Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis)
Jabatan dengan semua variannya, merupakan amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan sesuai aturan. Hal ini dinukilkan oleh Rasulullah melalui sabdanya “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin pasti diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin” (HR. Muslim).Sungguh peringatan tegas dari Rasulullah, namun acapkali hanya dipedomani sebatas kata, namun terlalu amat jauh dari realita.
Jabatan merupakan tanggungjawab, baik horizontal (keduniaan) maupun vertikal (keakhiratan). Dilihat pada sisi ini, jabatan dapat menjadi nikmat, akan tetapi juga dapat menjadi laknat bagi seseorang.
Jabatan menjadi nikmat tatkala jabatan dilaksanakan secara amanah. Jabatan digunakan untuk memakmurkan alam semesta dan kemashalahatan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Hal ini terlihat jelas bagaimana Rasulullah memikul amanah sebagai Rasul dan khalifah dengan amanah yang agung. Hal ini dapat dilihat dari seluruh aspek kepemimpinan yang dicontohkan Rasulullah. Hal ini dapat dilihat dari ketauladanan aspek kepribadian yang santun dan berakhlak mulia dengan semua ciptaan-Nya, menegakkan supremasi hukum yang berkeadilan sesuai aturan tanpa melanggar ayat-ayat Allah, tawadhu’ dalam sikap, ‘abid yang ikhlas dalam munajat, mendahulukan kepentingan umat ketimbang kepentingan diri dan golongan, memutuskan dengan kata bijak tanpa menyakiti perasaan, dan sejuta contoh lainnya yang dapat dijadikanacuan sebagai seorang pemimpin.
Jabatan yang mengacu pada dimensi di atas, menghantarkan jabatan sebagai media komunikasi harmonis secara vertikal dan horizontal. Munajatnya akan didengar Allah, kata dan perbuatannya akan menjadi acuan pada bawahannya, olah kepemimpinannya menjadi rahmat bagi seluruh makhluk yang dipimpinnya.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, jabatan selalu dikaitkan dengan ajaran agama. Pengambilan sumpah jabatan, beriringan dengan sumpah di atas kitab suci. Tradisi yang sakral penuh makna. Sumpah di atas kitab suci agar pejabat selalu merujuk pada ajaran agamanya dan berjanji sesuai keyakinan akidahnya. Filosofinya bahwa seluruh aspek jabatan berkorelasi dengan pertaruhan atas akidah yang diyakininya. Bila baik dalam memegang amanah atas jabatannya, maka akidahnya akan terpelihara. Namun, bila jabatan justeru menimbulkan mafsadah bagi mayoritas yang dipimpinnya, maka berarti akidahnya telah rusak, bagaikan telah merusak ajaran kitab suci yang menjadi saksi atas ikrarnya. Tatkala ketauladanan Rasulullah dijadikan acuan dalam amanah jabatan yang disandang, maka jabatan akan menjadi nikmat dan ladang ibadah baginya.
Namun, jabatan dapat pula berubah menjadi laknat tatkala pasca menerima tanggungjawab tersebut jabatan digunakan untuk membangun “istana kemungkaran”, maka bangunan neraka telah diciptakan. Sungguh, acapkali justeru manusia akan kelihatan sisi aslinya ketika memperoleh jabatan. Sebelumnya, sisi asli watak diri bisa ditutupi dengan berbagai asesories kebaikan semu, namun setelah memperoleh jabatan justeru mempertontonkan berbagai watak asli yang sebenarnya selama ini telah lama diternaknya. Apatahlagi bila jabatan diperoleh dengan kemungkaran (untaian pundi-pundi dan negosiasi), maka dipastikan akan bermuara pada kemungkaran dan negosiasi pula. Bila hal ini terjadi, umat akan menonton kemungkaran kolosal yang dibangun oleh sosok pemegang amanah yang tak amanah. Asesoris kemuliaan diri nan semu yang dipakai tak akan mampu menutup aib yang menganga. Keanggunannya hanya ketika menjabat, tapi hancur setelah lengser. Kepatuhan hanya semu ketika dihadapan, namun jutaan cibiran dan kutukan umat tatkala dibelakangnya. Kepatuhan hanya karena ketakutan. Seyognya, kepatuhan muncul karena aturan yang berkeadilan.
Seorang pemimpin bagai seorang ayah yang bertanggungjawab mencarikan rezeki dan pembela bagi anak-anaknya, sosok ibu yang penuh perhatian dan kasih sayang, sosok hakim yang adil dan bijaksana, seorang ulama penuntun kebenaran Ilahi, atau bagai sosok ‘abid bagi umat dalam bermunajat.
Anehnya, pemegang amanah yang amanah sering dihujat, fitnah teruntai di media sosial tanpa berimbang, aibnya dipaksa ada dan dicari-cari, “mesin-mesin” pencari aib dikerahkan untuk merontokkannya dengan imbalan pundi-pundi yang menyilaukan. Berbeda terbalik atas pemegang amanah yang sedemikian tidak amanahnya. Mereka justeru seringkali ditampilkan dan tampil di atas panggung, dirinya dimuliakan oleh kelompok mulia yang “sejalan” cara dengannya, kesalahannya dianggap kesalehan, kezhaliman yang demikian nyata ditutupi atau minimal dianggap tak terlihat. Bagai pepatah “tungau diseberang laut kelihatan, namun gajah dipelupuk mata tak terlihat sama sekali”. Entah “jampi” apa yang dibaca, meski watak dan aib karakter diri ternganga begitu besar, tapi semuanya termangu bagai hilang ingatan normal. Apakah hal ini yang sebenarnya ingin diperlihatkan Allah kepada manusia lewat Q.S. al Baqarah : 7-8 ? Apakah sudah zamannya mata buta, telinga tuli, hati membeku ? Apakah ada jaminan “jampi” yang sama akan bisa memukau penglihatan di hadapan Allah ?
Pilihan selalu ada pada semua kita. Semoga di awal tahun 2020 Masehi ini, setiap insan berkaca atas diri masing-masing. Sungguh hidup antara azan dan azan. Kita hanya sedang menunggu antara azan tersebut. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab…
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 05 Januari 2020