Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sempena HUT Pekanbaru ke-238 (23 Juni 1784 – 23 Juni 2022), sedikit catatan anak wathan sebagai kado dalam bentuk “jamu” agar Pekanbaru sebagai simbol martabat Propinsi Riau tampil sehat bak pohon rindang yang berbuah manis. Sungguh geliat Kota Pekanbaru sebagai ibukota Propinsi Riau demikian signifikan dan pesat. Namun, geliat yang demikian dinamis perlu selaras dengan tujuan didirikannya kota ini. Jangan sampai sejarah hilang tanpa pesan. Bila sejarah hilang makna, maka bagai “negeri tak lagi bertuan”. Semua merasa paling berjasa dan semua menjadi tuan dengan mengeruk hasil yang ada. Gerak pembangunan sesuai hasrat “masa”, bukan masa yang sesuai harapan dan cita-cita luhur para pendiri negeri. Seyogyanya, sebagai manusia yang memiliki peradaban, papatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” menjadi pedoman utama. Bukan sebaliknya, secara serampangan tanpa peduli atas “kearifan lokal” yang harus dijunjung tinggi dengan prilaku yang menginjak-injak adat budaya negeri bertuah. Tak ada arogansi kultural yang perlu dimunculkan. Tak ada merasa paling jumawa. Tak ada merasa paling berjasa. Tak peduli asal dari mana, semua tunduk pada “asam resam” budaya lokal yang ada. Demikian pesan adat Melayu. Semua tunduk pada kearifan lokal sebagai wujud manusia berbudi. Bila kearifan lokal tak lagi dihormati, bukti diri manusia keji. Bila kesantunan budaya tak lagi dihargai, bukti diri manusia tak ingin dihargai.
Meski petuah Hang Tuah menyebut “Tak kan Melayu Hilang di bumi, Bumi bertuah Negeri beradat” selalu diucap, namun sulit ditemukan dalam wujud keseharian. Sungguh Melayu tak akan hilang sebagai sebuah etnis budaya, namun tak menjamin ruh budaya Melayu terjaga bersamaan jauhnya nilai budaya yang mampu terpelihara dalam aktivitas sehari-hari. Sebab, substansi Melayu akan terjaga tatkala adat mampu dipertahankan dalam seluruh aspek kehidupan di negeri bertuah.
Budaya Melayu bukan sekedar atribut yang lazim dijumpai di masyarakat melalui pakaian “telok belanga”, pantun, munculnya orkes dan band yang bertema musik Melayu, festival-festival budaya Melayu, penggunaan sastra Melayu, bangunan-bangunan yang memasukkan unsur-unsur Melayu dan yang terakhir slogan daerah yang menjatidirikan tanah Melayu. Semuanya merupakan cerminan formalitas budaya masyarakat Melayu. Sementara sisi formalisasi budaya terkadang menghilangkan sisi substansi bak ditelan bumi.
Sungguh berat menyandang nama dan pesan para leluhur. Sebab, bila tak sesuai dengan “pesannya”, maka sengsara hidup tanpa keberkahan. Simpul pesan Melayu mengandung sejuta pesan harap dan doa. Setiap kata ada munajat yang dipinta. Setiap prilaku mengandung kebenaran nilai agama sebagai penyuluh. Menginjak-injak pesan “keramat” alamat padah menimpa diri.
