Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag
Ketua STAIN Bengkalis
Belakangan ini, istilah yang viral dan banyak dibicarakan hampir semua kalangan adalah istilah radikal dan radikalisme. Suatu istilah yang terkadang bercampur aduk dan membingungkan. Untuk itu, dipandang perlu diluruskan makna kedua istilah tersebut agar tidak keliru yang mengarah pada gagal faham. Sebab, radikal dan radikalisme sesungguhnya adalah dua istilah yang memiliki kemiripan dalam sebutan, namun berbeda dalam makna yang sesungguhnya.
Dalam pendekatan filsafat, berpikir radikal justru sangat diperlukan. Sebab, berpikir radikal dalam berfilsafat bermakna berpikir mendalam (mendasar) sampai pada akar objek yang dikaji. Hal ini juga dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan radikal dalam arti “secara mendasar (sampai kepada hal yang perinsip) ; atau maju dalam berpikir atau bertindak”. Dalam konteks ini, berfikir radikal merupakan proses berfikir secara mendalam sampai pada makna kebenaran yang tertinggi. Melalui proses berfikir secara radikal, manusia mampu memperoleh kebenaran dan menemukan sejumlah penemuan ilmiah (ilmu pengetahuan). Berfikir secara radikal dapat pula dimaknai sebagai upaya berfikir sampai pada akar persoalan yang ada, sehingga diharapkan sebuah keputusan benar-benar bijak dan tidak salah dalam mengambil keputusan.
Berbeda dengan istilah “radikalisme”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan (sikap ekstrem) atau drastis”. Demikian pula dalam berbagai kamus ditemukan bahwa makna radikalisme merupakan aksi mencolok untuk menyerukan paham ekstrem agar diikuti oleh banyak orang.
Bila dirujuk dari makna di atas, terlihat bahwa berfikir radikal sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menampilkan sikap bijaksana sebelum mengambil sebuah keputusan. Namun, bertolak belakang dengan makna radikalisme. Sebab, radikalisme merupakan paham ekstrem yang acapkali menggunakan pemaksaan dan kekerasan agar apa yang diinginkan (diyakini) diterima oleh orang lain dengan menghalalkan segala cara. Kelompok penganut radikalisme ini bukan hanya berhadapan pada negara (politik), akan tetapi juga terkadang berhadapan dengan antar agama, suku, budaya, bahkan intern agama. Gerakan radikalisme biasanya bersifat masif dan membentuk karakter intoleran dan memandang kebenaran tunggal hanya milik kelompoknya. Melihat kondisi ini, gerakan radikalisme sangat berbahaya bagi tatanan suatu negara dan peradaban umat manusia. Eksistensi radikalisme menjadikannya sebagai musuh bersama dan perlu ditindak secara serius.
Dalam tataran realitas, gerakan radikalisme acapkali menggunakan “agama” sebagai alat justifikasi untuk membakar sisi keberagaman umat. Dalam konteks ini, sesungguhnya memungkinkan semua pemeluk agama berpotensi memiliki kelompok yang menganut radikalisme. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah umat manusia, tanpa perlu memaparkannya. Sebab, memaparkannya akan kurang bijak dalam upaya menjaga keharmonisan kehidupan umat beragama.
Untuk meluruskan penggunaan istilah radikal dan radikalisme yang benar dan bijak dalam memutuskan aksi yang tergolong radikalisme, maka perlu dilakukan beberapa upaya, antara lain :
Pertama, perlu standarisasi (timbangan) hal-hal (aksi atau pemikiran) yang dikategorikan sebagai pengejawantahan radikalisme. Standard tersebut akan menjadi alat kontrol bagi semua pihak dalam meminimalisir radikalisme. Di antara timbangan tersebut meliputi paham bernegara, berbangsa, dan beragama. Batasan ini perlu dilakukan guna menjaga keharmonisan berbangsa dan bernegara. Sebab, terkadang mungkin atau justru penyebab radikalisme akibat ketidakfahaman atas apa yang dilakukan (aksi dan pemikiran) ternyata masuk dalam kategori yang justru membahayakan banyak orang.
Kedua, standar ungkapan, fitnah, hujatan, cacian, hoax dan sejenisnya yang dapat memicu kebencian dan konflik antar golongan. Ungkapan dimaksud bisa dalam bentuk lisan, tulisan (dalam berbagai media sosial), gambar (karikatur), film, atau media lainnya. Melalui standar ini, masyarakat akan bisa menyeleksi ungkapan yang lebih bijak agar terhindar dari makna yang menggiring pada radikalisme. Jangan hinakan diri untuk memfitnah dan mencerca sesama. Sungguh, berkacalah bahwa isi diri adalah apa yang keluar dari mulut sendiri.
Ketiga, adanya langkah-langkah preventif sedini mungkin dan upaya kuratif yang bijaksana dalam meminimalisir radikalisme. Langkah preventif tentunya menanamkan karakter anak bangsa yang anti radikalisme, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Sedangkan upaya kuratif dimaksudkan untuk mengembalikan anak bangsa yang telah keliru mengambil radikalisme sebagai pilihan diri. Upaya yang dimaksud tentunya mengembalikan karakter anak bangsa dalam ajaran agamanya yang benar, memberikan penjelasan makna falsafah dan ideologi negara yang mungkin dipahami secara keliru, dan membantu mengembalikannya pada karakter manusia yang berperadaban.
Keempat, standarisasi hukuman atas bentuk-bentuk radikalisme agar tidak salah dalam memberikan funishment terhadap bentuk radikalisme yang dilakukan secara berkeadilan.
Kelima, memfilter tayangan dan media yang dapat mengarah pada radikalisme dan merugikan.
Keenam, lakukan pembinaan secara lembut dan menyejukan terhadap orang-orang yang terindikasi radikalisme. Sebab, mungkin sikap radikalisme tersebut muncul akibat ketidahtahuannya atas apa yang dipahami. Atau mungkin karena sesuatu penyebab lainnya. Untuk itu, perlu ditelusuri akar persoalan secara bijak untuk dicari obat yang mujarab. Bak kata petuah lama “bagai menarik rambut dalam tepung. Rambut tak putus, tepung tak berserak.”
Penyelesaian radikalisme tentu memerlukan langkah-langkah yang bijaksana. Dalam hal ini diperlukan kesadaran, kedewasaan, dan semua elemen perlu menahan diri sembari introspeksi. Berbeda pendapat wajar, tapi perlu saling menghargai jauh lebih utama. Analogi sederhana, bagai sebuah rumah besar pasti memiliki aturan. Alangkah bijak bila menghargai aturan pemegang amanah rumah tersebut, meski kita tak perlu menukar aturan yang diberlakukan dalam menata kamar sendiri. Gunakan aturan di kamar sendiri, tanpa harus memaksa agar rumah besar harus mengikuti. Kata bijak perlu menjadi renungan bersama, bahwa “kita memang memiliki kebebasan, namun dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain. Kita boleh memiliki standard tertentu atas kebenaran, tapi harus pula menghargai aturan dan kebenaran yang disepakati bersama oleh orang lain”. Bak kata pepatah, “di mana bumi dipijak, di situ pula langit dijunjung”. Jangan menjerumuskan diri “bila kail panjang sejengkal, jangan lautan hendak diduga”. Bahkan jangan pula bagai “katak di dalam tempurung” yang memahami kebenaran sebatas ruang tempurung. Sebab, di luar tempurung ternyata ada kebenaran lain yang lebih mengedepankan kemashlahatan keummatan. Wa Allahua’lam bi al-shawwab…
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 6 November 2019.