Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Semua tau dan kenal dengan pohon kelapa. Jenis tanaman yang sangat familiar bagi semua lapisan masyarakat. Apatahlagi bagi anak pulau, keberadaan pohon kelapa merupakan pemandangan sehari-hari, sejak terbit sampai terbenam matahari. Bila di kota setiap sudut terlihat bangunan tinggi mencecah awan, maka bagi anak pulau dan pesisir pantai, pemandangan mencecah awan hanya deretan pohon kelapa. Meski eksistensi pohon kelapa diketahui semua orang, namun tak semua memiliki waktu dan kesempatan mengambil pelajaran diri dari pohon kelapa. Apatah lagi dibeberapa wilayah, eksistensi pohon kelapa hampir punah oleh serangan dan rakusnya tanaman sawit yang lebih “didewakan” bak gemerlap mutiara.
Meski Allah menyatakan, bahwa “Sungguh tak ada ciptaan Allah yang sia-sia” (QS. Ali Imran : 19). Sebab, semua ada maksud dan pelajaran bagi mereka yang berfikir atas ciptaan-Nya. Hal ini dinukilkan Allah dalam firman-Nya : “Dan tidaklah Kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Tidaklah Kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar)” (QS. Ad-Dukhan : 38-39).
Demikian banyak ayat tertulis dan terbentang disampaikan Allah agar manusia menyadari kasih sayang-Nya. Bila semua ayat tersebut dipahami dan diamalkan, maka selamatlah manusia dalam hidupnya. Namun, bila semua ayat yang dihamparkan Allah didustakan akibat diri yang buta, rakus, dan jahil, maka nestapalah manusia dan lingkungannya. Wajar bila Allah berulangkali mengingatkan manusia akan kasih sayang-Nya dalam QS. ar-Rahman (31 kali mengulang kata “maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?”). Di antara sedemikian banyak ayat Allah yang bersifat ‘ainiyah adalah pohon kelapa.
Pohon kelapa merupakan pilihan tumbuhan yang ditanam oleh nenek moyang dahulu yang tinggal di wilayah pulau atau pesisir pantai. Pilihan tersebut merupakan tampilan karakter kearifan lokal manusia era tersebut yang bijak mengenal lingkungan. Ada beberapa tafsir pohon kelapa yang dapat dipelajari untuk menjadi pembanding atas kualitas diri sebagai manusia (konon hebat dan cerdas), antara lain :
Pertama, seluruh yang dimiliki pohon kelapa dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Tak ada satupun sisi batang kelapa yang sia-sia. Semua dapat memberi manfaat pada manusia. Batangnya dapat dijadikan jembatan, bahan baku rumah, asesoris mobiler, dan lainnya. Daunnya dijadikan anyaman untuk atap atau menutup dinding, dan lidinya dijadikan alat kebersihan. Sabutnya dijadikan matras atau bahan pengganti busa. Tempurungnya dapat pula dijadikan alat rumah tangga dan pernik-pernik asesories yang bernilai tinggi. Apatahlagi isi kelapa, bisa untuk menjadi santapan lezat (kelapa muda), pelezat masakan, bahan baku makanan tertentu, bahkan minyak goreng berkualitas tinggi. Demikian seyogyanya manusia mampu mengambil i’tibar atas pohon kelapa pada kehidupannya. Seluruh kehidupanya memberi keberkahan dan kebermanfaatan bagi alam semesta. Hal ini berkaitan dengan fungsi kekhalifan manusia
untuk menjadi rahmatan lil ‘aalamiin, bukan hanya sebatas manfaat untuk diri atau kelompok sepanjang “ikat pinggangnya”.
Kedua, pohon kelapa mudah beradaptasi dan hidup sesuai lingkungannya, bahkan di atas air ia bisa tumbuh, tampa merusak kualitas air. Demikian manusia hadir menata alam dengan keramahan, bukan mengeksploitasi alam dengan keserakahan.
Ketiga, pohon kelapa tak merusak habitat disekitarnya. Ia bisa hidup secara bersama-sama. Ia tak rakus menguasai sekitarnya. Bahkan, ia menjadi pelindung bagi tanaman yang ada di bawahnya. Demikian manusia seyogyanya hadir menjadi ‘arif dan ta’awun untuk alam semesta. Bukan hadir untuk mengkhianti kekhalifahan.
Keempat, akar pohon kelapa mewarnai air disekitarnya, namun menjanjikan kesegaran dan kesehatan. Ia tak tamak menghabiskan air tanah, tapi menetralisir air agar bermanfaat bagi sesama.
Kelima, air buah kelapa menjadi penghilang haus dan obat bagi manusia. Kesegaran dan manisnya air kelapa tak membuat manusia menjadi sakit, bahkan bermanfaat bagi penderita diabetes.
Keenam, pohon kelapa memiliki sifat kemandirian dalam menjalani kehidupan. Ia tak tergantung dan manja untuk melanjutkan kehidupannya. Ia hidup dengan perjuangan akar-akarnya mencari makanan. Meski terkadang, ketika ia diberi vitamin, ia syukuri dengan membalas kebaikan manusia melalui buah yang lebat. Ketujuh, lambang kerinduan dengan menukilkan tamsilan pohon kelapa. Kerinduan ini dinukilkan lewat syair “nyiur melambai“. Tak banyak bahasa kerinduan dan kedamaian yang digunakan. Segelintirnya (mungkin tak ada) adalah melalui tamsilan pohon kelapa. Bentuk lain lambaian kerinduan hamba pada Sang Pencipta dengan Kasih Sayang-Nya yang tanpa tara dan tak berpenghujung.
