Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Setiap tanggal 17 ramadhan, umat Islam seantero dunia memperingati malam nuzul Qur’an. Peringatan ini merujuk pada peristiwa diturunkannya al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebenaran. Untuk itu, bulan ramadhan juga disebut Syahrul Qur’an. Hal ini merujuk pada firman Allah : “Bulan Ramadhan adalah bulan yang (di dalamnya) diturunkan al-Qur’an …” (QS. Al-Baqarah : 185).
Ditinjau dari proses turunnya al-Quran terjadi secara berangsur-angsur. Tujuannya antara lain :
Pertama, untuk memantapkan dan memperteguh hati beliau, karena ada sebagian turunnya al-Qur’an untuk menjawab persoalan yang terjadi.
Kedua, agar Al Qur’an mudah dihafal, dipelajari, dipahami, dan diamalkan.
Nilai keautentikan al-Qur’an dijamin langsung oleh Allah selamanya. Hal ini merujuk pada firman-Nya : sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan Kamilah yang akan memeliharanya” (QS. al-Hijr : 9).
Merujuk ayat di atas, demikian janji Allah untuk menjaga al-Qur’an. Namun, tak ada janji Allah bahwa al-Qur’an yang ada dalam diri manusia akan terpelihara. Untuk itu, perlu upaya agar al-Qur’an dalam diri senantiasa terpantri dan mampu terjaga.
Momentum nuzul Qur’an perlu menjadi cermin diri secara utuh. Paling tidak bercermin pada makna nuzul Qur’an dalam 2 (dua) dimensi, yaitu :
Pertama, dimensi historis-literal. Secara historis, al-Qur’an diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah. Ayat pertama diterima Nabi di Goa Hira’. Secara literal, ayat pertama yang turun dan diterima Rasulullah adalah QS. al-‘Alaq : 1-5), yaitu : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq : 1-5).
Secara historis, ketika Jibril meminta Rasulullah untuk membaca (iqra’), Rasulullah menjawab “aku tak bisa membaca”. Sungguh jawaban Rasul menunjukkan akhlaknya yang tinggi dan mulia. Sebab, Rasulullah tak memiliki adab tercela untuk membaca firman-Nya sebelum Allah yang memiliki Kalam memerintahkan agar Rasulullah membacanya. Ketika Jibril menyempurnakan bacaan ayat tersebut, maka Rasulullah dengan fasih membaca apa yang disampaikan Jibril padanya atas perintah Allah.
Secara literasi ayat, wahyu pertama mengandung dimensi keimanan yang tinggi. Bukan sebatas membaca, mengetahui, memahami, berilmu, membangun peradaban, dan seterusnya. Akan tetapi membaca seluruh ciptaan-Nya dengan menghadirkan nama-Nya dalam setiap yang dibaca (dilakukan). Sungguh akan berbeda hasil yang dicapai. Bila setiap baca dan gerak menghadirkan Allah berujung pada ketundukan dan kepatuhan yang bermuara pada kebajikan dan keadilan. Namun, bila setiap baca dan gerak tanpa menghadirkan Rabb, maka berujung pada keingkaran dan kejahiliyahan yang bermuara pada kezhaliman.
Kajian literasi makna wahyu pertama bila dilakukan sebenar-benarnya, maka manusia akan mampu membangun peradaban yang rahmatan lil ‘aalamiin. Apatah lagi ketika kajian literasi dilakukan pada seluruh ayat al-Qur’an, maka sungguh bumi ini menjadi hamparan surga yang dapat dinikmati seluruh ciptaan-Nya. Bila hal ini terjadi, maka Iblis akan kecewa dan mengutuk atas kesombongan dirinya yang menyebabkan Allah murka padanya.
Kedua, dimensi substansial (suluh diri). Pada dimensi ini, nuzul Qur’an perlu dipahami sebagai proses interaksi manusia dengan al-Quran. Interaksi ini dilakukan untuk membaca, mempelajari, mengerti, memahami, menikmati, serta “menuzulkan” al-Qur’an dalam seluruh organ zahir dan batin yang memancarkan akhlak al-Qur’an. Sebab, al-Qur’an ditujukan pada manusia, maka ketika al-Qur’an sempurna diwahyukan, giliran manusia berupaya menuzulkan dalam dirinya. Pancaran tersebut ketika menyinari zahir memunculkan akhlak terpuji sesuai petunjuk Ilahi yang dicontohkan oleh Rasulullah. Bila pancaran menyinari batin memunculkan zikir yang tiada bertepi.
Bila dilihat dari 2 (dua) dimensi di atas, terlihat bahwa dimensi pertama merupakan tangga menuju dimensi kedua. Secara teori, dimensi kedua tak akan tercapai bila dimensi pertama tak dilalui, apatahlagi tak mengenalnya sama sekali. Namun, acapkali manusia “terlena dan sombong” pada dimensi pertama, melihat nuzul Qur’an pada kajian historis dan literasi. Sebab, bila dilihat dari dimensi historis, maka nuzul Quran sudah tidak ada lagi. Semua ayat al-Quran sudah sempurna diwahyukan pada Rasulullah. Bila dilihat pada sisi literasi, sudah banyak kajian tafsir, kajian bahasa, bahkan hafiz/hafizah lahir menyajikan keindahan dan keagungan kalam Allah. Bisa jadi pada saatnya akan dipandang nuzul Quran sudah rampung. Para ahli tafsir akan berhenti dengan kitab tafsirnya, para hafiz/hafizah akan berhenti dengan hafalan yang utuh, para pemilik gelar ilmu al-Quran akan berhenti dengan gelar yang didapat, para penggiat seni al-Quran akan berhenti dengan karya-karya monumentalnya, para ilmuan akan terhenti bila temuannya sudah ditemukan, para qari/qariah akan berhenti (pada waktunya) ketika prestasi diraih, atau seterusnya.
Namun, bila dilihat pada dimensi kedua, ternyata nuzul Qur’an tak pernah berhenti bagi hamba yang mengharapkan “turunnya kebenaran al-Qur’an” untuk mengisi dan mewarnai seluruh rongga dan sum-sum rohaninya. Nuzulnya al-Qur’an pada rohani hamba yang mematangkan “sisi penghambaan” dan menyeruak pada seluruh gerak jasmani sebagai perintah rohani untuk mengimplementasikan keangungan Allah. Bila dimensi kedua mampu diraih, maka apa pun amanah yang diemban dalam kehidupan akan bermuara pada cahaya al-Qur’an. Namun, upaya nuzul Qur’an terhenti pada dimensi pertama, maka al-Qur’an hanya sebatas hiasan yang memukau setiap yang melihat dengan cahaya gemerlapan. Namun, batin (rohani) akan tetap gelap dan tersesat dalam perjalanan menuju cahaya Allah. Sebab, dimensi pertama hanya sebatas zahir. Ia belum mampu menyuguhkan kelezatan kalam Allah pada rohani. Ketika hanya bertahan pada dimensi pertama, bila tidak hati-hati, maka bisa tergincir dengan prilaku (sadar atau tak sadar) yang cenderung “menginjak-injak” al-Qur’an. Fenomena ini bagai air dan minyak yang dituang dalam gelas. Semua unsur tak menyatu dan hadirnya tak bisa diminum untuk menghilangkan rasa haus. Untuk itu, dimensi pertama perlu ditingkatkan pada level dimensi kedua untuk “menuzulkan sembari menikmati” manisnya al-Qur’an dalam perpaduan jasmani dan rohani diri. Nuzul Qur’an dalam diri bagai menyatunya seluruh unsur dalam segelas kopi susu. Wujudnya harmonis da nikmat tanpa menonjolkan diri, serta mampu mengusir rasa haus yang mendera.
Pemahaman dan upaya manusia untuk menuzulkan al-Qur’an pada diri perlu dimaksimalkan. Dimensi ini menempatkan upaya untuk menuzulkan al-Qur’an dalam kehidupan dan menjadikan al-Qur’an sebagai acuan hidup yang utama secara totalitas (kaffah).
Persoalannya, masihkah nuzul Qur’an tertahan pada dimensi historis-literal, atau nestapa pada beberapa tingkat di bawah dimensi pertama ? Bila hal ini terjadi, perlu upaya maksimal sembari merajut pinta pada-Nya agar al-Qur’an berkenan nuzul dalam diri. Bila al-Qur’an bersemayam, maka robohlah kejahilan diri yang selama ini tegak kokoh dengan atribut asesoris yang mengelabui. Lalu, saatnya setiap diri melakukan evaluasi. Hanya diri yang hatinya bersama al-Qur’an mampu menjawab semua pesan Ilahi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 18 April 2022