Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Setiap tanggal 10 Zulhijjah, umat Islam seluruh dunia merayakan ‘idul adha atau ‘idul qurban dengan penuh kegembiraan. Mengingatkan peristiwa haji dan perintah Allah kepada nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, nabi Ismail AS. Namun, Allah sesungguhnya ingin menguji tingkat ketaatan dan keikhlasan nabi Ibrahim AS pada-Nya. Ketaatan tersebut menghantarkan Rahman dan Rahim-Nya dengan mengganti seekor qibas untuk disembelih.
Ketika nabi Ibrahim AS diuji Allah melalui perintah menyembelih anak yang disayanginya sebagai wujud naluriah normal manusiawi sebagai seorang ayah dan ibu, maka Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan nabi Ismail AS memilih ketaatan atas perintah Allah untuk mendapatkan ridho-Nya. Namun, putaran peradaban dunia terkadang membuat segelintir manusia memiliki keanehan naluriah (abnormal) yang bersedia mengorbankan “anaknya” (varian materi) bahkan harga dirinya (varian immateri), apatahlagi orang lain asal mendapatkan “singgasana” dan tujuan duniawi yang diinginkan. Sungguh fenomena aneh di tengah peradaban yang semakin tak bisa dimengerti, meski sejarah dan keutamaan ‘idul qurban terus dijelaskan dan didengarkan, namun seakan tak diperdulikan apatah lagi diimplementasikan.
Keterkaitan ‘idul adha sebagai waktu untuk menyembelih hewan kurban tertuang dalam firman-Nya : “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)” (QS. al-Kautsar : 1-3).
Dalam ayat di atas sangat jelas, anjuran berkurban menggunakan bentuk fi’il amr, yaitu kata perintah secara langsung. Artinya, ibadah kurban memang sangat dianjurkan. Sebab, eksistensinya memiliki banyak keutamaan, keistimewaan, dan pahala yang besar. Pada sisi lain, ‘idul qurban mengingatkan manusia untuk kembali mendekatkan diri pada Sang Khaliq yang selama ini serasa begitu jauh akibat hati yang tertutup oleh nafsu duniawi yang mendominasi diri nan tak terbendung. Akibatnya, hati menjadi hitam, sejarah menjadi kelam, serta kezaliman dan keserakahan semakin menghunjam.
Sungguh, ayat di atas memiliki rangkaian yang tak terpisahkan dengan ibadah haji sebagai wujud keshalehan vertikal dan implementasi berkurban sebagai wujud keshalehan horizontal. Ada beberapa makna bagi melihat kualitas diri atas rangkaian ‘idul qurban yang dilaksanakan, antara lain :
Pertama, menghadirkan ruh diri untuk merasakan wukuf di Padang ‘Arafah melalui puasa sunnah ‘arafah pada tanggal 9 Zulhijah. Puasa sunnah yang menghadirkan hakikat diri bersama-sama jamaah haji yang sedang melaksanakan wukuf di Padang ‘Arafah. Bila hal ini mampu dilakukan, maka akan terasa demikian hina rasanya diri, hancur rasa kesombongan, punah keangkuhan, terlalu kerdil rasanya diri di atas hamparan bumi Allah, air mata tiada henti menyadari kezaliman yang diperbuat, dan serasa sedang hadir di Padang Mahsyar untuk bersiap mempertanggungjawabkan semua perbuatan selama hidup di dunia. Tak ada kehebatan dibawa, tak ada pengawal yang siap siaga, tak ada jabatan yang akan dibanggakan dengan jumawa, tak ada teman datang membela kecuali amal yang ada, tak ada pakaian kebesaran kecuali kain kafan pembalut badan saja, dan tak ada satupun perbuatan yang mampu disembunyikan semua terbuka lebar menganga. Bila hal ini mampu dihadirkan, maka getar iman menggelora seiring mohon ampunan dan harap rahman dan rahim-Nya, serta rindu hadirnya Rasulullah tuk penuh harap pada syaf’at Rasulullah menuju cinta Ilahi Yang Agung.
Kedua, ketika lantunan takbir, tahmid, dan tahlil dikumandangkan, bersama merasakan lantunan tersebut bagai batu yang dijadikan senjata untuk melempar “syaitan” dalam diri yang merusak hati. Selama hari tasyri’ lantunan asma Allah bergema syahdu dikumandangkan, melatih jiwa untuk menghancurkan sifat iblis yang ada dalam diri. Demikian ketika para dhuyufurrahman melontar batu di setiap jamarat, bagai ikhtiar hamba melempar diri dengan asma Allah pada kejahilan dan kemungkaran yang dilakukan. Selama hari tasyri’ ungkapan asma Allah digemakan, lantunan zhahir yang menggetarkan batin untuk bersinergi merasakan nikmatnya lafaz “penghambaan diri” dihadapan Sang Khaliq.
