Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Dalam sejarah, eksistensi Perahu Lancang Kuning merupakan alat transportasi yang digunakan para pejuang Melayu Riau untuk menjaga kedaulatan dan marwah negeri. Eksistensinya merupakan bukti dan simbol identitas yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat Melayu Riau. Perannya sangat vital dalam menjaga marwah negeri yang dinukilkan melalui lirik lagu “Lancang Kuning”. Hanya saja, penelusuran pesan dari bait lagu yang ditulis belum banyak dilakukan. Lancang Kuning masih dikenal sebatas syair lagu yang didendangkan, lambang yang dilukiskan, semboyan yang didengungkan, atau nama yang disebutkan. Padahal, syair yang ditulis mengandung makna historis, sosiologis, dan religius yang sangat dalam untuk dipedomani sebagai jati diri dan marwah Melayu Nusantara. Eksistensinya bukan kisah fiksi, tapi aksi nyata patriotiknanak negeri.
Namun, akibat sejarah tak tertulis dan kajian yang tidak dipublikasikan secara masif, seakan ia hanya cerita legenda (fiksi) karena sejarahnya tak banyak dimunculkan kepermukaan. Padahal, dalam budaya Melayu, “setiap kata ada makna, setiap makna terkandung pesan, setiap pesan adalah untaian doa dan harapan”. Sebab, “pesan Melayu penuh hikmah dan nasehat, senandung bermuara adab kesantunan, tunjuk ajar untuk membangun peradaban, serta senantiasa bermuara pada Allah Yang Maha Agung dan Rasulullah sebagai tauladan”.
Tatkala menelusuri setiap kata pada bait syair lagu “Lancang Kuning, sungguh merupakan kisah nyata tersimpul pesan penuh hikmah yang perlu diangkat kepermukaan. Pesan yang patut dijadikan pedoman dalam kehidupan. Adapun pesan-pesan tersebut antara lain :
Pertama, Penamaan “Lancang Kuning” berasal dari kata “lancang” yang berarti “melaju” bergerak dinamis dan “kuning” keemasan melambangkan kemakmuran. Pesan “melaju” bahwa orang Melayu harus dinamis dan memiliki kepekaan sosial untuk membangun peradaban. Orang Melayu tak pernah berpangku tangan, apatahlagi pantang diri untuk mengemis dan meminta-minta. Harga diri dijaga dan marwah diri terpelihara. Gerak “melaju” (dinamis) dengan pasti dalam aspek membangun peradaban, tanpa lupa aspek keshalehan (diri dan masyarakat), serta tegak adat dan agama yang terimplementasi dalam kehidupan.
Sedangkan warna “kuning” keemasan melambangkan kedaulatan, harkat martabat, dan kemakmuran. Warna ini sebagai simbol negeri yang sejahtera dan jaya, keagungan, kemegahan, serta kesucian berlandaskan agama. Simbol sejahtera karena sumber alamnya yang berlimpah ruah mampu menghidupi dan mensejahterakan seluruh rakyat secara adil dan beradab. Lambang kejayaan memberi bukti bahwa kepemimpinan Melayu mampu membangun kejayaan negeri dengan peradaban yang tinggi. Kesucian tersimpul pesan pesan sikap istiqomah pada adat budaya yang berlandaskan ajaran Islam. Dengan pesan ini, setiap derap langkah seluruh elemen untuk mengangkat derajat penjaga negeri, kemegahan pada peradabannya, dan senantiasa menjaga kesucian diri dengan mengedepankan budaya yang bersimpul agama Islam. Sedangkan kuning keemasan melambangkan kekuasaan (raja) yang bermartabat dengan membawa pesan bahwa orang Melayu memiliki derajat yang tinggi. Ketinggian derajat dengan wilayah kekuasaan yang luas, serta terjaga martabat dan harga diri. Kekuasaan yang bukan digunakan untuk mengkebiri, tapi untuk membangun dan menjaga marwah negeri.