Secara historis, pendiri kota Pekanbaru adalah Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (sultan siak ke-5) yang dikenal Marhum Pekan pada tahun 1784 M yang memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Siak dari Mempura Besar ke Senapelan. Salah satu bukti kearifan lokal yang dikedepankan adalah mendirikan Masjid Raya Pekanbaru pada tahun 1927 M. Pendirian masjid ini dilakukan oleh masyarakat secara bergotong royong di atas tanah waqaf milik Haji Muhammad dan Hajjah Sa’diyah. Masjid sederhana ini dibangun secara bertahap dan baru selesai pada tahun 1937. Memperhatikan kaitannya dengan historis pada awal pembangunannya, menjadikan masjid ini sebagai Benda Cagar Budaya yang dilindungi sesuai dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.13/PW.007/MKP/2004 dan dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992. Meski masjid ini termasuk bangunan cagar budaya, namun beberapa sisi nilai historisnya hilang bersamaan dilakukan pemugaran secara signifikan. Sebuah tindakan yang patut disesalkan atas nilai-nilai sejarah yang tak banyak lagi dapat dilihat. Meski masih adanya sisa-sisa komponen lama, serta beberapa peninggalan artefak lainnya berupa areal makam sultan dan sekelumit “tapak bekas” masjid yang masih ada, maka masjid ini tetap harus dilestarikan dan dilindungi meski kehilangan ruh substansinya secara utuh. Bangunan asli simbol kesultanan tak lagi ditemui, apatahlagi bangunan pusat pemerintahan kala itu. Padahal, Senapelan sebagai nama pusat pemerintahan masih disebut sampai saat ini. Di mana pemegang adat, di mana penjaga marwah, di mana penjaga cagar budaya. Atau dalam silogis ilmu mantiq mungkin ada benarnya karena memang “negeri tak lagi bertuan” atau “tuan tak lagi di negeri”. Entahlah.. biarlah sejarah yang menjawabnya.
Ada beberapa dimensi yang perlu dicermati bila Pekanbaru ingin menjadi “negeri bertuan, berdaulat dan bermarwah di negeri Lancang Kuning”, terutama pada peringatan HUT Kota Pekanbaru ke-238, antara lain :
Pertama, Melestarikan budaya Melayu. Budaya Melayu bukan sebatas pada material, tapi berikut makna substansial. Tatkala melihat budaya dalam makna material, maka budaya Melayu masih sebagian terlihat. Simbol pakaian “telok belange”, pantun, zapin, dan beberapa tarian adat masih terlihat. Meski kesemua yang masih terlihat belum tentu dipahami maksud dan nilai-nilai luhur atas apa yang dipakai (dilakukan). Contoh sederhana, ketika tanjak dipakai, tak ada aturan dan jenis tanjak yang patut dipakai. Semua campur aduk tanpa pedoman. Tanjak sebatas penutup kepala tanpa mengetahui kepatutan dan kepantasan dalam adat. Banyak budaya Melayu lainnya secara perlahan tapi pasti tergerus oleh peradaban modern, tanpa langkah terukur mempertahankannya.
Kedua, Bahasa melayu menjadi bahasa keseharian. Sungguh sangat langka terdengar “bahasa Melayu” dalam komunikasi keseharian di Pekanbaru. Bahasa Melayu serasa secara perlahan ditelan bumi, dikalahkan komunikasi “luar Melayu” yang lebih dominan (bahkan institusi resmi dan tak resmi). Budaya Minangkabau patut dijadikan contoh. Menjadi tuan rumah di ranah Minang. Demikian pula beberapa wilayah lainnya yang ada di Pulau Jawa. Bagaimana Pekanbaru di HUT nya ke-238 ?. Apakah sudah menjadi tuan rumah di negeri Lancang Kuning dengan adat dan budaya yang dijunjung tinggi semua elemen yang ada di negeri Melayu ?. Atau sebatas merasa sebatas tuan rumah, namun tak punya kekuatan menghidupkan ruh adat budaya yang bersendikan al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Ketiga, Nilai-nilai budaya melayu terimplementasi dalam prilaku. Nilai-nilai budaya tentu berawal dari keseriusan mentrasformasi budaya Melayu secara terencana dan kontinue yang dimulai dari rumah tangga, lembaga pendidikan (pendidikan dasar sampai Perguruan Tinggi), dan masyarakat secara luas. Hal ini perlu dilakukan agar seluruh elemen mampu memahami dan menjaga kehormatan adat budaya di negeri ini. Tatkala transformasi budaya Melayu tak dilakukan secara masif, bagaimana mungkin dipahami masyarakat yang ada di negeri ini. Jangankan orang di luar adat budaya Melayu, bahkan anak negeri pun tak akan faham, apatahlagi mampu mengimplementasikan budaya di negerinya sendiri. Meski ada elemen yang menyatakan “memperkuat budaya Melayu atau Pekanbaru Kota Madani” namun pada batas slogan yang belum terlihat pada langkah konkrit yang berkesinambungan untuk mencapainya.
