Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sejarah literasi dunia Islam memberikan contoh konkrit bagi mendorong kemajuan peradaban manusia modern. Melalui semarak literasi yang dilakukan para ilmuan muslim abad pertengahan, banyak khazanah ilmu yang berkembang pesat saat ini. Rentang waktu sekitar tahun 800 M hingga 1250 M, perkembangan literasi ilmiah Islam maju pesat. Kajian literasi bukan hanya pada kajian ke-lslam-an (literasi tafsir, fiqh, tasauf, dan variannya), namun juga pada kajian eksakta (fisika, matematika, biologi, dan variannya), sosial, bahkan kedokteran. Dikenal sosok ilmuan Islam antara Iain Al-Farral (207 H) dengan karyanya ma lani al-Qurlan, ibnu Jarîr At Thabari (31 0 H) dengan karyanya Jami’ al Bayan fi Ta’wili Al-Qur’an, Abu Bakar An Naisaburi (318 H), ibnu Abi Hatim(405 H), AI-Hakim (405 H), Abu Bakar bin Mardawaih (41 0 H), dan lainnya.
Dalam kajian literasi fiqh dikenal pula sosok empat imam mazhab (Hanafi, Syafie, Maliki, dan Hambali). Literasi tasauf dikenal sosok Hasan al-Basri, Rabi’ah al-Adawiyah, Imam Ghazali, dan lainnya. Pada kajian filsafat dikenal sosok ibn RusydJ al-KindiJ ar-RadziJ dan puluhan nama lainnya. Dibidang ilmu sosial dikenal pula sosok ibn Khaldun melalui karya fonumentalnya Muqaddimah sebagai rujukan ilmu sosiologi. Dibidang ilmu eksakta dikenal kepiawaian al-Jabar, ibn Haitsam, Nashiruddin at-ThusiJ al- Khawarizmi, dan ratusan ilmuan lainnya. Bahkan dibidang kedokteran dikenal pula sosok Ibnu Sina melalui karyanya al-Qanun at-Thib, dan Iain sebagainya.
Perkembangan literasi era keemasan Islam tak bisa dilepaskan beberapa faktor, antara Iain .
Pertama, dinamisnya literasi ilmiah para ilmuan muslim yang melahirkan berbagai bentuk buku yang bernilai tinggi. Kajiannya bersifat integral. Tak terlihat kajian ulama Islam era keemasan yang melakukan dikotomi atas kajian yang dilakukan. Kesemua literasi yang dilakukan mampu.mengharmoniskan antara ilmu agama dan umum bagai segelas air kopi dengan kenikmatan aroma dan rasanya.
Kedua, kajian literasi ilmuan muslim era keemasan mampu menyelamatkan peninggalan Yunani Kuno dan menyempurnakannya dalam beberapa aspek. Andai tak ada ilmuan muslim, peninggalan Yunani Kuno tak akan pernah diketahui lagi keberadaanya.
Ketiga, literasi yang dikembangkan mendapat sambutan luar biasa dari para penguasa (khalifah) pada masanya. Bahkan, khalifah Harun ar-Rasyid menghargai karya ulama Islam dengan timbangan emas. Dinamika literasi sungguh mendapatkan penghargaan dan berkembang demikian pesat. Majelismajelis ilmu dan kajian keilmuan tumbuh bagai “cendawan di musim penghujan”. Hasil literasi ilmu dihargai demikian tinggi dan menjanjikan kehidupan yang layalç bahkan mengantarkan para ulama hidup di atas sejahtera.
Berbeda saat era modern, semangat literasi berubah orientasi yang menyedihkan. Ada beberapa kasuistik yang terjadi, antara lain :
Pertama, literasi berubah menjadi “debatisasi” (tanpa penghujung). Perbedaan pandangan tak Iagi melahirkan karya tulis, tapi perang cercaan di medos dan saling merendahkan. Bicara lebih dominan dibanding karya literasi yang membangun peradaban. Seakan, kebenaran tunggal kaum yang ahli berdebat.
Kedua, kajian literasi (bila masih tersisa) dikembangkan dalam kajian dikotomis. Bukan hanya pada kajian, sosok ilmuan muslim pun berada pada dikotomik yang tajam. Tanggung pada kajian agama, namun hampa pada kajian umum. Dangkal pada kajian umum, namun terlepas sentuhan ajaran agama. Meski upaya melakukan harmonisasi kedua kutub sudah berukang kali dilakukan, namun belum menunjukkan hasil nyata yang diharapkan sebagaimana dilakukan para ulama Islam abad pertengahan.
Ketiga, dinamika literasi ilmiah “terbenam” dengan hadirnya media Google yang memenuhi kebutuhan instan dan menyingkirkan semangat litetasi yang “membosankan”. Literasi yang dilakukan para ulama tempo dulu kalah oleh kekuatan “jurnal berskala internasional” (dengan varian nama dan statusnya). Mungkin sebagian kajian pada jurnal dikembangkan menjadi gerakan pengembangan keilmuan, namun sebagian lagi hanya pemenuhan pragmatis untuk sebatas “tujuan tertentu”. Nilai keilmiahan akhirnya hilang ditelan oleh pragmatis temporal yang mengangkangi nilai-nilai ideal literasi seorang ilmuan yang seharusnya dijaga. Literasi dengan bungkus “jurnal internasional” seakan meluluhlantakkan semangat literasi kitab (literasi dalam bentuk buku) yang telah memberikan kontribusi atas dunia modern. Bila penyakit ini berlanjut, maka literasi hanya pada jurnal (bisnis baru literasi) akan menghilangkan semangat literasi kitab yang jauh lebih sulit dilakukan dibanding literasi jurnal. Namun, mata melihat kejanggalan yang ada, tapi telah buta oleh kekuatan kebijakan yang alpa sejarah peradaban dunia. Anehnya, literasi yang hadir di media jurnal bersifat temporal. Hanya tatkala “kebutuhan” ianya hadir. Namun, setelah “kebutuhan” terpenuhi (apalagi kesibukan segudang jabatan), literasi kecil pun tak kelihatan Iagi. Agaknya, perlu menjadi bahan pertanyaan dan renungan.
Keempat, pergesaran penghargaan karya literasi ilmiah yang dihargai secara material dan immaterial, bergeser menjadi “dunia bisnis intelektual”. Mulai adanya sindikat pembuatan karya ilmiah sampai “tebusan materi” agar karyanya diterbitkan guna memenuhi syarat literasi. Sungguh telah terjadi “pelacuran literas?’ di tengah gerakan literasi. Kelima, kajian literasi (sebagian) jurnal yang menekankan pada kajian lapangan (fie/d ressearch) menjadi penyebab hilangnya kajian kitab yang ditinggalkan para ulama zaman keemasan. Bahkan ada mazhab yang mempersempit literasi yang memandang bahwa kajian ilmiah adalah kajian lapangan. Sedangkan kajian literasi buku dan sejarah bukan penelitian ilmiah. Meski dengan jumlah sitasi puluhan ribu, kalah Oleh literasi dalam jurnal internasional meski hanya dibaca Oleh hitungan jari. Sekali lagi muncul kaum alpa sejarah peradaban. Sungguh, kebijakan literasi berbenturan antara ideal dan realita. Waktu dan energi pelaku literasi ilmiah kalah “sejahtera” dibanding literasi fiksi, apalagi bila diapungkan dilayar lebar. Apakah bangsa ini sedang hidup di dunia fiksi ketimbang ilmiah di dunia nyata. Di manakah kita, di tengah kebijakan semangat literasi dan kampus merdeka ?? Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 14 Juni 2021