Oleh : Samsul Nizar, Guru Besar dan Ketua STAIN Bengkalis
Ada kemusykilan terhadap penyebaran Covid 19 yang menggemparkan dunia saat ini. Penyebarannya lebih dominan masuk melalui mata, hidung, dan mulut. Kajian medis telah dianalisa secara ilmiah dan didukung kajian labaratorium yang menjelaskan bahwa COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan. sebelumnya, virus baru dan penyakit yang disebabkannya ini tidak dikenal. Sampai ketika si virus memperkenalkan dirinya di Wuhan, Tiongkok, bulan Desember 2019. Orang dapat tertular COVID-19 dari orang lain yang terinfeksi virus ini melalui percikan-percikan dari hidung atau mulut (saat batuk, bersin, atau berbicara) yang keluar saat orang yang terinfeksi. Percikan-percikan ini relatif berat, perjalanannya tidak jauh dan jatuh ke tanah dengan cepat. Orang dapat terinfeksi jika menghirup percikan orang yang terinfeksi virus ini. Oleh karena itu, menjaga jarak menjadi sangat penting untuk memutus rantai penyebarannya. Percikan-percikan ini dapat menempel di benda dan permukaan lainnya di sekitar orang seperti meja, gagang pintu, dan pegangan tangan. Orang dapat terinfeksi dengan menyentuh benda atau permukaan tersebut, kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulut mereka. Untuk itu, mencuci tangan secara teratur dengan sabun dan air bersih mengalir, atau membersihkannya dengan cairan antiseptik berbahan dasar alkohol. WHO terus mengkaji perkembangan penelitian tentang cara penyebaran COVID-19 dan akan menyampaikan temuan-temuan terbaru.
Namun, kajian ilmiah tersebut agaknya bisa dilihat secara pendekatan agama dan budaya manusia modern saat ini. Kenapa alat transformasinya melalui mata, hidung, dan mulut dengan media tangan ? Kemusykilan yang perlu dijawab dalam perspektif budaya dan agama secara komprehensif.
Pertama, media mata. Sungguh mata merupakan anugerah Allah yang tinggi. Dengan mata, manusia bisa melihat keindahan dunia dan keagungan ciptaan-Nya. Mata seyogyanya bisa membuat manusia melihat kebenaran dan kesalahan. Dengan demikian, manusia akan terhindar dari perbuatan munkar. Namun, mata era modern justru banyak digunakan untuk melihat berbagai kemungkaran yang seakan-akan tak terlihat. Kemungkaran dianggap biasa dan tak perlu dipersoalkan. Meski kemungkaran begitu nyata, namun mata bisa ditutup dengan cara “bermain mata” apalagi dengan silauan pundi yang tak bernomor seri. Kesalahan bisa dirubah menjadi kesalehan, atau kesalehan bisa dijadikan kesalahan. Semuanya bisa diolah dan rubah sesuai dari sudut pandang mata siapa dan kepentingan apa. Belum lagi mata modern disuguhkan pemandangan syahwat yang terpampang jelas, namun mata seakan kehilangan tempat untuk mengalihkan pandangan karena begitu berkerumunnya manusia menyodorkan aurat yang tak bisa dilepaskan oleh mata. Bayangkan, setiap mata terbuka, dominasi suguhan pemandangan maksiat menjadi objek tak terelakkan. Namun, mata hanya bisa melihat tapi tak mampu berbuat apa-apa. Sebab, tak ada lagi kepedulian pemilik mata lainnya untuk menyelesaikan persoalan ini.
Kedua, hidung bukan hanya untuk mengantarkan oksigen, tapi juga mengeluarkan carbon dioksida ke dan dari jantung. Hidung juga berguna agar manusia bisa mencium berbagai aroma yang ada. Begitu besar manfaat hidung bagi kehidupan manusia. Hembusan nafas seyogyanya alunan syahdu zikir dan kesyukuran pada Allah. Dengan alunan tersebut, manusia akan menjaga seluruh gerak nafas hanya untuk melaksanakan fungsi kekhalifahan mengangkat panji rahmatan lil ‘aalamiin. Namun, fungsi hidung untuk memompa nafas kehidupan justru didominasi oleh gerak menyebar mafsadah fi al-‘alam.
Ketiga, mulut. Fungsi mulut bukan hanya untuk menyalurkan makan dan minum, tapi juga media manusia bisa berbicara. Mulut harusnya digunakan dengan baik. Mulai makan dan minum yang baik (halal at-thayyiban), berbicara yang benar dengan kumpulan zikir keagungan Allah, dan menyuguhkan senyuman (salam) yang membuat kebahagiaan. Namun, manusia modern acapkali kurang memanfaatkan fungsi mulut sebagaimana mestinya. Mulut justru kadang digunakan untuk menghantarkan asupan makanan dan minuman yang haram (sifat san zat), mulut sebagai media mengikrarkan berbagai janji tapi sebenarnya hanya kumpulan kebohongan yang tak pernah terpenuhi belaka, kelincahan mulut memutarbalikkan fakta dan tarian lidah yang tak bertulang mencari sejuta dalil (hukum) yang tak jarang dipaksakan ada, kesombongan yang diucapkan mulut bagai pemilik singgasana melampaui Qorun dan Fir’aun, mulut yang digunakan untuk memfitnah dan menyebar kebencian pada sesama, mulut yang dihiasi mutiara agama namun isinya tak lebih bagai orang tanpa agama, atau mulut yang hanya mampu mengeluarkan kata angkuh nan menyakitkan bagi yang lain.
Sungguh, bila dikaitkan sumber sebaran covid 19 pada manusia, seirama dengan firman Allah pada Q.S. al-Baqarah : 7 bahwa pada gilirannya Allah akan hati, telinga, mata yang dimunculkan melalui mulutnya. Sebab, eksistensi mulut manusia sesungguhnya adalah gambaran atas totalitas dirinya. Apa yang muncul dari mulut merupakan cerminan karakter dan watak manusia sebenarnya.
Ketiga media di atas, tentu ditopang oleh bantuan tangan sebagai alat transformasinya. Melalui pendekatan ini, Allah membuktikan kebenaran firman-Nya. Saat ini, aktivitas manusia perlu mencuci tangan, menutup mata dan hidung dengan masker, dan mata dengan kacamata atau alat sejenisnya. Ketika demikian Allah memberi pengajaran, masihkan mata tak melihat kemungkaran yang demikian jelas, hidung yang membuat manusia bernafas menyebar kemungkaran, serta mulut penyebar kebohongan dan fitnah yang dibungkus dengan pakaian agama.
Sungguh, Covid 19 telah membuktikan kejahilan manusia. Bila demikian, masihkan manusia mengingkari kebenaran al-Quran dengan kebejatan prilaku tiada tara ? Jika Covid 19 dianggap sebagai virus, maka ketika obat telah ditemui, masihkah mata, hidung dan mulut masih lincah melakukan kejahilan di muka bumi ? Bila hal ini tetap dijadikan pilihan, yakinlah bahwa Allah akan menurunkan musibah yang lebih besar, na’uzubillah min dzaalik.
Kesemuanya tergantung pada kebenaran diri. Bila hati bersih dengan cinta Ilahi, maka Covid 19 menjadi cermin besar memperbaiki diri. Tapi, bila hati diselimuti kemungkaran, maka Covid 19 hanya dianggap wabah tanpa arti.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 30 Juni 2020.