Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Hidup menghadirkan dua kutub yang berbeda, namun eksistensinya merupakan satu kesatuan yang memiliki maksud dari Sang Pencipta. Di antara dua kutub yang hadir adalah penilaian dalam bentuk suka dan benci. Kedua kutub ini melahirkan 3 (tiga) varian, yaitu : pujian, kritikan, atau hinaan. Ada pujian, kritikan, dan hinaan dari manusia, meski berbeda terbalik dengan penilaian Allah. Bila hal ini terjadi, sifatnya hanya sementara. Ada pujian dan teguran dari Allah, meski berbeda terbalik dengan penilaian manusia. Ada pujian, kritikan, atau hinaan (teguran) datang dari Allah dan manusia (terjadi segelintir manusia yang tafaqquh fi diin). Bila hal ini terjadi, sifatnya abadi.
Secara naluriah, manusia senang bila mendapat pujian, sangat sedikit yang mau dikritik, apalagi semuanya tak ingin dihina. Namun, manusia acapkali berharap, terpesona, dan lupa diri bila dapat pujian membahana. Di sisi lain, tak banyak manusia siap dikritik (bahkan pada pribadi mereka yang senang mengkritik), dan tak ada yang ingin dihina. Bila dipuji senyum sumeringah, namun bila dikritisi merasa tersakiti, apalagi dihina secepat kilat akan “menabuh genderang perang” pada sesama. Padahal, seyogyanya manusia memiliki “lentera qalbu” agar tak silau oleh pujian, tak alergi oleh kritik, dan gelap mata oleh hinaan.
Bila setiap pujian tak membuat lupa diri, kritikan dijadikan alat mawas diri, serta hinaan tak membuat emosi dan hilang kendali, maka manusia akan tampil sebagai sosok yang bijaksana ketika menghadapi ketiganya dalam kehidupan. Sebab, kadangkala pujian lahir dari penilaian obyektif dan adakalanya muncul karena ada “tujuan subyektif” yang lebih mendominasi. Bila penilaian pujian obyektif yang muncul, maka peliharalah pujian dengan tawadhu’, sebab yang berhak dipuji hanya Allah muara segala pujian. Namun, bila penilaian pujian subyektif yang muncul, maka bentengi dengan kewaspadaan, sebab mungkin demikian cara Allah menyampaikan cinta-Nya mengurangi dosa hamba yang dinilai hina. Sungguh, tak ada yang berhak menyatakan dirinya mulia atau menilai orang lain hina. Bisa jadi yang disangkakan hina justeru lebih mulia atau disangkakan mulia dengan pujian membahana justeru sebaliknya lebih hina dihadapan Sang Pencipta. Sungguh munculnya penilaian hinaan merupakan cermin manusia yang menghinakan dirinya. Namun apapun bentuknya perlu disikapi dengan bijaksana. Kritikan santun yang menawarkan kejeniusan hanya muncul dari sosok cerdas dan pemilik peradaban tinggi sangat diperlukan agar tak lupa diri. Kritikan cerdas-solutif dan santun patut disyukuri. Sedangkan kritik “pedas tanpa solusi” hadapi dengan kebijaksanaan karena ia muncul dari diri yang sebenarnya tak mengerti. Tugas sesama hanya menyampaikan kebenaran, meski tak banyak yang senang dan memberi penilaian yang sepantasnya. Hal ini dinukilkan Rasulullah melalui sabdanya : Dari Abdillah ibn Amr ibn Ash RA, “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat…” (HR Bukhari).
Meski kebenaran acapkali kurang ditanggapi dan kalah oleh kesalahan yang ditangkap cepat melampaui kilat, sungguh pertanda kualitas manusia. Sebab, kebenaran para utusan-Nya saja selalu “didustakan dan dicela”, apatahlagi kebenaran yang disampaikan oleh sesama. Tugas kekhalifahan hanya menyampaikan, bukan menunggu respon pujian atas apa yang disampaikan. Semua tergantung terbuka atau tidaknya hati yang menerima kebenaran.
