Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sungguh nestapa makhluk negeri atas angin. Banyak hal dilakukan tanpa menggunakan akal sehat dan nurani. Semua diukur melalui aturan yang rigid dan kepentingan sesaat. Terkadang, aturan yang disusun melampaui penetapan aturan Allah Yang Maha Agung. Allah menetapkan aturan sesuai kapasitas hamba, sementara negeri atas angin menetapkan aturan masih “tebang pilih” sesuai kepentingan. Acapkali tampilan negeri atas angin bagai sosok “malaikat” yang tak berdosa. Padahal, sisi gelapnya secara nyata terlihat terang benderang, meski tampil seakan tak menyisakan noda. Sungguh tak ada cermin diri untuk melihat semua sisi kehidupannya. Cermin diri hanya untuk orang yang dituntut harus ada sesuai yang digariskan.
Bagai seorang anak dan orang tua. Secara umum, cermin prilaku anak adalah prilaku besar orang tuanya. Meski disadari hal tersebut tak berlaku secara khusus. Bila anak suka makan tangan kiri, seharusnya disalahkan adalah orang tuanya yang tak membimbing anaknya makan dengan tangan kanan. Namun, nyatanya tidak demikian. Dalam konteks “benar dan salah” yang dilakukan seorang anak di negeri atas angin, bila kebaikan yang dilakukan, orang tua akan mengatakan “itu hasil pembinaan dan didikannya”. Namun bila anak melakukan kesalahan (bukan kejahatan) yang dilakukan akibat tanpa bimbingan “orang tuanya”, justru orang tua yang lebih sadis menghukum karena dinilai melanggar aturan. Typikal orang tua tak tau malu seperti ini tampil di negeri atas angin. Padahal, anak tak pernah sama sekali didik dan diajarkan oleh “orang tuanya” tentang benar dan salah. “Orang tua” hanya bagai sosok juri dalam permainan badminton atau volly ball. Duduk manis di atas kursi melihat permainan pemain, tanpa pernah memberikan bimbingan dan latihan.
I’tibar di atas adalah cuplikan ibarat “pengawasan” di negeri atas angin. Posisi “orang tua” selalu bagai durian, sementara anak yang diawasi bagai mentimun. Tak ada kekuatan mentimun atas durian. Meski terkadang si durian hanya berupa “putik durian” kemaren sore yang arogan mengandalkan “durinya”. Menghantam tanpa ampun mentimun tua yang telah memberikan sejuta kebaikan bagi lingkungannya.
Andai seorang orang tua atau pendidik yang bijak, begitu lahir seorang anak, ia akan berusaha membesarkan dan mengajarkan kebaikan, sembari tauladan pada dirinya yang akan dilihat oleh anak-anaknya. Mereka tak pernah membeda-bedakan antara anaknya yang besar dan kaya raya dengan anaknya yang kecil dan belum mampu mandiri sebagaimana saudara tuanya. Semua dilihat dengan kasih sayang yang sama. Bila di bumi di kenal dengan sebutan “kejamnya kota” namun, di negeri atas angin justru yang hadir adalah “kejamnya ibu kandung” ketimbang orang lain. Sungguh membingungkan fenomena negeri bumi dan negeri atas angin.
Bila ingin hidup damai di atas bumi, para candradimuka yang sedang duduk di negeri atas angin perlu melakukan kebijakan yang memihak makhluk bumi, sebab pada saatnya penduduk negeri di atas angin akan memerlukan bumi, minimal untuk tempat istirahatnya yang terakhir. Kebijakan dimaksud antara lain :
Pertama, bangun karakter obyektif dan ketauladanan makhluk di atas angin. Meski umur tak menjadi pijakan utama, namun secara teori kematangan muncul dari batas usia. Meletakkan anak yang baru lahir untuk mengajarkan orang tua arti kehidupan agaknya tidaklah bijak. Atau mungkin ini pertanda kiamat sudah dekat, ketika “anak yang mengatur orang tua”. Karakter dan kebijaksanaan obyektif makhluk negeri atas angin perlu dibangun. Perlu sejumlah ujian untuk melihat katakter mereka. Cobalah letakkan mereka menjadi makhluk bumi dengan “sejuta prilaku bumi”. Khawatir justeru ketika menjadi makhluk bumi, makhluk atas angin yang baru menginjakkan kakinya ternyata lebih parah di banding makhluk bumi yang sudah ratusan tahun mendiaminya. Tak sedikit punggawa negeri atas angin berprilaku demikian ketika hidup di atas bumi. Berbeda jauh dengan apa yang dimunculkan ketika berada di negeri atas angin.
Kedua, bangun sistem timbal balik untuk “mengaudit” makhluk atas angin. Perlu ada pisau bermata ganda untuk membangun peradaban. Bukankah manusia tak ada yang sempurna. Meski manusia merasa sempurna bila dirinya tak ada kuasa untuk menyentuhnya. Arogansi makhluk atas angin perlu dipangkas dan mata hukum perlu lebih tajam untuk mereka. Sebab, bagaimana mungkin upaya membersihkan rumah dengan sapu, namun ternyata sapu yang digunakan menjadi sumber debu yang akan mengotori rumah.
Dalam konteks agama Islam, seseorang yang mengerti aturan ketika melanggar dihukum lebih berat dibanding yang tak mengerti hukum. Namun di negeri atas angin, melalui asas kesetaraan, maka semua hukum sama antara yang mengerti dan yang tak tau sama sekali.
Ketiga, tersusun aturan khusus bagi makhluk atas angin yang melanggar aturan, baik ketika di atas angin maupun ketika di bumi dengan hukuman berat. Hal ini perlu untuk menjadi peringatan bagi yang lainnya.
Bersyukurlah hidup di atas bumi. Sebab, bumi mengajarkan asal diri dan akhir kehidupan. Namun, celakalah orang yang hidup di atas angin. Ia tak pernah ingat akan asal dan akhir diri. Meski kuat bisa menghancurkan isi bumi, namun kekuatannya bila ada kuasa. Bila hanya sebatas angin sepoy-sepoy, maka terlihat asli diri yang ternyata lebih parah dari makhluk bumi. Banyak kasus makhluk negeri atas angin yang demikian “ideal” ketika di atas angin, namun menginjak-injak idealisme ketika turun di bumi. Kemunafikan yang demikian nyata dan memalukan. Begitu mudahnya melihat diri bagi yang ingin dekat pada Ilahi. Namun, begitu angkuhnya diri bila kekuatan yang lebih ditonjolkan. Makhluk negeri atas angin yang memiliki typikal di atas, biasanya tatkala hidup di negeri bumi, kehadirannya tak pernah dihargai, cibiran muncul di mana-mana, hidup sendiri di tengah keramaian.
Pilihan tentu selalu ada bagi yang ingin memperbaiki peradaban. Namun, bila pilihan peradaban hanya sebatas angan-angan, janji Allah pasti adanya. Semua akan kembali dan pertanggungjawaban mutlak akan dituntut. Sanggupkah ??
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 31 Des 2021