Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Sungguh jabatan (dengan berbagai variannya) mengandung misteri. Kemisterian vertikal maupun horizontal. Bila kemisterian vertikal (melalui sunnatullah), jelas berjalan tegak lurus pada ketetapan Ilahi. Namun, ketika kemisterian horizontal, terkadang sulit untuk dimengerti, meski terkadang terpaksa untuk dimaklumi. Meski jabatan merupakan amanah, namun acapkali sulit untuk dipertahankan dan hanya segelintir yang mampu mempertahankan amanah yang sebenarnya. Anehnya, justeru yang bertahan dan dipertahankan hanya pada misteri pada jabatan yang sulit dilogikakan.
Misteri jabatan terlihat pada pemilik jabatan dan unsur-unsur yang berada disekitarnya. Jabatan mampu merubah loyang menjadi emas, hal biasa menjadi luar biasa, hinaan menjadi jutaan pujian, hampa menjadi berisi dan bernas, dan lain sebagainya atau mungkin terjadi sebaliknya. Dalam makna positif, hal tersebut menjadi keniscayaan dan tujuan ideal atas amanah tersebut. Makna inilah yang mesti dicapai dan dikembangkan. Namun, bila terjadi dalam makna negatif, maka jabatan membuat kontinuitas kealpaan dan kesalahan yang berkembangbiak sebagai kebiasaan.
Dalam konteks di atas, sisi misteri kealpaan jabatan bila tidak bijak disikapi dalam menggunakan jabatan antara lain :
Pertama, posisi jabatan terkadang merubah karakter diri sebelumnya. Tentu yang mengerti perubahan tersebut ada pada diri yang selalu melakukan muhasabah pada Ilahi. Namun, bila hati jauh dari Ilahi, maka yang terlihat adalah pembenaran diri semata. Perubahan karakter dianggap wajar akibat tuntutan atas jabatan. Padahal, seyogyanya tidaklah demikian adanya.
Kedua, posisi jabatan membuat semua yang dimunculkan menjadi emas meski hanya bernilai tembaga. Semua dianggap benar dan baik. Katanya adalah emas, meski sebenarnya sebatas besi tua. Apa yang dilakukan sebenarnya biasa saja, tapi menjadi luar biasa. Unsur-unsur tampil terdepan menyambutnya. Decak kagum dan tepuk tangan membahana seantero jagad raya, meski isinya hanya sebatas lipstik belaka untuk “pengagungan berbalut sejuta kepentingan”. Anehnya, hal ini justeru disenangi dan lebih digandrungi.
Lihatlah sabda Rasulullah sebagai pedoman, bahwa “Janganlah kamu berdusta atasku, karena sesungguhnya barangsiapa berdusta atasku, maka silahkan dia masuk ke neraka”. [HR. Bukhari Muslim).
Ketiga, posisi jabatan memperlihatkan sikap dan karakter unsur-unsur disekelilingnya yang ingin dekat dan bersikap manis dengan berbagai variannya. Semuanya karena jabatan yang ada. Tatkala jabatan telah sirna, terlihat unsur-unsur asli akan muncul kepermukaan.
Keempat, posisi jabatan bak gula yang digemari semut. Namun, tatkala gula telah habis, semut akan mencari gula lain dan mengerubungi sumber gula lainnya pula. Demikian posisi jabatan yang bagaikan gula, namun sebatas masih ada manisnya akan ramai, bila hilang manisnya akan ditinggalkan.
Kelima, posisi jabatan memiliki magis dilayani. Akibatnya, fungsi pelayanan (melayani) dalam janji menjadi sebatas teori. Tumpukan fasilitas acapkali membuat kerja menjadi tak tuntas. Bahkan pengagungan yang terjadi membuat lupa atas diri. Akibatnya, semua yang berupaya meluruskan dianggap patut dibinasakan. Sedangkan yang pandai “melayani” akan mendapatkan posisi. Padahal, budaya nenek moyang mengajarkan adanya jamu dan gula. Meski keduanya baik untuk tubuh, namun jamu (meski pahit) lebih dominan menawarkan kesehatan di banding gula yang menyimpan sumber penyakit. Meski Rasulullah pernah mengajarkan bahwa “Katakanlah yang benar meskipun itu pahit (berat untuk dikatakan)”. (HR. Ibnu Hibban)
Seakan hadis di atas tak lagi relevan dengan zaman, atau zaman yang sebenarnya yang tak relevan dengan hadis. Meski demikian, penilaian obyektif pun perlu disisakan dalam diri dalam menilai jabatan. Sebab, semua manusia pasti memiliki kelebihan dan kelemahan. Apakah dominasi antara keduanya tak mampu mendamaikan kepentingan diri, namun mesti tersisa kebaikan yang dimiliki. Sisi kebaikan perlu dilihat untuk menetralisir “mata” yang hanya tertuju pada kelemahan belaka. Bila obyektivitas dalam menilai mampu tertanam dalam diri, niscaya akan terhindar dari sifat tak terpuji (gunjingan fitnah dan variannya).
Dalam konteks di atas, Rasulullah mengajarkan konsep ukhuwah dalam mengawal saudara atas jabatannya melalui tiga pendekatan, yaitu :
Pertama, dengan tangan (kekuasaan)mu. Apakah kuasa atas jabatan atau mungkin kuasa ilmu pengetahuan. Gunakan kuasa yang dimiliki untuk kebaikan dan memberi contoh nyata dalam keseharian dan kedamaian.
Kedua, dengan lisanmu (termasuk varian tulisan) namun tetap mengedepankan hiya ahsan (QS. an-Nahl:125). Kesantunan lisan akan menjadi obor dikegelapan, seteguk air dalam kehausan, atau pelipur ketika lara menghantam.
Ketiga, dengan hatimu (sembari berdoa agar Allah memberikan hidayah). Meski pendekatan ini selemah-lemahnya iman.
Sungguh, jabatan magnet misteri. Bila lepas dari ruh Ilahi, maka akhirnya wajar bila terlupa diri. Kunci kualitas selama memiliki jabatan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu : Pertama, hasil nyata yang dicapai (varian indikator). Kedua, bangunan karakter pada unsur misi amanah yang dipikul. Kesemua kualitas tersebut terakumulasi pada penilaian unsur padanya pasca tanpa jabatan. Bila kebaikan, prestasi dan keadilan yang ditanam, maka penghormatan akan tetap dituai. Namun, bila “kekuatan dan ketakutan” yang disebar, maka cibiran dan kesepian yang akan didapatkan. Bagai kehidupan menemui kematian, ramai bersama ketika ada, sepi sendiri bila telah berpisah dengan jabatan.
Sungguh benar apa yang dikatakan bahwa “Allah akan menurunkan (mengutus) kualitas pemegang jabatan, sesuai dengan kualitas unsur-unsur di bawahnya”. Bila yang diutus sosok pembawa kebaikan, karena disebabkan seluruh unsur telah menyemai kebaikan pula. Demikian pula sebaliknya. Semua kita tidak ada yang mengerti misteri jabatan, sebelum pernah memperoleh amanah tersebut dan diuji menjalankannya secara bijak atau justeru melanjutkan kesalahan yang berkelindan. Bagaimanakah kita ? Pilihan bijak ada bila hati istiqomah.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab