Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Mencari kebenaran (keshalehan) adalah keharusan untuk ditemukan dan dimiliki setiap manusia. Namun, merasa paling benar (shaleh) adalah sikap yang harus dihindari dan dihilangkan. Sungguh, manusia perlu mencari kebenaran, bersikap benar, menegakkan kebenaran, dan berprilaku benar. Namun, sikap ideal ini terkadang sulit untuk temui, dimiliki,dan dilaksanakan karena manusia modern seakan tak pernah menghargai para penegak kebenaran. Justeru manusia modern lebih suka dengan para pelaku kesalahan karena mudah untuk dijadikan penopang kehidupan melalui pundi-pundi perajut sejuta harapan.
Sikap merasa paling benar berkorelasi dengan sikap merasa paling baik dan paling pintar. Sifat ini merupakan karakter iblis tatkala berdialog dengan Allah ketika penciptaan Adam sebagai manusia pertama. Hal ini dinukilkan Allah :Allah SWT berfirman : “lngatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat :
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’, Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’. (QS.Al• Baqarah 2: Ayat 30).
Kesemua sikap tersebut acapkali muncul bersamaan dalam diri seseorang. Persoalannya ada pada sikap yang “selalu curiga” pada orang berbuat benar dan memandang diri paling benar. Kecurigaan pada orang sesungguhnya mencerminkan diri pelaku apa yang dicurigai. Kecurigaan ini muncul karena beberapa sebab, antara lain :
Pertama, pribadi yang mencurigai sebenarnya memiliki prilaku berbuat salah yang serupa dan sering melanggar aturan yang ada. Kecurigaan yang muncul disebabkan pantulan atas prilakunya sendiri. Apalagi bila kecurigaan dipaksa hadir akibat tidak memperoleh “pembagian” yang diharapkan. Padahal, “pembagian” tersebut sungguh menyuburkan kesalahan yang tak berkesudahan. Bila hal ini terjadi, “pembagian” sungguh merupakan butir – butir api neraka yang akan masuk dalam seluruh batang tubuh diri. Akibatnya, semua prilaku orang lain dinilai pada prilakunya yang ada dan kesibukan yang berupaya mencari kesalahan akan terus dilakukan.
Kedua, pemilik prilaku kebenaran (kesalehan) acapkali hadir dalam komunitas minor (sedikit). Mereka berada pada situasi di tengah komunitas mayor (banyak) para pelaku kesalahan. Akibatnya, minoritas pelaku kebenaran dinilai sama dengan prilaku mayoritas pelaku kesalahan. Atau bahkan yang lebih arah tatkala pelaku kebenaran (minoritas) dianggap salah karena tidak sejalan dengan pelaku kesalahan (mayoritas). Hal ini berakibat, posisi minoritas penegak kebenaran tak mampu muncul dan mewarnai kebenaran di tengah mayoritas pelaku kesalahan. Hal ini seperti kata pepatah “bagai menyiram garam di tengah lautan samudera”. Tak akan bermanfaat sama sekali. Bila kuat idealism kebenaran dan keimanannya, maka meski terseok-seok akan dipertahankan. Bila tidak, maka pelaku kesalahan akan terus bertambah dengan suburnya.
Ketiga, secara pendekatan tasauf, pelaku kesalahan yang membutakan kebenaran disebabkan “sumber asal” yang masuk dalam tubuhnya. Bila sumber asal adalah halal, maka kebenaran yang akan muncul dalam dirinya. Bila sumber asal yang dikonsumsi berupa yang haram, maka kesalahan dan kejahatan yang akan muncul dalam prilakunya.
Keempet; bijak memilih lingkungan, baik interaksi sosial maupun interaksi profesional. Pengaruh interaksi lingkungan tak bisa dipandang remeh. Tarik menarik pengaruh interaksi lingkungan sangat besar bagi mewarnai sikap atas kebenaran dan kesalahan. Banyak pepatah yang menyebutkan demikian.
