan guru sungguh besar. Asanya untuk mencerdaskan anak bangsa tak dapat dipungkiri. Keikhlasannya mencerdaskan anak bangsa, menyematkannya sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Tapi, apakah eksistensi guru sebagai sumber transformasi ilmu di era modern harus bertahan sebatas hal tersebut?
Perubahan paradigma dan pergeseran nilai budaya umat manusia era modern, menuntut para tenaga pendidik melakukan penguatan atas posisi strategis yang dimilikinya. Kesalahan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap masa depan bangsa. Di antara sedemikian banyak variabel tersebut, tentunya terletak pada pribadi seorang pendidik.
Di era modern, bila guru (pendidik) memposisikan sebagai sumber dan transformasi ilmu, maka guru akan ditinggalkan. Sebab, google lebih banyak memberikan informasi tentang ilmu, bahkan lebih komprehensif. Tak heran bila rujukan ilmu lebih dominan bersumber pada google. Bahkan, berbagai konten ilmu (berbayar maupun gratis) tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Di satu sisi memang bernilai positif, efektif dan efisien. Namun di sisi lain, perkembangan teknologi secara perlahan menggeser tugas guru. Akibatnya, “ketaatan” pada guru mengalami erosi.
Sungguh, posisi guru (pendidik) di era modern akan tetap diperlukan kehadirannya bila berada pada posisi “ketauladanan” atas adab dan akhlak. Sebab, posisi tersebut tak bisa digantikan oleh google dan konten informasi ilmu lainnya. Tatap muka yang dilakukan perlu menjadi “kebutuhan” pada peserta didik mengisi kebutuhan karakter dirinya. Seluruh aktivitas guru menjadi contoh positif, interaksi ilmu menjadi sumber terbangunnya sikap tawadhu’ peserta didik, penjelasan ilmu yang diberikan guru menjadi penerang jalan kebenaran peserta didik, komunikasi yang dilakukan guru bagai posisi orang tua terhadap anaknya, dan kesan interaksi membuat guru tak pernah dilupakan oleh peserta didiknya. Kesemua ini merupakan posisi ideal guru. Dahulu, para orang tua menyerahkan anaknya pada seorang guru dengan melihat kedalaman ilmu dan akhlak sang guru (ulama). Tak heran bila para ulama besar yang tercatat dengan tinta emas menjadi harum namanya karena diserahkan pada sosok yang menjadi tauladan. Dalam konteks Indonesia, praktek ini dapat dilihat dalam tradisi pesantren.
Dalam dunia pesantren, eksistensi kyai bukan untuk dipamerkan. Sebutannya muncul dari masyarakat yang menghormati eksiatensinya. Ketawadhu’an yang diperlihatkan menjadi cermin bagi santri dalam membangun karakter diri. Konteks ini mengalami pergeseran di era modern, tatkala terdapat segelintir oknum kyai memproklamirkan ke-kyai-annya yang menjauh dari sikap tawadhu’ yang seharusnya dimiliki. Akibatnya, ketauladanan menjadi hilang, penghormatan menjadi sirna, kharisma berubah menjadi ketakutan, sikap keikhlasan berubah menjadi serba material, sikap tawadhu’ berubah menjadi kesombongan, kesejukan berubah menjadi bumerang pertikaian.
Di tengah perhatian masyarakat begitu besar terhadap dunia pendidikan, terutama pesantren, maka eksistensi guru perlu melakukan reorientasi menjadi pembentukan karakter melalui ketauladanan akhlak dan adab yang mulia. Bila hal ini dilakukan, maka peringatan hari santri bukan hanya untuk ruang lingkup pesantren, tapi seluruh pencari ilmu yang menuntut ilmu diberbagai lembaga pendidikan. Tatkala guru melakukan reorientasi posisi dan fungsinya sebagai tauladan akhlak, maka para penuntut ilmu pun akan tampil menjadi generasi cemerlang dengan ilmu yang bernas dalam batang tubuh akhlak yang berkualitas. Sosok guru yang demikian akan dicari dan diharapkan masyarakat. Eksistensinya akan senantiasa abadi sepanjang masa. Cermin akhlak yang dimiliki menjadi obor kehidupan para pencari ilmu.
Selamat Hari Santri 2019. Kami tau karena ilmu para guru.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 20 Oktober 2019