Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar & ketua STAIN Bengkalis)
Serangan Covid 19 telah mengguncang dunia. Meski belum ada yang tau secara persis apakah Covid 19 merupakan salah satu makhluk Allah berukuran nano meter atau ciptaan manusia yang bertugas melakukan kekacauan peradaban alam semesta. Semua tertegun bingung, resah, gelisah, khawatir, bahkan takut dengan munculnya makhluk super kecil ini. Tapi ada pula yang menganggap acuh tak acuh padanya. Sikap acuh bukan karena terlalu berani, tapi tak ada pilihan untuk melakukan anjuran pemerintah. Desakan perut terkadang melampaui akal sehat sehingga ketakutan berubah menjadi ketakpedulian.
Sungguh banyak pelajaran yang bisa diambil melalui musibah yang ditimbulkan oleh Covid 19, antara lain : Pertama, menundukkan manusia atas semua kesombongan dan keserakahan selama ini. Bila selama ini manusia merasa sebagai makhluk yang berkedudukan tinggi dengan olah pikirnya menghasilkan peradaban dunia, ternyata menghadapi sejenis makhluk super kecil bernama Covid 19, manusia bagai tak berdaya. Ternyata, demikian kerdilnya manusia, hanya bagai debu berterbangan. Tak ada lagi negara super power, tak ada lagi negara kaya, atau menganggap negara paling bersih. Demikian mudah diri tersingkir dan disingkirkan. Beruntunglah bagi pemilik amanah bisa melaksanakannya dengan benar. Namun, celakalah bila amanah yang dimiliki disalahgunakan untuk kebatilan.
Meski pandemi Covid 19 muncul sejak akhir Desember dengan mengambil garis start di Wuhan, namun antisipasi dan persiapan penanganan atau rangkaian kebijakan preventif terkesan begitu lamban –atau tanpa respon– dilakukan. Padahal, banyak hal bisa dilakukan dalam rentang waktu tersebut. Berbagai fokus non Covid 19 menyilaukan mata sehingga kurang memperhatikan bahaya yang ditimbulkan. Bila virus Covid 19 bisa berkata, ia akan membuka file CCTV kita. Rentang waktu persiapan menghadapinya terbuang sia-sia. Tatkala ia datang, ketaksiapan pun mendera dan semua bingung karena tak ada persiapan menghadapinya.
Kedua, munculnya pemain panggung dadakan dengan berbagai bentuk dan modelnya yang meresahkan. Ada melalui prediksi dunia akan berakhir, saling menyalahkan, saling menuding, bahkan muncul bagai sang peramal tangguh. Seyogyanya, munculnya Covid 19 menghenyakkan manusia agar tak sombong dan angkuh. Persatuan bukan berkonotasi berkumpul, tapi persatuan ditunjukkan dengan cara melakukan perlawanan terhadap musuh bersama dengan strategi yang bisa mengalahkannya. Cara mengalahkannya adalah melalui social distancing, physical distancing, menjaga kebersihan dengan berbagai variannya, menjaga kesehatan, dan sebagainya. Semua elemen harus bersatu pada strategi ini, bukan terpecah belah. Inilah makna persatuan menghadapi Covid 19.
Ketiga, memunculkan jati diri yang sebenarnya. Tatkala seruan pemerintah dan MUI agar menghindari kerumunan, ternyata masih ada yang tak mau mendengarkan. Apakah masyarakat salah atau pemerintah dan MUI kehilangan wibawa sehingga kurang ditaati. Kedua belah pihak harus bercermin atas apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Keempat, alat ukur melihat peradaban bangsa, baik peradaban menggunakan medsos yang bertanggungjawab dengan tak menyebarluaskan hoax menyesatkan atau peradaban infrastruktur. Alat ukur ini bisa dilihat dari kesiapan infrastruktur dan peralatan medis negeri ini ternyata masih jauh dari cukup. Hanya persoalan APD menghadapi Covid 19 ternyata kita belum siap dan jauh dari cukup. Sungguh miris bila tenaga medis harus menggunakan jas hujan sebagai APD menghadapi pasien, atau menunggu bantuan negara luar untuk kebutuhan APD. Bagaimana pula bila berkaitan dengan peralatan medis dan lainnya ?. Di sisi lain terlihat pula keserakahan manusia dengan menumpuk kebutuhan atau hilangnya dati peredaran kebutuhan medis yang berkaitan menghadapi Covid 19 (bila ada tapi harga yang melambung), sehingga hilang dari peredaran. Muncul ingin menang sendiri atau ingin selamat sendiri. Padahal hidup tak bisa sendiri.