Kedua, “Lancang Kuning” merupakan nama perahu. Simbol bahwa kehidupan bagaikan perahu. Belayar menelusuri “samudera” kehidupan dunia dengan berbagai riak gelombang kehidupan. Kadang gelombang ganas menghantam. Untuk itu, perlu ketegaran dan bijak tatkala menghadapi benturan.
Ketika kokoh menghadapi badai, namun perlu ingat pada riak yang menghanyutkan. Terkadang, ketika “laut tenang” acapkali membuat diri tak lagi waspada, terlena dan lupa pada tujuan akhir “pelayaran” yang dilakukan.
Berlabuhnya kapal ke “dermaga Ilahi” menandakan akhirnya batas kehidupan (akhirat). Setiap dermaga menyediakan jembatan menuju pilihan sesuai muatan yang dibawa selama belayar, apakah keberuntungan (surga) atau kerugian (neraka). Allah berfirman : “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguh-nya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur” (QS. Luqman : 31).
Ketiga, Lancang Kuning sebagai perahu merupakan simbol jasad manusia. Keselamatan lancang kuning sangat tergantung pada nakhoda yang membawanya. Adapun makna nakhoda secara khusus adalah simbol hati yang senantiasa berzikir mengingat Allah sebagai kompas kehidupan. Ketika hati yang terbimbing dengan iman, maka jasad akan selamat. Jasad yang akan mempertanggung-jawabkan seluruh amal dihadapan Allah. Bila hati tanpa iman, maka badan (jasad) akan binasa. Bagai nukilan bait “kalau nakhoda kuranglah faham, alamat kapal akan tenggelam”. Hanya hati yang berpedoman pada agama, selamat hidup akan didapatkan. Allah berfirman : “Dan mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. al-Bayyinah : 5).
Lancang Kuning merupakan perumpamaan atas agama Islam dan umat sebagai penumpangnya. Di antara para penumpang perahu, ada yang berakhlak mulia, cerdas, bijaksana, dan menguasai ilmu yang luas. Ketika perahu tengah berada di tengah “lautan kehidupan” dan diterjang gelombang, sudah seharusnya para penumpang saling menjaga agar perahu tetap seimbang, istiqomah pada tujuan, dan tak hancur dilanda badai.
Namun, ada pula penumpang yang masih bodoh, egois, mudah terprovokasi, “penjilat”, khianat, dan mudah tergoda berbuat kemungkaran yang berdampak pada kapal dan keselamatan penumpang. Kerusakan kapal akan terjadi bak “rayap memakan kayu”. Tipe yang demikian akan membuat kapal hancur, bocor, hilang keseimbangan dan mudah tenggelam. Bila hal ini terjadi, karamlah seluruh yang ada.
Untuk itu, Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : “Kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah perahu. Nantinya, ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah perahu tersebut. Yang berada di bagian bawah ketika ingin mengambil air, tentu dia harus melewati orang-orang di atasnya. Mereka berkata, “Andai kata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita. Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu” (HR. Imam Bukhari).
Keempat, “Nakhoda” dalam makna luas adalah sosok pemimpin. Agar amanahnya dapat dilaksanakan, seorang “nakhoda” perlu kompas penunjuk arah dan tujuan yang jelas kemana “kapal akan disandarkan”. Kompas bagi mayarakat Melayu adalah agama Islam. Dengan kompas agama, ia tak akan tersesat dalam membawa perahunya. Dengan kejelasan tujuan, ia akan fokus pada arah yang dituju. Di sisi lain, seorang “nakhoda” perlu memahami fenomena alam (ayat kauniyah) sebagai tanda yang diberikan Allah pada-Nya untuk menopang tugas kekhalifahannya. Kemampuan memahami “kearifan alam” akan membentuk diri peka pada semesta. Sosok nakhoda (pemimpin) yang demikian akan mampu bersikap bijaksana, mengerti tugas dan kewajiban, lurus pada niat, teguh pada agama dan budaya, menjaga alam, memahami harapan dan persoalan umat, serta adil dalam keputusan. Demikian sifat nakhoda yang bijak memahami amanah yang diemban mampu menjaga keharmonisan dan kekuatan seluruh penumpang. Hal ini akan dicapai tatkala nakhoda memahami amanah yang dipikulnya. Tapi, tatkala “nakhoda kuranglah faham”, tak mengerti dan memahami amanah yang diemban, maka “alamatlah kapal akan tenggelam”, hancur porak poranda tanpa tersisa.