Keempat, Adat Melayu yang penuh kelembutan budi, sopan santun dalam berucap, patuh pada aturan, bermusyawarah dengan kebijaksanaan, dan lainnya terlihat jelas dalam kehidupan. Ruh nilai ini seyogyanya terlihat pada seluruh dimensi masayarakat yang ada di Kota Pekanbaru sebagai barometer budaya di tanah Melayu. Interaksi dan komunikasi seluruh elemen mengedepankan kesantunan dan adab, semua persoalan selesai melalui musyawarah bukan mengedepankan “kekuatan, kesepakatan, dan lobi-lobi”, penataan kota tertata indah menawan, kesantunan dan kepatuhan hukum terlihat nyata, memunculkan budaya malu tatkala melanggar hukum (terutama adat), rakyat mandiri penuh harga diri, pemimpin bagai imam jadi pedoman, sosok ketokohan “penjaga adat budaya” yang menjadi panutan, dan lain sebagainya. Kesemuanya perlu jadi pedoman bila menghargai tanah Melayu.
Kelima, Ruh Islam menjadi warna bagi seluruh sistem kehidupan, baik keluarga, praktek pemerintahan, budaya, bahkan sosial kemasyarakatan. Sebab, Islam merupakan ruh dalam budaya Melayu. Tak ada adat budaya Melayu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Harmonisasi ajaran Islam terhadap budaya Melayu menjadi pedoman pada praktek kehidupan seluruh elemen yang ada di negeri bertuah. Seyogyanya, ruh ini menghantarkan kota Pekanbaru tanpa asesories yang berbentuk patung dengan berbagai variannya. Sebab, hal ini bukan budaya Melayu dan bertentangan dengan ajaran Islam. Para ulama dan penguasa kesultanan Siak yang membuka Kota Pekanbaru hanya membangun bangunan yang sarat dengan ornamen-ornamen yang bernilai tinggi, tanpa membangun “berbagai patung” yang bukan berakar pada budaya Melayu dan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sebab, orang Melayu sadar bahwa hadirnya Rasulullah yang berhasil menghancurkan berhala sekitar ka’bah merupakan perintah agama untuk tidak menghadirkan berhala dengan berbagai variannya di tanah Melayu. Namun, di mana penjaga ruh budaya Melayu untuk mengawal adat, di mana ulama cendikia menjaga agama, di mana kaum intelektual mengawal kebenaran, di mana penguasa penjaga negeri, di mana rakyat yang konon hidup era kemajuan. Sungguh sepi dan senyap, di tengah gemuruh hiruk pikuk bunyi sejuta aktivitas pembangunan Kota Pekanbaru. Atau, kita ditakdirkan sebatas mampu bangga pada sejarah lama atas
ketinggian budaya Melayu (berikut kelembagaan, materi adat, dan simbol) dan kekayaan alam yang melimpah, namun tak mampu menjaga martabat tanah Melayu, apatahlagi memiliki budaya Melayu sebagai ruh dan suluh karakter diri.
Sungguh, usia 238 tahun kota Pekanbaru bukan waktu yang pendek untuk membangun peradaban di bumi Melayu. Namun, serasa begitu pendek bila melihat apa yang ada dan dihasilkan. Ungkapan dan sejumlah kata berdimensi “agama” tak hanya hadir sebatas slogan. Meski kata adalah doa, namun tak akan bermakna dan terwujud bila tanpa realisasi melalui program terukur, jelas, dan terencana. Bait pantun kegundahan jiwa dilantun, menjerit, meronta, teriring doa :
Bila adab tak jadi matlamat
Budaya hancur pertanda kiamat
Bila negeri ingin selamat
Junjung adat negeri keramat
Bila melanggar agama dan adat
Niscaya diri tak akan selamat
Negeri ini tuah keramat
Dijaga Wali hingga kiamat
Selamat HUT Pekanbaru tanah tumpah darahku yang ke-238. Meski jamu yang kusuguhkan terasa pahit, kesegaran diri akan diperoleh. Jangan senang pujian membahana, rasa manis karena selama ada gula. Ketika hilang manis, musnahlah semua bersama punah adat budaya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 27 Juni 2022