Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar dan Ketua
Sungguh benar firman Allah “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (QS.Al-Baqarah : 164)”.
Masih banyak firman Allah yang menjelaskan tentang berbagai rahasia Allah terhadap ciptaan-Nya. Di antara tujuan Allah adalah agar manusia belajar (i’tibar) atas semua fenomena yang ada. Di antara begitu banyak fenomena ciptaan-Nya yang patut diambil pelajaran adalah “paku”.
Eksistensi paku sangat diperlukan. Bahkan, semua manusia mengenal paku. Fungsinya sangat vital dalam kehidupan. Namun, meski akrab dengan paku, sesungguhnya paku memberi banyak pelajaran bagi kehidupan manusia.
Dalam memfungsikan tugas pokok paku, ia tak bisa lepas dari martil (penokok). Tugas paku adalah menyatukan dua sisi yang terpisah. Ketika martil melaksanakan tugasnya menokok paku,acap kali 2 (dua) fenomena muncul, yaitu tetap lurus menghunjam melaksanakan tugas dan fungsinya atau bengkok tanpa mampu melaksanakan tugasnya untuk merekat dua sisi benda.
Kehidupan bagai paku lurus dan paku bengkok. Eksistensi manusia harusnya mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara lurus (haniif) sesuai risalah Allah secara vertikal dan hukum konsensus manusia yang disepakati untuk mencapai kemashlahatan kemanusiaan secara horizontal. Bagai paku yang merekatkan, maka manusia dalam melaksanakan tugas dan fungsinya harus mampu merekat berbagai potensi manusia dalam bingkai tusi kekhalifahan yang rahmatan lil ‘aalamiin. Dalam melsanakan tugas dan fungsinya, manusia sebagai khalifah perlu didukung seluruh elemen. Eksistensinya perlu dijaga, dipupuk, dikawal, serta didukung selama ianya mengikuti aturan vertikal dan horizontal.
Ternyata kehidupan manusia tak lepas bagai paku, bukan bagai tanaman. Dalam perspektif paku, manusia diperlihatkan pada dua sisi kehidupan yang sungguh aneh, yaitu : Pertama, bagai paku yang lurus, manusia yang bertindak dan berprilaku lurus sesuai aturan acapkali selalu dipukul dan dihantam oleh palu. Palu sepertinya tak sedikit menaruh simpati, atau tetap mencari celah agar paku lurus tetap terbenam. Ada pula paku lurus memang sengaja ingin dibuang dan dibengkokkan dengan membenamkannya sebagian saja. Lalu, paku yang terbenam sebagian dijadikan sangkutan berbagai bentuk beban. Dalam kehidupan sosial, beban yang disangkutkan adalah berbagai tanggungjawab berat dan fitnah yang disematkan agar si paku bengkok dan tak berguna lagi, lalu kemudian dicabut dan dibuang. Sungguh kejam beban (fitnah) yang disangkutkan pada paku yang ternyata di luar batas kemampuan paku. Meski sebenarnya hal tersebut hanya sebagai alasan untuk menyingkirkan paku yang lurus agar bengkok dan kemudian dicabut.
Kedua, bagai paku yang bengkok, manusia yang bertindak dan berprilaku menyalahi aturan justru dibiarkan dan tak dipuku sebagaimana paku lurus. Paku bengkok hanya dilihat dan dicabut secara perlahan. Meski sadar bahwa paku bengkok tak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya, namun perlakuan istimewa diberikan pada paku bengkok. Paling paku bengkok hanya dibuang, tanpa terbebani oleh akibat dirinya bengkok. Demikian enak paku bengkok, meski menyalahi tugas dan fungsinya, hanya menerima pukulan seadanya, kemashlahatan dan perbedaan manusia tak mampu disatukan, ternyata ia hanya sekedar dibuang.
Andai semua paku memilih untuk bengkok agar mendapat perlakuan lembut, apa jadinya peradaban manusia ? Kita tak akan melihat bangunan pencakar langit, jembatan penghubung pulau, taman-taman yang indah menawan, dan peradaban manusia lainnya. Ternyata, kita zhalim pada paku lurus dan menganggap biasa-biasa saja pada paku yang bengkok.
Sesungguhnya, ada pertanyaan besar bagi paku bengkok memperoleh perlakuan yang lebih baik, dibanding paku.yang lurus, antara lain :
Pertama, paku bengkok pandai berpura-pura dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Bermain mata pada palu untuk jangan terlalu keras memukul atau si pemegang palu agar salah mengarahkan pukulan sehingga paku mudah bengkok.
Kedua, memainkan jurus rayuan belas asih dengan berbagai asesoriesnya agar bengkok yang dimiliki dihapus dan dilupakan keberadaannya dengan cara membuangnya, tanpa jejak dan hilang ditelan bumi.
Ketiga, rayuan janji muluk pada palu untuk diluruskan kembali. Paku bengkok berjanji akan melaksanakan tugas dan fungsinya, janji bahwa tak ada paku lain yang bisa melaksanakan tugas dan fungsi yang ada, janji akan lurus kembali, dan sejuta janji lainnya. Palu pun kembali meluruskan paku bengkok dengan berbagai cara, meski kadang palu menghantam tangan. Semua dilakukan untuk meluruskan paku bengkok, sesuai janji paku bengkok pada palu. Meski palu mampu meluruskan kembali si paku bengkok, namun memang tabiat paku bengkok, ketika palu menghunjamkannya, paku bengkok tetap akan bengkok. Sebab, bengkoknya paku merupakan rusaknya inti paku, yaitu hati paku yang memang sudah rusak. Meski sudah mampu tertancam, tapi sifat bengkoknya masih tertanam pada dirinya. Pada saatnya, sisi bengkoknya akan terlihat dengan ketidakmampuannya melaksanakan tugas dan fungsinya. Bahkan mungkin akan merobohkan bangunan dan mencelakai manusia. Lalu, bila hal ini terjadi, manusia baru kembali sadar, bahwa hal ini terjadi karena menggunakan paku bengkok. Tapi, kesadaran yang terlambat dan berujung pada kehancuran peradaban. Sungguh disayangkan sikap manusia yang tetap menggunakan paku bengkok, dan begitu zhalim pada paku lurus.
Sungguh benar firman Allah dalam Q.S. ar-Rahman yang berulang-ulang kali di firmankan-Nya “nikmat-Ku yang mana lagi yang kamu dustakan ?”. Nikmat kehidupan, jabatan, kekuasaan, ilmu, akal, hati, pengaruh, dan lain sebagainya. Apakah sudah digunakan untuk menjaga paku lurus, atau tetap santun dan mengagungkan paku yang bengkok.
Semuanya terserah bagi kita untuk memilih dan bersikap. Toh, hati setiap manusia tak pernah berdusta. Hati akan berdusta bila berteman dengan akal yang dipenuhi hawa nafsu.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab….
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 17 April 2020