Oleh : Samsul Nizar Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis
Covid 19 sudah begitu lama mewabah. Demikian lelah dan terasa lama menghadapi wabah ini. Manusia seakan hilang keangkuhannya menghadapi “makhluk kecil” bernama Covid 19. Seluruh sektor kehidupan mengalami kelumpuhan.
Berbagai kebijakan dilakukan guna memutus mata rantai telah dilakukan. Semua usaha medis diupayakan tiada henti guna menemukan solusi, baik vaksin maupun obat guna menyelesaikan persoalan wabah ini. Namun sayangnya, usaha terakhir ini justru menyedot perhatian pro kontra yang perlu upaya penyelesaian yang bijak, bukan saling menghujat.
Upaya kemanusiaan untuk menyelesaikan wabah Covid 19 dan mungkin berbagai penyakit lainnya patut diberi apresiasi secara bijak. Perbedaan pendekatan yang dilakukan patut diharmonisasikan, bukan dipertentangkan dengan alasan “ilmiah”, apalagi dibuli secara masif. Semua melihat pada perspektif dan keahlian masing-masing. Tapi, semuanya bertujuan kemanusiaan yang mulia dan patut dihargai. Tak ada akurasi obat dengan tingkat kesembuhan 100 %. Semua punya peluang saling melengkapi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, vaksin adalah “bibit penyakit (misalnya cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi”. Pengujiannya tentu pada orang yang sehat agar tidak terserang oleh penyakit yang diformulasi pada vaksin yang dikembangkan. Sedangkan obat adalah “bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit, atau menyembuhkan seseorang dari penyakit”. Pengujiannya tentu pada orang yang sedang menderita penyakit yang sesuai dengan formulasi obat yang diramu.
Dari defenisi di atas, terlihat bahwa ada perbedaan antara vaksin dan obat. Dengan demikian, kondisi obyek yang dituju tentu berbeda pula. Jadi, tak perlu persoalan perbedaan metodologi diperbesar menjadi luas secara kurang bijak. Apalagi saat ini seluruh umat manusia menunggu ditemukan vaksin covid 19 untuk tindakan preventif dan obat covid 19 untuk tindakan curatif.
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam menyikapi “kehebohan” antara klaim obat penyembuhan covid 19 (dianggap belum teruji secara klinis) dan vaksin covid 19 yang sedang proses uji klinis. Sikap bijak patut didahulukan, bukan saling menyalahkan dan mengklaim paling benar, antara lain :
Pertama, kedua pihak menurunkan tensi klaim paling benar. Keduanya perlu legowo (lapang dada) untuk dilakukan penyempurnaan pengujian secara ilmiah (klinis) dan aplikasinya.
Kedua, pihak ketiga perlu memunculkan kolaborasi keummatan ini sebagai kekuatan untuk mencari solusi persoalan kemanusiaan saat ini. Sebab, keduanya berbeda metodologi dan obyek yang dituju. Bila ternyata ada kelemahan pada salah satu pihak, maka perlu sportif mengakui kelemahannya, bukan saling menyerang dan menyalahkan. Namin, bila ada kelebihan pada pihak lain, bukan untuk dipongahkan. Atau bahkan mungkin keduanya mampu berkolaborasi menghasilkan vaksin + obat covid 19 temuan anak bangsa Indonesia dalam satu kesatuan penyelesaian yang integral-harmonis.
Ketiga, anak bangsa Indonesia perlu menyadari dan mengerti sejarah leluhur. Jangan sekali-kali elupakan sejarah. Banyak “vaksin atau obat” yang ditemukan nenek moyang bangsa Indonesia, justru ditemukan tanpa proses klinis (ala metodologi modern), tapi mampu mencegah dan mengobati penyakit umat saat itu. Bahkan, ramuan jamu yang ditinggalkan nenek moyang kita masih dapat dirasakan dan dinikmati sampai saat ini. Meski pabrik jamu modern melakukan pengembangan (mungkin secara klinis), namun sebenarnya mereka telah melakukan kolaborasi tradisional medik dengan modern medik (uji klinis). Apakah kasus jamu tak menjadi i’tibar bagi sebuah keharmonisan, tanpa mengklaim paling benar ? Semua mengambil peran dan saling melengkapi.
Jangan wabah covid 19 menghilangkan etika dan saling menghargai usaha sesama yang semua bertujuan mulia. Perlu dilakukan duduk bersama dalam mengatasi persoalan umat. Mungkin ada sedebu kebenaran dari seorang yang dianggap tidak mumpuni. Tapi mungkin menyisakan sedebu kesalahan pada yang mumpuni. Sekecil apapun usaha menyelesaikan wabah ini perlu dihargai. Sebab, tak ada manusia di sunia ini yang sempurna. Aspek kelemahan semua hasil usaha manusia pasti masih tersisa. Di sini Allah memperlihatkan pada manusia akan sisi kelemahannya agar tidak sombong atas apa yang ada. Meski dengan kelemahan yang ada acapkali terkadang manusia masih juga sombong.
Wabah Covid 19 tak bisa dipandang sebelah mata. Keseriusan untuk menghadapinya perlu dilakukan secara maksimal. Terlepas apakah Covid 19 wujud makhluk atau apa pun jenisnya, namun usaha bersama perlu dimunculkan. Begitu mengerikan wabah ini. Hanya manusia tanpa hati nurani yang memanfaatkan keuntungan dengan dalih kemanusiaan atas musibah ini. Atau, bila musibah telah berlalu dan mampu diatasi, masihkan kesombongan dan keserakahan diri akan tetap dijadikan pakaian sehari-hari ?
Sungguh media telah memainkan peran sebagai wadah untuk menyatukan dan menyampaikan informasi. Tapi kadang salah digunakan oleh manusia sehingga saling menyalahkan yang berakibat sesamanya bercerai berai. Namun, upaya untuk mendamaikan pro kontra acapkali tertelan oleh berita dan kesibukan lainnya. Kenapa tak bisa bersatu dalam kebersamaan dan saling melengkapi dalam saru tujuan ? Haruskan energi dan waktu habis untuk saling mempertahankan pendapat yang tak pernah bertepi ? Atau tampilan silat lidah yang tak kunjung usai, sementara setumpuk persoalan yang berkelindan namun belum mampu terurai. Sungguh suguhan drama kemanusiaan yang menyedihkan dengan asesories kemuliaan semu.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 10 Agustus 2020.