Kelima, kualitas munajat vertical (kedekatan hamba dan Khaliq). Bila munajat vertikal terajut dengan benang iman dan kecintaan pada-Nya, maka akan lahir sikap tawadhu’ pada diri. Gerak hati selalu merasa kurang berbuat kebaikan dan merasa begitu kerdilnya diri dihadapan Allah. Namun, bila kualitas interaksi vertikal rendah, maka sikap kesombongan dan pongah akan lebih menonjol mewarnai kehidupannya. Kualitas interaksi vertical tak bisa dikelabui hanya dengan tampilan asesories “sosok yang baik”. Sebab, acapkali tampilan “kebaikan semu” menyilaukan dan membutakan orang yang melihat. Apalagi oleh mata-mata yang terbiasa gemerlap dunia dan mata yang tak pernah menangis oleh kerinduan munajat pada Allah. Kualitas interaksi vertikal hanya bisa dilihat dari kualitas horizontal yang membawa misi kekhalifahan rahmatan Iii ‘alamin.
Keenam, sikap merasa paling benar menunjukkan kekerdilan kebenaran yang dimiliki dan upaya menutupi rindangnya kesalahan yang (sudah atau sedang) dilakukan. Kebenaran hanya bisa dilihat oleh orang – orang yang berbuat kebenaran. Kebenaran tak akan mampu dilihat oleh orang yang sering berbuat kesalahan. Demikian pula sebaliknya.
Ketujuh, menilai orang lain salah terkadang muncul karena sumber informasi yang sepenggal, keliru, atau info fitnah yang sengaja digulirkan. Di sisi lain, penilaian kesalahan muncul akibat persoalan pribadi (politik) yang acapkali dibawa ke ranah komunal. Akibatnya, penilaian atas kesalahan lebih dominan didahulukan untuk memenuhi “target” yang diinginkan. Pada saat yang sama, kebenaran akan tertutupi oleh kebencian subyektif yang lebih dikedepankan. Namun sebaliknya, kesalahan bisa pula ditutup menjadi kesalehan karena kepentingan pula. Ada akibat kepentingan “onggokan” material, tekanan politik, atau transaksi menutupi kesalahan yang sama dari kedua pihak. Semakin tinggi rasa diri paling benar, sesungguhnya mencerminkan semakin besar kesalahan dilakukan. Demikian pula sebaliknya. Islam justru mengajarkan agar manusia merasa diri berbuat salah, lalu mohon ampun pada – Nya sembari berupaya berbuat kebaikan. Namun, kebaikan yang dilakukab tak pernah dihitungnya, apalagi minta untuk dihormati orang lain. Diri orang yang baik (pencari kebenaran) selalu sibuk mencari kesalahan dirinya sendiri dan melihat kebaikan orang lain. Berbeda dengan orang yang berbuat kesalahan yang justeru selalu sibuk melihat kebaikan diri sendiri dan mencari celah-celah kesalahan orang lain. Sungguh aneh di tengah-tengah begitu jelasnya murka Allah dalam kehidupan ini, pencari kebenaran selalu dibuli, dicerca dan dicaci. Tapi, para pelaku kesalahan justru selalu dihormati, dilindungi, bahkan diberi jabatan tinggi. Lalu, mari kita bercermin atas sifat dan sikap diri kita atas kebenaran dan kesalahan yang selama ini dilakukan. Apakah kita merupakan pribadi pelaku kesalahan yang minta dinilai benar dan dihormati atau pencari kebenaran yang tak ingin minta dihormati. Semuanya tergantung kualitas diri masing-masing. Apakah keangkuhan menutup kesalahan diri, atau tawadhu’ diri yang tak sempat melihat kesalahan orang lain. lngatlah apa yang disabdakan Rasulullah bahwa “dunia adalah sawah dan ladang”. Semua akan menuai atas apa yang ditanam. Mungkin tidak kini, tapi pasti esok lusa.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 28 September 2020.