Jika dalam “perahu” ada yang hendak melakukan kemungkaran dan membocorkan perahu, maka kelasi kapal yang berilmu harus mencegah dan melarangnya berbuat kemungkaran. Sosok kelasi kapal yang selalu membawa “pelita” menerangi kapal, bukan “membakar kapal”. Tujuannya agar semua penumpang yang ada di dalam perahu senantisa terang dan selamat. Namun, jika tidak ada yang mencegahnya (kelasi kapal yang hanya sekedar ada), maka gelap dan hancurlah perahu, serta binasalah penumpang tenggelam di “lautan kehidupan”. Perlu selalu waspada terhadap “rayap dalam kayu” yang memakan dari dalam. Hal ini diingatkan oleh Muhammad Abduh, bahwa “cahaya dan kebenaran Islam menjadi terhijab dan terhalangi oleh umat Islam yang melakukan kemungkaran”. Sementara sesamanya tidak pula melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kemungkaran tersebut. Para pembocor “perahu” senantisa berupaya menghadirkan berbagai bentuk upaya agar kapal karam. Sosok seperti ini selalu hadir sepanjang zaman, selama perahu dunia masih ada.
Kelima, “Lancang Kuning berlayar malam” mengisyaratkan bersimpuh hamba dikeheningan malam, tahajud dijaga untuk bermunajat pada-Nya, memohon ampunan dan petunjuk pada Yang Satu. Keheningan malam dimanfaatkan bermediasi untuk muhasabah diri, menenangkan dan membersihkan rohani dari hiruk pikuk nafsu duniawi. Meski siang digunakan untuk menjalankan fungsi kekhalifahan, malam selalu diisi munajat penghambaan. Siang mengisi jasmaniah, malam mengisi rohaniyah. Harmonisasi keduanya menghantarkan pada kemuliaan yang dijanjikan Allah. Hal ini sesuai firman-Nya : “Dan pada sebagian malam hari, bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (QS Al-Isra’: 79).
Keenam, “Haluan menuju ke laut dalam” sebagai simbol tujuan hidup meraih ketinggian iman dan keluasan ilmu. Miliki keduanya secara utuh. Dengan iman akan menghantarkan manusia mengenal dan merasakan keagungan Allah. Sedangkan dengan keluasan ilmu akan membentuk kematangan diri dalam menjalankan amanah sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Semakin dalam iman dan luas ilmu dimiliki, semakin manusia menemukan sisi kehambaan (kemakhlukan) dan tugas kekhalifahan yang dipikulnya.
Makna lain bait “menuju kelaut dalam” mengandung pesan bahwa kehidupan semakin kompleks dan penuh tantangan. Bijaklah mengatur ritme ombak (dinamika) kehidupan agar kapal mampu menghantarkan seluruh penumpang (rakyat) sampai pada tujuan yang diharapkan.
Bagi orang yang tidak mau mengenal agama atau menjauhi mereka yang dipercaya Allah memiliki ilmu-Nya, tujuan hidupnya tidak akan jelas, baik arah maupun wujudnya. Akibatnya, mereka akan mengalami kehidupan yang sesat di tengah samudera kehidupan. Agar manusia hidupnya tidak sesat, maka agama memberikan petunjuk kepada manusia tentang tujuan hidup dan ilmu membantu memperindah dalam menjalani kehidupan. Untuk itu, Islam menjelaskan tujuan hidup manusia tiada lain adalah mardhaatillah (ridha dan dicintai Allah) dan rahmatan lil ‘aalamiin.
Ketujuh, Perahu Lancang Kuning merupakan simbol kekuatan maritim yang dimiliki masyarakat Melayu. Mereka sadar bahwa Indonesia merupakan wilayah perairan. Untuk itu, memperkuat pertahanan maritim menjadi faktor utama menjaga kedaulatan dan membawa kemakmuran penduduk negeri. Hal ini terlihat bagaimana keamanan NKRI terjaga sepanjang Selat Malaka yang dilakukan oleh Datuk Laksamana. Dengan “Lancang Kuning” menjaga perairan Indonesia dari gangguan negara asing (penjajah).
Pada aspek sosio-ekonomi, wilayah perairan merupakan pintu kemakmuran dan peradaban. Tak heran tatkala sebuah negara mampu menguasai perairan, maka akan menjadi negara maju dan kuat. Hal ini diperkuat tatkala pertahanan wilayah maritim mampu memunculkan keamanan dan keadilan. Dengan demikian, negara luar akan datang justeru akan masuk membawa “kekayaan” mereka untuk dibawa di negeri ini. Bila hal ini terjadi, maka kemakmuran seluruh rakyat akan tercapai.
Dalam konteks sejarah, kerajaan besar yang pernah ada di nusantara, umumnya berada di wilayah perairan. Hal ini dapat dilihat pada peradaban dan kemakmuran yang dicapai oleh Kerajaan Siak Sriindrapura, Kutai, Sriwijaya, Majapahit,Tarumanegara, Mataram Kuno, Singasari, dan lainnya. Kesemuanya merupakan kerajaan besar dan memiliki peradaban yang tinggi Bahkan dalam sejarah dunia dikenal pula Mesir makmur melalui sungai Nil, Arab berkembang melalui laut merah, Turki kuat melalui Terusan Suez, bahkan Singapura yang demikian kecil dengan menguasai perairan Selat Malaka.
Sungguh, zaman keemasan nusantara era awal didominasi pada wilayah maritim. Masyarakat hidup makmur, rukun dan damai. Hal ini menjadi lirikan bangsa asing (penjajah) untuk menguasainya, baik ekonomi maupun geo-politik. Semua mampu ditumpas oleh kekuatan maritim si “Lancang Kuning”. Namun anehnya di era modern, masyarakat justeru “meninggalkan” wilayah perairan melakukan migrasi ke wilayah daratan. Akibatnya, peradaban dan pembangunan terfokus di wilayah daratan yang jauh dari perairan. Sementara wilayah perairan seakan ditinggalkan, terbiar, tertinggal, terkebelakang, dan hanya tinggal kenangan. Wajar ketika wilayah maritim lemah atau “ditinggal dan tertinggal”, maka mudah bagi negara asing “merampok” harga diri dan martabat bangsa dengan masuknya NAPZA yang membunuh masa depan generasi, SDA melimpah mudah dirampok secara terang-terangan, ancaman dan intimidasi geo-politik, radikalisme mudah menyusup, serta nasionalisme semakin terkebiri dan terjadi “erosi” makna kebangsaan akibat tajamnya perbedaan pembangunan antara wilayah perairan dan daratan. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab muncul persoalan, tatkala fokus pembangunan dan kebijakan melupakan kekuatan dan potensi wilayah maritim.
Ternyata, demikian dalam makna “Lancang Kuning” bagi negeri ini, bahkan NKRI. Syair penuh makna, tapi terkadang hanya dilihat sebatas lagu tanpa pesan dan tak bermakna. Padahal, begitu dalam pesan yang disampaikan. Pesan yang mampu melampaui masa dan selalu relevan dengan teori dan fakta. Wa Alahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 9 Januari 2023