Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Bulan dzulhijah merupakan salah satu bulan yang memiliki banyak keutamaan dan makna yang istimewa. Bagi umat Islam, bulan ini merupakan kesempatan untuk beribadah haji dan berkurban. Bagi yang tak berangkat ke Makah, tanggal 9 dzulhijah disunnahkan berouasa larafah sebagai wujud menghadirkan diri wuquf di Padang Arafah. Sedangkan Iontaran sal i di hari tasyri l dilakukan pula pebyembelihan qurban. Untuk itu, bulan dzulhijah sering juga disebut I ldul qurban. Hanya saja, apa makna Idul qurban dalam konteks modern ?
Sungguh, begitu banyak nikmat yang Allah berikan pada manusia. Bahkan, tanpa batas dan tak mampu dihitung. Hal ini sesuai dengan firman Allah : “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. an : 1 8).
Demikian banyak nikmat yang telah diberikan Allah, manusia hanya dituntut untuk “dirikan shalat karena Rabb dan berkurban”. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri pada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah)” (QS. al-Kautsar : 1-3).
Dari ayat di ataş, ada beberapa makna konteks l idul qurban yang dapat dikorelasikan dengan kehidupan modern, yaitu :
Pertama, shalat untuk berkomunikasi dengan Allah. Tanda bekas sujud (komunikasi dengan Allah) yang esensial ialah tawadhu, dan tidak sombong. Shalat merupakan ibadah istimewa dalam Islam. Semua rangkaian aktivitasnya merupakan bentuk penghambaan diri. Niat merupakan pelurusan tujuan, takbir merupakan ikrar membersarkan Allah. Untaian bacaan dalam shalat merupakan komunikasi hamba dan Khaliq. Sujud dilakukan dengan cara meletakkan tujuh anggota badan di atas tanah (muka, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung kaki) cermin sikap merendah dihadapan llahi. Sedangkan salam bentuk sebaran kebajikan (doa) bagi seluruh makhluk. Demikian sarat nilai pendidikan shalat yang dihadirkan Allah pada manusia. Wajar bila Allah menegaskan, “Sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” (QS Al-Alaq: 19).
Sujud akan menanamkan ketawadhuan dalam diri kepada sesama manusia dan memancarkan Sinar keimanan secara vertikal dan kelembutan (akhlak) secara horizontal. Sungguh, nilai tersebut hanya mampu diraih tatkala shalat dilakukan hanya untuk Rabb (QS al-Kautsar : 2), bukan sekedar melakukan (menggugurkan) kewajiban tanpa menyentuh karakter diri. Apatah lagi dengan melaksanakan shalat berjamaah, seyogyanya umat bersatu dalam satu komando imam dan kokoh silaturrahim dengan sesama.
Kedua, berkurban syariat, melalui hewan perlambang menyisihkan harta untuk berbagi sesama. Pilihan syariat hanya 2 saja, antara qurban Habil (memilih qurban terbaik) atau Qabil (memilih sisa-sisa saja).
Ketiga, berkurban hakikat, menyembelih sifat-sifat kebinatangan pada diri. Bila qurban tak mampu membunuh (simbol penyembelihan) sifat-sifat kebinatangan dalam diri, maka merugilah. Aktivitas diri hanya menjadi korban (bukan qurban) atas genggaman iblis. Diri yang menjadi korban “iblis” dengan keserakahan dan kezhaliman akan selalu mencari korban-korban atau mengkorbankan yang lain untuk kepentingan diri. Atribut yang dipakai sebatas lipstik untuk menyembunyikan jti diri sebenarnya. Mungkin manusia awam akan terpana, namun manusia yang dipilih Allah mampu melihat tabir akan melihat yang sebenarnya. Qurban yang dilaksanakan hanya sebatas syariat zhahir yang tak mampu menembus syariat hakiki, apatahlagi sampai ke tingkat qurban tertinggi.
Ibadah apapun jua sesungguhnya bagai sebatang pohon rindang dengan buah yang lebat. Lebatnya daun menjadi pelindung dari panas dan terpaan hujan makhluk di bawahnya. Akar yang kokoh menjadi tempat bersandar ketika letih dan berpegang ketika angin kencang. Dahan dan rantingnya tempat bertengger burung melepas Ielah. Sedangkan buahnya manis dan harum dinikmati semua makhluk. Begitulah gambaran ibadah yang mewarnai seorang hamba. Pancaran qurban yang dilakukan terlihat pada kehidupan sehari-hari. Hadirnya hamba yang berqurban memberi kedamaian bagi lingkungan.
Bagai seorang yang shalat berjamaah. Bila makna shalat berjamaah membentuk diri, maka kuatlah negeri dengan persatuan yang kokoh, Namun, acapkali nilai ini terlempar jauh dari kehidupan nyata. Shalat berjamaah hanya ibadah “pamrih” dan mendikte Allah guna memperoleh 27 derajat yang tak menyisakan keshalehan sosial dalam realitas. Pasca shalat berjamaah persatuan menjadi hilang, kesatuan perintah (imam) menjadi sirna, kebajikan sesama (hakikat salam) menjadi iri dengki dan dendam sesama. Jika demikian, maka ibadah hanya menjadi korban “keserakahan amal” dan perolehan taburan sanjungan kelaliman dari masyarakat dengan berbagai varian sanjungan. Padahal, ibadah sesungguhnya secara hakikat adalah qurban, yaitu ingin dekat (qarib) dengan Allah. Kedekatan makhluk dan Khaliq adalah tujuan semua ibadah yang dilakukan.
Tatkala kedekatan (qarib) tak mampu diraih, bagaimana mungkin kenal secara baik. Bila perkenalan hamba dan Khaliq hanya sebatas “tegur sapa” maka tak akan ada tumbuh kerinduan. Bila kedekatan terpatri kerinduan, maka yang terjadi adalah saling berdekatan. Tatkala telah terbangun kedekatan dan berdekatan, maka terbentuklah ihsan. Tatkala ihsan sudah dimiliki, maka tak akan ada aktivitas selain aktivitas yang diinginkan oleh Allah dan dicontohkan Rasulullah semata. Aktivitas diri selalu dijaga karena tak ingin berjauhan dengan Khaliq sebagai tujuan hidup dan ihsan Rasulullah sebagai cermin kehidupan.
Sungguh, di mana posisi kita sebenarnya. Berqurban dalam makna sebenarnya, atau hanya sebatas menjadi korban untuk mengkorbankan diri dan orang lain. Hanya diri yang dekat pada Allah mampu menjawab dengan jawaban yang sebenarnya. Apakah sungguh telah melakukan “qurban” atau sekedar menyisakan tampilan “korban” yang dibungkus agama.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos tgl. 19 Juli 2027