Sedangkan hinaan sebenarnya muncul dari derajat manusia pemilik peradaban rendah yang tak mampu menyampaikan penilaiannya secara lebih baik (berperadaban). Untuk itu, kritik tanpa solusi dan hinaan tak selamanya perlu dibalas secara berlebihan. Sebab, masih ada cara lain untuk menghadapi kritik tanpa solusi dan hinaan yang lebih santun dan berperadaban bagi pemilik kecerdasan. Cara menyikapi ditegaskan Allah melalui firman-Nya : “Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, aku pun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui, siapa yang mendapat siksa yang menghinakan dan kepadanya ditimpakan azab yang kekal” (QS. az-Zumar : 39-40).
Ayat di atas menjadi sandaran dalam menilai sesama. Hal ini diperkuat melalui firman-Nya pada ayat sebelumnya : “(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat dapat menerima pelajaran” (QS. az-Zumar : 9).
Bila kritik dan hinaan berangkat dari penilaian obyektif, jadikan cemeti untuk memperbaiki diri. Namun, bila kritik dan hinaan muncul dari penilaian subyektif dan tujuan jahat, maka kembalikan pada pengadilan Allah sebagai Zat Yang Maha Adil.
Sebaliknya, hati-hati dengan pujian, apalagi bila dilakukan melampaui batas kewajaran (selangit). Hati-hati dengan tepuk tangan yang gemuruh. Sebab, banyak nyamuk mati karena “tepuk tangan”. Ada beberapa jenis “tepuk tangan” (dengan berbagai variannya), antara lain :
Pertama, tepuk tangan lambang kebanggan atas suatu prestasi atau kualitas diri. Bila hal ini terjadi, jangan membuat lupa diri. Sebab, apa pun prestasi yang diraih tak diperoleh secara mandiri, tapi keikutsertaan manusia lain dan izin Sang Khaliq.
Kedua, tepuk tangan sebagai bentuk ejekan. Seperti seorang pengedara sepeda motor ugal-ugalan yang kemudian terjatuh. Tepuk tangan masyarakat sebagai lambang kebencian atas prilakunya. Bila hal ini terjadi, jadikan cermin memperbaiki diri untuk tidak mengulangi lagi.
Ketiga, tepuk tangan karena jabatan yang dimiliki (prestise). Bila hal ini yang terjadi, bentengi dengan kewaspadaan. Sebab, tepuk tangan seperti ini acapkali menyimpan “kemunafikan”. Ada “sesuatu” yang menjadi tujuan atas tepukan dan pujian yang diberikan. Tersimpan maksud tertentu yang ingin diperoleh. Bila tujuan tak diperoleh, maka muncul upaya membuka aib yang bermuara “menghinakan”.
Kata bijak perlu dijadikan pedoman, bahwa “pujian tak selamanya membuatmu menjadi mulia. Sedangkan cercaan tak pula akan membuatmu menjadi hina“. Sebab, pujian dan hinaan yang diberikan manusia tak selamanya berdasarkan penilaian obyektif. Ada kalanya, pujian dan tepukan gemuruh terkadang hadir karena “kuasa” (prestise) yang dimiliki, bukan hadir karena kualitas sebenarnya.
Kisah Mirza Ghulam Ahmad dapat dijadikan i’tibar. Awalnya membawa ajaran yang lurus. Namun, “pengikut di kiri kanannya” selalu mengomporinya dengan berbagai pujian. Mereka berkata, apa yang kamu lakukan sangat mulia. Kamu sebenarnya pantas menjadi nabi. Pujian demi pujian akhirnya membuat Mirza Ghulam Ahmad terpancing dan merasa apa yang dikatakan pengikutnya benar. Muncul keangkuhan dirinya dan memandang ia layak menjadi nabi. Akhirnya Mirza terpancing dan sesat karena mengaku sebagai nabi diakibatkan sanjungan yang berlebih-lebihan oleh para pengikut yang selalu mengitarinya (seputar “tali pinggang”). Meski terkadang manusia mampu “tegak kokoh” ketika dikritik atau dihina, namun “tumbang dan punah” ketika dipuja. Begitu berbahayanya “pembisik kiri dan kanan”. Bila tidak bijak menerima informasi yang diberikan, maka bisa membuat diri terbuai oleh sanjungan palsu dan pujian semu. Padahal, acapkali ketika dibelakang diri atau kuasa tiada lagi, berbagai cercaan muncul tanpa disadari bahkan tiada henti. Anehnya, para “pemuji palsu” sering mendapat kepercayaan dan posisi. Padahal yang dibawa menyisakan “racun berbisa” dan mematikan. Biasanya, sosok ini memuji tanpa henti dengan tujuan yang terselubung. Bahkan, pujian menggelegar muncul pada hal yang sangat sepele dan biasa- biasa saja. Namun, bila tujuannya tak tercapai, pujian berubah menjadi cercaan dan makian meski di tengah prestasi “mendunia” tapi tak mempengaruhi kebenciannya.