Ketiga, selama hari tasyri’ waktu menyembelih hewan kurban, bukan sebatas menyembelih hewan belaka. Hakikat utama menyembelih “sifat-sifat kebinatangan” yang ada dalam diri. Hadirkan jiwa merasakan, apakah hewan kurban yang disembelih merupakan sembelihan “binatang-binatang” yang bersemayam dalam jiwa, atau sembelihan masih sebatas aktivitas syariat semu dengan euforia menggebu, namun gagal menyentuh hakikat yang dituju. Jika hal ini terjadi, maka hanya hewan yang mampu dikurbankan, tanpa mampu menyentuh sisi dalam diri. Sementara dalam diri ternyata sosok “pengembala hewan-hewan” yang berkembang biak tanpa batas. Bahkan, bisa jadi bukan manusia yang mengembala hewan dalam diri, tapi hewan dalam diri yang mengembala manusia (zahir) yang punya diri. Tatkala dimensi ini yang didapat, maka hadir sosok zahir manusia –seakan– mulia, tapi sesungguhnya tak lebih sosok “hewan” yang dominan memimpin dirinya. Hal ini akan terlihat dari keluarnya berbagai jenis “sifat-sifat hewani” menyeruak muncul dalam perilaku yang tak mampu lagi dibendung dalam “kandang diri” yang ternyata hanya tempat mengembangbiakkan “hewan-hewan”.
Keempat, memperlihatkan kebesaran Allah. Meski tak terhitung nikmat Allah pada manusia, namun Allah hanya minta sedikit untuk-Nya. Allah hanya minta “shalatlah karena Tuhanmu, dan berqurbanlah”. Sungguh Allah mengajarkan ketundukan dan keikhlasan pada hamba. Meski Allah tak memerlukan semuanya dari makhluk, tapi Allah hanya ingin menunjukkan kebesaran-Nya. Allah mengajarkan agar ketika memberi bukan dipengaruhi orientasi mencari keuntungan melebihi apa yang diperbuat, tapi membangun keikhlasan meski yang diterima lebih kecil dibanding apa yang diberikan. Beda dengan manusia, memberi dengan tujuan mencari keuntungan yang lebih banyak. Saling membantu, tapi nyatanya “ada udang dibalik batu”. Berbuat kebajikan sedikit, tapi mengharap balasan sebukit.
Kelima, membangun keshalehan sosial dengan saling berbagi atas rezeki yang dititipkan Allah. Seluruh daging hewan qurban dibagi kepada semua yang ada. Tak dibatasi oleh pangkat, kekayaan, suku bangsa, bahkan agama. Semua merasakan kebersamaan rezeki tanpa dibatasi sesuatu yang membuat diri bagai “katak di bawah tempurung”. Demikian luas kasih sayang-Nya yang diperlihatkan melalui ‘idul qurban. Malu rasanya, ketika ibadah qurban hanya sebatas rutinitas untuk menampilkan diri seakan shaleh, apatahlagi bila tak berkurban sama sekali akibat kikirnya diri. Tapi, qurban yang tak mampu menghadirkan kepekaan sosial dan kepekaan kemakhlukan diri secara kontinue dengan penuh keikhlasan.
Keenam, ‘idul qurban yang mampu menghadirkan kedekatan (qarib) diri dihadapan Allah, baik secara zahir (syari’at) maupun batin (hakikat). Kedekatan zahir dengan melaksanakan ibadah syari’at yang berbuah akhlaq al-karimah sebagai pancaran (bekas atau buah) amaliah yang dilakukan. Sedangkan kedekatan batin mampu merasakan kehadiran kebesaran Allah dalam kalbu yang menggerakkan suruh energi, denyut nadi, aliran darah, nafas, fikiran, dan gerak batin lainnya untuk senantiasa berzikir mengagungkan kebesaran Allah. Integrasi zahir dan batin yang mampu menghadirkan diri dihadapan Allah akan melahirkan hamba yang ihsan sebagai tingkatan keikhlasan atas semua yang dilakukan. Bila hal ini dapat diraih, maka hilang sirna keangkuhan dan kesombongan, punah ketamakan, hancur kezhaliman, muncul sifat tawadhu’ dan qana’ah, hadir kerinduan pada Allah dan Rasul-Nya, dan terpelihara ihsan dalam diri secara istiqamah.
Demikian jelas isyarat firman Allah, baik yang tertulis (al-Qur’an) maupun pada hamparan alam ciptaan-Nya. Namun, acapkali manusia tak mampu menangkap dan memahaminya akibat “kejahilan dan kezhaliman” yang menggumpal dalam diri. Bila gumpalan tersebut tak dihancurkan, maka ia akan menyelimuti hati yang tak mampu masuknya cahaya kebenaran Ilahi menerangi diri. Tapi bila gumpalan tersebut mampu dihancurkan melalui “penghambaan” pada Sang Pencipta, maka cahaya Ilahi akan menerangi diri setiap hamba dan merasakan kebersamaan-Nya. Bila ibadah zahir dan batin bagaikan air dan susu, maka ia akan menghadirkan integrasi yang padu untuk melahirkan akhlak mulia. Tapi bila ibadah zahir dan batin bagai air dan minyak, maka hanya akan menghadirkan keshalehan yang semu tapi tak mampu menyentuh kalbu sehingga yang muncul hanya prilaku tercela. Tentu hanya setiap diri yang tau kualitas kesyukuran atas nikmat-Nya yang demikian banyak, shalat yang dilaksanakan semata-mata untuk Allah, dan berkurban (wanhar) yang dilakukan secara kaffah (syariat dan hakikat) sebagaimana yang difirmankan Allah pada QS. al-Kautsar : 1-3 di atas. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillah ilham.
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 04 Juli 2022