Kelima, tatkala WNI dideportasi dari luar negeri, kita masih tetap santun dengan WNA di negeri ini. Meski hal ini merupakan budaya bangsa yang dibanggakan, namun dalam hal ini pemerintah dan kita perlu bersikap “sombong” pada negara luar yang “sombong” pada anak bangsa negeri ini. Sebab, Imam Syafie pernah berpesan bahwa “kesombongan untuk membalas kesombongan adalah sedekah”. Seyogyanya, hal yang sama perlu dilakukan untuk memperlihatkan bahwa negeri ini memiliki harga diri.
Keenam, seluruh aktivitas (kerja dan pembelajaran) dilakukan melalui daring. Meski kita di era modern, ternyata bangunan kemampuan personal dan ketersediaan yang menunjang terlaksananya aktivitas via daring belum seluruhnya terperhatikan (mayoritas belum tersedia). Pembangunan masih bersifat fisik material atau hanya menyentuh pada wilayah terbatas seputar sang pemilik kebijakan (wilayah maju). Bagaimana di wilayah terdepan, terluar, apatahlagi terkebelakang ? Sungguh menyedihkan dalam rintihan keterbatasan dan himpitan ekonomi.
Ketujuh, kembali TNI-Polri bersama ulama mengulang sejarah bangsa. Mereka saling bahu membahu dengan tupoksi masing-masing menjadi garda terdepan menyelamatkan masyarakat dari keputus-asaan dan ketidakteraturan atas kebijakan negara. Kekuatan ini bagai Trisula yang membentengi para petugas medis dalam melaksanakan tusinya. Begitu indah trisula ini dalam mengawal NKRI. Jangan mau diobok-obok yang berakibat mata trisula menjadi tumpul, apalagi patah.
Kedelapan, kesamaan Covid 19 dan prilaku destruktif yang dibungkus kebijakan ketidakadilan. Bila Covid 19 membunuh jiwa, maka prilaku yang dibungkus kebijakan yang tak berkeadilan akan membunuh masa depan anak bangsa. Sungguh banyak prilaku destruktif sebenarnya muncul, namun mata rantainya tak terputuskan. Bila upaya menghentikan Covid 19 dilakukan dengan cara memutus mata rantainya, maka prilaku destruktif yang bermuara pada ketidakadilan dan melawan hukum harusnya juga bisa diberantas bila memutus mata rantai yang membuatnya tak mampu berkembang biak lagi. Covid 19 bagaikan hukum. Dia memberantas setiap yang “berpenyakit dan hidup dalam budaya kotor” tanpa melihat siapapun juga. Yang terhindar dari serangan hanya mereka yang mengamalkan budaya bersih dan melakukan pola hidup sehat (lahir batin). Covid 19 bermata obyektif. Dia tau siapa yang tak menjaga kebersihan (kotor). Dia tak bisa tertipu oleh asesoris seakan-akan bersih atau dibuat seolah-olah bersih untuk menutupi kekotoran diri.
Kesembilan, jadikan fenomena ini upaya kebersamaan dan kewaspadaan, bukan sebaliknya menjadi ajang perang dingin bagi para elit atau menjadi kesempatan terselubung rencana tidak baik di berbagai sektor.
Sungguh begitu kerdilnya diri dihadapan Covid 19, apalagi dihadapan Allah Sang Penguasa. Masihkah kita pelihara sikap dan prilaku mengundang bencana atau murka-Nya ? Atau, pandemi Covid 19 –yang ternyata anti kebersihan– mampu menyadarkan diri untuk untuk hidup bersih lahir dan batin ? Hidup adalah pilihan, apakah memilih prilaku Covid 19 yang menghancurkan masa depan bangsa atau menjaga pola “kebersihan” buat contoh generasi yang akan datang. Covid 19 akankah merubah mindset kita ke depan. Semua akan terlihat pasca Covid 19. Sebab, semua tergantung pada jati diri sebenarnya setiap insan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 31 Maret 2020