Berbeda dengan tumbuhan sejenis yang justeru digandrungi manusia modern karena menjanjikan nilai materi, namun merusak lingkungan. Tumbuhan tersebut adalah pohon sawit. Mungkin kecenderungan manusia pada kelapa sawit merupakan cermin sifat manusia modern yang seperti kelapa sawit. Eksistensinya menjajikan materi, namun tanpa disadari ikut merusak tatanan peradaban dan menghancurkan lingkungan.
Di antara sifat “kelapa” sawit antara lain :
Pertama, hanya buah sawit yang menjanjikan kenikmatan materi. Ia bagai kilauan emas yang menyilaukan mata, namun menyimpan derita bagi alam lingkungannya. Tak sedikit yang gila dan menderita tatkala di hulu biaya “memanjakan sawit” telah digadaikan, ternyata di hilir nilai yang diharap jatuh tersungkur. Berbeda dengan pohon kelapa yang tak pernah menyusahkan, meski kilauannya tak mampu menyilaukan mata, tapi apa yang dihasilkan menenangkan jiwa.
Kedua, hanya buah (berikut tandan) yang menghasilkan minyak. Sedangkan sisi lain pohon sawit tak bisa memberi manfaat layaknya pohon kelapa. Semua terbuang sia-sia menunggu proses diurai oleh tanah. Isi sawit tak berati bila tanpa kulit dan tempurungnya untuk menghasilkan minyak. Akibatnya, setelah menjadi minyak, kualitas minyak goreng yang dihasilkan tak mampu menandingi kualitas minyak buah kelapa yang lebih tinggi mutunya. Hal ini ditunjang oleh sistem kerja pohon kelapa yang mandiri, teruji, dan harmonis berdampingan dengan sesama mampu menghadirkan kualitas yang lebih tinggi.
Ketiga, sifatnya “manja” dengan ketergantungan terhadap pupuk. Ia tak mampu mandiri menghidupi dirinya. Ketergantungan atas pupuk yang disuguhkan sangat tinggi. Tanpa pupuk, ia tak mampu berbuat apa-apa. Mungkin ini tamsilan manusia modern. Tingkat ketergantungan di luar diri demikian tinggi. Ketergantungan tersebut antara lain ketergantungan atas teknologi, bantuan orang, dan lain sebagainya. Semua minta “disiapkan”, bukan “menyiapkan”. Di sekitar sawit sulit tumbuh tanaman palawija, kecuali rerumputan liar yang tumbuh subur. Ketika sosok berkualitas tak mampu muncul dan berkembang, maka tumbuh subur “sosok rumput-rumput” sekitar “sawit” yang tak memberi manfaat apa pun jua, kecuali hanya menikmati pupuk yang bertaburan sekeliling sawit.
Keempat, kerakusannya terhadap air, merugikan persediaan air lingkungan. Perbaikan atas lingkungan tanaman sawit membutuhkan waktu panjang untuk kembali pulih. Bagi negara maju, menetapkan kebijakan tak semua wilayah boleh ditanami sawit. Hanya pada wilayah tertentu saja dan jauh dari lokasi pemukiman masyarakat. Namun, bagi negara “terkebelakang” tak ada aturan yang menjaga alam. Tak ada pemetaan wilayah untuk menanam sawit. Semua bebas menanamnya, tanpa sadar bahaya yang ditimbulkan. Demikian dianalogikan sawit terhadap kerakusan manusia justeru akan menghancurkan peradaban dunia sekian generasi. Kehidupannya selalu minta pelayanan istimewa. Bahkan, kerakusannya mampu menghabiskan seluruh isi alam semesta. Bagi manusia pemilik peradaban maju, malu dirinya tatkala gagal membawa kebajikan dan menjaga kemashlahatan keummatan. Namun, bagi pemilik peradaban terkebelakang, muncul kebanggaan bila mampu “menidurkan aturan”, apalagi bila “membunuh aturan dan keadilan” dengan asesoris “jubah kebaikan” yang dipakai.
Kelima, buah sawit tak mampu menghilangkan dahaga dan mengusir lapar. Justeru sawit yang meminta diberi makan (pupuk) dan air yang banyak. Beda dengan buah kelapa, menawarkan air yang manis, penawar sejuta penyakit, dan isinya mampu menjadi pengganti ketika kelaparan mendera. Bagaimana manusia ? Apakah pribadi kelapa telah hilang berganti dengan pribadi sawit ? Entahlah..
Agaknya, penggunaan kedua jenis tumbuhan ini dengan sebutan “kelapa” (pohon kelapa dan kelapa sawit) sebagai lambang penunjukkan “sama-sama manusia” untuk tamsilan. Namun, sifat dan kebermanfaatan totalitas antara keduanya ternyata jauh berbeda, sama halnya dengan sifat dan kualitas manusia pada sesama dalam kenyataannya. Persoalannya, mampukah kita mengambil i’tibar dari pohon kelapa dan sawit. Pilihan cermin kualitas diri atas pohon kelapa atau sebatas sawit, tentu setiap diri yang jujur berkaca mampu menjawabnya. Atau bukan pula keduanya, tapi sifat pohon benalu yang tumbuh pada pohon kelapa dan sawit yang tak ada sedikit jua memberi manfaat, tapi penuh mudharat pada semua yang ditumpanginya.
Masihkah tersisa asa memperbaiki peradaban ala “sawit” yang selalu “haus dan lapar” dengan mengembalikan peradaban ala “pohon kelapa” yang lebih peduli lingkungan ? Ikhtiar tetap dilakukan, munajat pinta tetap dipanjatkan, tawakkal tetap dirangkaikan. Kesemua takdir biar Allah yang memperlihatkan dengan keputusan Yang Maha Adil.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit diharian Riau Pos Online tgl. 13 Juni 2022