Oleh : Prof. DR. H. Samsul Nizar, M. Ag
Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis
Peringatan tahun baru Islam 1442 Hijriyah disaat pandemi Covid 19, sungguh memiliki momentum bila dikaitkan secara bijak. Dalam al-Quran, hijrah berarti berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dalam makna lain, hijrah juga dapat diartikan meninggalkan sesuatu yang tercela kepada sesuatu yang terpuji. Istilah “hijrah” secara etimologi berarti memutuskan, meninggalkan, menjauhi. Secara terminologi, kata hiijrah berarti proses peralihan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dengan meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW, “Orang-orang yang berhijrah adalah mereka yang meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.” (HR. Al-Bukhari).
Ibnu Qayyim membagi hijrah ke dalam dua macam, yaitu hijrah bil jasad (hijrah fisik) dan hijrah bil qalbi (hijrah hati/non fisik). Dalam konteks ini, hijrah sesungguhnya berkorelasi untuk menyelesaikan wabah Covid 19 yang telah mewabah diseluruh dunia saat ini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perspektif, yaitu :
Pertama, agar matarantai covid 19 terputus, meminimalkan transaksi pisik antar wilayah, terutama wilayah yang kronis pandemi perlu diperhatikan dan dijauhi (sementara waktu). Pemetaan wilayah pandemi perlu dilakukan. Kebijakan tegas perlu diterapkan. Sudah sedemikian lama pandemi menerpa, transaksi pisik antar wilayah dan bahkan negara begitu longgar bagai tanpa kejadian yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, seperti tak ada makna perubahan (hijrah) dalam mindset manusia saat ini.
Kedua, perubahan budaya interaksi. Pandemi Covid 19 menuntut perubahan interaksi verbal dan pisik ala budaya Timur. Perubahan bukan berarti menghilangkan substansi budaya ketimuran yang sejak dulu dipertahankan. Namun, bungkusan interaksi yang perlu disesuaikan pada masa pandemi saat ini. Budaya bersalaman perlu disesuaikan, berbicara menggunakan masker perlu diperhatikan, interaksi pisik perlu dijaga, interaksi antar personal yang tidak urgen perlu pula dihindari.
Ketiga, membangun budaya bersih (lahir dan batin). Semangat hijrah patut menjadi standard setiap individu. Budaya menjaga kesehatan bukan berarti hanya mengkonsumsi makanan bergizi. Budaya menjaga kesehatan patut dimaknai lahir dan batin. Secara lahiriyah, Covid 19 menuntut manusia hidup bersih, baik pakaian, pisik, wilayah, dan sebagainya. Sementara secara psikis menuntut agar manusia menjaga akal dan hati untuk tetap bersih guna memunculkan karakter diri yang terpuji. Keangkuhan diri atas masa pandemi, menggiring manusia terjangkit wabah ini. Bila hal ini terjadi, upaya memutus rantai Covid 19 akan sia-sia.
Keempat, budaya peduli sesama (keshalehan sosial). Hijrah yang bermakna menuntun manusia berubah dari sikap arogan menjadi sikap toleran, sikap antipati menjadi sikap empati, dan sebagainya. Hijrah mengajarkan agar manusia jangan sebatas berubah pada tataran “bungkus diri” tapi pada tataran “isi diri” yang memunculkan keshalehan sosial yang nyata. Kenyataan keshalehan sosial bukan untuk dipublikasi (pamer) bagi popularitas sesaat, tapi harus menjadi tradisi yang dilakukan setiap ada kesempatan secara ikhlas. Pandemi bukan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan di tengah kesengsaraan umat. Sungguh celaka ( bahkan bukan manusia) bila dalam keadaan sesama menderita, kondisi tersebut dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi (kelompok tertentu).
Kelima, perubahan budaya komunikasi sosial. Komunikasi manusia modern melalui medsos perlu mengalami perubahan. Perubahan budaya medsos yang acapkali ditelan mentah-mentah kepada bijak bermedsos. Media sosial hari ini bukan melihat apa isi yang dibicarakan, tapi siapa yang bicara. Padahal, Islam mengajarkan “undzur ila ma qala, wala tandzur ila man qala” (lihat apa yang dikatakan, bukan melihat siapa yang berkata). Berita benar dianggap salah tanpa ada tindakan, tapi berita salah dianggap benar dan menjadi rujukan. Mengkonsumsi informasi tanpa filter menjadi trend, komunikasi tulis tanpa budaya fikir, untaian bibir manis berisi sanjungan menjadi kesenangan, namun kritik berisi nasehat menjadi aib dan memunculkan kebencian.
Tercapainya makna dimensi di atas hanya tatkala seluruh elemen melakukan “jihad berjamaah” guna melakukan hijrah demi menyelesaikan persoalan Covid 19. Hal ini dinukilkan Allah dalam al-Quran, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S al-Baqarah: 218).
Ayat di atas memperlihat bahwa “hijrah” hanya bisa dilakukan oleh orang yang beriman. Makna kontekstual iman sebagai wujud orang-orang yang menggunakan akal dan hati secara harmonis dan ikhlas. Upaya ini perlu dilakukan secara sungguh-subgguh (jihad). Harmonisasi tersebut melahirkan manusia yang rahmatan lil ‘alamin, yaitu manusia yang membangun peradaban, bukan membangun “kerajaan” dengan memanfaatkan masa pandemi. Harmonisasi hijrah yang sebenarnya akan melahirkan manusia berkarakter ihsan. Untuk sampai pada tujuan perubahan dan perbaikan (hijrah) tersebut, dituntut adanya upaya maksimal dan sungguh-sungguh (jihad). Sebab, setiap perbaikan pasti memerlukan kekuatan akal dan hati yang acapkali mendapatkan tantangan yang dianggap “kebenaran sebagai sesuatu tak biasa”. Tantangan akibat “tradisi kesalahan yang menjadi biasa” sebagai indikasi rusaknya peradaban manusia modern.
Sungguh pandemi Covid 19 memberikan banyak pelajaran. Kesemua persoalan masa pandemi hanya bisa diselesaikan tatkala manusia melakukan hijrah (perubahan) dalam makna yang sebenarnya secara bijak. Bila momentum hijrah di saat pandemi tak mampu dimaknai dan merubah karakter diri, maka sungguh manusia tak memahami fenomena yang terjadi sebagai ayat Allah untuk mengajarkan manusia. Kesemua tergantung pada setiap diri. Apakah ingin menjadi manusia lahir batin, atau hanya manusia lahir saja.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 30 Agustus 2020.