Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
SEBELUM Nabi Adam diciptakan-Nya, salah satu makhluk yang dikenal ketaatannya adalah Iblis. Namun, Iblis angkuh dan sombong atas apa yang dimiliki menyebabkannya dikeluarkan dari surga. Hal ini bermula tatkala Allah mengumumkan kepada para Malaikat maupun yang lain bahwa manusia sebagai penghuni bumi ini diberi kemampuan untuk mengetahui banyak nama-nama yang tak diberikan kepada Malaikat dan Iblis. Lantas Semua Malaikat diperintahkan untuk memberi sujud atau penghormatan kepada Nabi Adam,
Kemudian para Malaikat mengikuti perintah Allah. Namun, Iblis membangkang dan merasa lebih tinggi derajatnya dibanding Adam. Ia merasa lebih baik karena diciptakan dari api, sedangkan Adam dari tanah. Allah nukilkan peristiwa keangkuhan Iblis atas perintah-Nya untuk sujud (menghormati keunggulan dan kelebihan) pada Adam. Hal ini terlihat pada firman-Nya : “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. Al-Baqarah 2 : Ayat 34).
Dari ayat di atas terlihat jelas bahwa dosa pertama kali terjadi adalah kesombongan dan keangkuhan Iblis atas perintah Allah. Sifat ini telah menggiring Iblis pada kekufuran dan keingkaran. Iblis memandang dirinya sebagai ciptaan Allah yang lebih mulia. Kemuliaan Iblis pada aspek asal penciptaan, ketekunan ibadah, kekuatan (kekuasaan), dan derajat kemuliaan lainnya. Namun, tanpa disadari keangkuhan atas apa yang dimiliki justeru menyebabkannya terusir dan menjauh dari rahmat Allah. Bila Iblis yang begitu banyak kelebihan bisa terkeluar dari surga (rahmat) Allah akibat keangkuhannya, apatahlagi pada manusia yang acapkali alpa dan memiliki banyak kelemahan, bahkan kadang memiliki keangkuhan melampaui sombongnya Iblis.
Sungguh, dialog Allah pada Iblis pada ayat di atas menjadi pelajaran berharga bagi manusia, yaitu :
Pertama, keangkuhan Iblis atas asal usul penciptaan diri. Ia memandang lebih mulia karena diciptakan dari api. Sementara Adam diciptakan dari tanah, tempat semua kotoran berada. Keangkuhan ini juga terkadang muncul pada manusia atas asal usul atau silsilah yang dimiliki. Padahal, Allah berfirman : “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu…” (QS. al-Hujurat : 13). Sungguh anak keturunan Adam acapkali pongah dengan silsilah dirinya. Meski, acapkali pula silsilah yang dimiliki bertolak belakang dengan akhlak dan prilakunya.
Kedua, keangkuhan Iblis atas kekuatan yang dimiliki. Kekuatan Iblis bukan hanya pada aspek pisik, akan tetapi juga pada aspek kewenangan yang dijabat sebagai “penguasa”. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa nabi Sulaiman yang berkeinginan memindahkan istana Ratu Bilqis. Hanya dengan sekelip mata, istana Ratu Bilqis dapat dipindahkan oleh bala tentara Iblis. Bayangkan bagaimana kalau “Iblis sebagai sang raja” yang melakukan, maka akan lebih singkat lagi waktu yang diperlukan untuk memindahkannya. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki telah membuat Iblis menjadi sombong dan merasa paling mulia di banding Adam dan mengakibatkan pembangkangan melaksanakan perintah Allah.
Hal ini juga terjadi pada anak keturunan Adam yang menyombongkan diri karena jabatan, kedudukan, ilmu, atau deretan gelar yang dimiliki. Popularitas yang diraih kadang memunculkan kesombongan yang tinggi pula, bukan menyebarkan kebajikan pada sesama.
Ketiga, keangkuhan Iblis atas kualitas ibadah yang dilakukan. Menurut Imam Al-Ghazali, Iblis memiliki gelar al-‘abid (ahli ibadah) dan dihormati oleh para penghuni surga. Ibadah dan ketaatannya membuat Iblis lebih unggul. Keunggulan ini menyebabkannya menjadi sombong dan memandang diri lebih mulia. Hal ini juga terjadi pada keturunan Adam. Dengan ibadah dan atribut asesoris keshalehan yang ditampilkan, acapkali menyilaukan mata dan membuahkan kesombongan diri. Celakanya, tatkala asesoris keshalehan ternyata digunaka untuk menipu semua mata atas kejahatan besar yang dilakukan.
Secara hiatoris Qur’ani, keangkuhan hamba Allah telah terjadi berulang kali. Tak salah bila Syekh Muhammad bin Abdul Karim dalam Mausu’ah al-Kisanzan, mengatakan bahwa, sumber kesombongan berawal dari empat hal (kata) ini, yaitu : “saya, aku memiliki, aku mempunyai, dan kami”. Bila masing-masing kata tersebut dikembangkan dalam pendekatan historis Qur’ani, maka dapat terlihat pada beberapa peristiwa keangkuhan hamba yang dikembangkan dalam berbagai bentuk dan variannya, yaitu :
Pertama, Iblis merupakan hamba yang pertama melakukan kesombongan dengan menggunakan kata “aku (saya)”. Hal ini merujuk pada Q.S al-A’raf: 12 : “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Kedua, Keangkuhan Fir’aun dengan menggunakan kata “kepunyaanku atau aku memiliki” (kekuasaan dan harta). Hal ini merujuk pada QS. al-Zukhruf: 51, yaitu : “Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku, maka apakah kamu tidak melihat (nya)?”
Ketiga, Qarun menyombongkan diri dengan menggunakan kata “aku memiliki”. Hal ini merujuk pada QS. al-Qashas: 78, yaitu : “Qarun berkata: Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku….”
Keempat, Kaum ratu Bilqis dengan menggunakan kata “kami”. Hal ini merujuk pada QS. al-Naml: 33, yaitu : ”Mereka menjawab: “Kami adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), …..”.
Pendekatan historis Qur’ani di atas sungguh nyata, namun acapkali sering diulangi oleh manusia pasca turunnya al-Quran. Padahal, kesombongan hanya milik Allah. Bila milik Allah diambil oleh hamba, maka berarti ingin menyamai Allah dan seakan ingin menandingi-Nya. Tatkala sifat ini hadir dalam diri, maka ia akan celaka sebagaimana celakanya Iblis, Fir’aun, Qarun, dan lainnya.
Sungguh, begitu nyata ayat Allah. Masihkah manusia mau mendustakannya ? Atau, mungkin sudah tertutup hidayah Allah atas hati yang tertutup.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 30 November 2020.