Sungguh, manusia acapkali tak terima bila dikatakan salah dan dihina. Sisi egoisme menganggap diri sempurna acapkali muncul mendahului kearifan diri yang dho’if. Sebab, manusia selalu menilai dirinya yang benar dan paling benar, bahkan melampui kesempurnaan Yang Maha Sempurna. Sungguh, manusia yang merasa dirinya shaleh merupakan kesalahan (kesombongan). Sementara manusia yang merasa salah adalah wujud keshalehan yang sebenarnya (memperbaiki diri). Sebab, manusia tak ada yang mampu memuliakan atau menghinakan sesama, kecuali hanya Allah semata.
Tepukan tangan membahana dan pujian melambung (sebatas ketika memiliki kuasa) acapkali membuat manusia lupa diri dan “linglung”. Sementara “bisikan kritik” yang dianggap menghinakan bak petir menyambar dan dinilai sebagai ancaman yang harus dimusnahkan. Padahal, pujian bak gula dan kritik bak jamu. Pilihan keliru justeru mengakibatkan penyakit diabetes pun muncul. Pada gilirannya, hanya amputasi jalan keluarnya.
Ada beberapa cara menghadapi pujian, kritikan dan hinaan, antara lain :
Pertama, bijaksana menghadapi pujian dan hinaan. Apatahlagi bila pujian diperoleh ketika kuasa sedang dimiliki. Perlu kewaspadaan yang lebih tinggi. Bila pujian yang diperoleh, maka munculkan sifat tawadhu’ untuk membentengi diri. Jangan biarkan ujub muncul menguasai diri. Lakukan muhasabah atas pujian yang diperoleh. Sebab, hanya Allah yang layak dipuji. Sementara manusia hanya sebatas melaksanakan apa yang diberikan-Nya.
Kedua, bijaksana atas kritik dan hinaan yang menerpa. Jadikan cermin untuk memperbaiki diri. Mungkin Allah “mengutus manusia” untuk menyampaikan kasih sayang-Nya melalui teguran sesama. Mungkin hinaan ada benarnya. Namun hinaan acapkali tanpa mengutamakan kesantunan dalam menyampaikannya. Atas hinaan, tak perlu dibalas dengan kehinaan pula. Sebab, hal tersebut akan memperpanjang permusuhan dan kehinaan. Kembalikan semua pada Allah Zat Yang Maha Penilai. Biar Allah yang mengadili dengan Keadilan Yang Agung. Bila kritikan yang didapat, jadikan koreksi memperbaiki diri dan motivasi untuk lebih baik dan berprestasi.
Bila dilihat energi yang dipakai, pujian tak membutuhkan energi dan bisa dilakukan semua orang, bahkan tanpa pendidikan dan peradaban terendah. Namun, kritik memerlukan energi yang besar. Apatahlagi bila kritikan konstruktif nan bernas memerlukan kecerdasan di atas rata-rata manusia. Hanya saja, bila kritikan bermuara pada fitnah, sebenarnya dimunculkan dari pribadi rendah yang telah menghinakan dirinya. Namun, bila kritikan bermuara pada kebenaran, muncul dari pribadi cerdas bagai mutiara yang terabaikan.
Ketiga, konsistensi diri (istiqomah) dengan kebijaksanaan atas pujian, kritikan atau hinaan. Jangan bak “baling-baling di atas bukit” sebatas teori tanpa realisasi, kebanyakan berkata tanpa karya. Jadilah sosok bambu yang lentur, namun tetap kokoh menghunjam bumi tanpa kehilangan identitas. Sungguh, apapun ucapan dan prilaku adalah cermin sisi diri yang sebenarnya, tak mampu ditutupi yang pada waktunya menyeruak kepermukaan. Bila isi kebaikan, maka akan menyeruak kebaikan, tanpa harus dibuka. Bila isi keburukan, maka akan menyeruak keburukan, meski berupaya menutupinya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 6 Juni 2022