Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Sekilas, kata citra dan pencitraan terlihat memiliki kesamaan. Meski kata dasarnya sama, tapi keduanya berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa citra adalah “rupa, gambar (an) yang dimiliki mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk”. Citra menghadirkan wujud atas kualitas sifat asli (baik) tanpa rekayasa. Sedangkan pencitraan adalah “proses atau cara untuk membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu” agar dinilai positif (baik). Secara sederhana, pencitraan diartikan sebagai kesan yang sengaja diciptakan terhadap suatu objek, orang, atau organisasi. Eksistensinya berupaya membentuk atau membangun opini yang baik terhadap sesuatu, seseorang atau lembaga agar mendapatkan perhatian dan respon (pujian) sesuai harapannya.
Secara umum, citra merupakan karakter alamiah tanpa rekayasa (positif). Ia muncul dari dalam diri yang murni. Sedangkan pencitraan merupakan upaya memiliki citra seakan murni untuk menutupi sifat kebalikan (negatif) yang sebenarnya dimiliki.
Pemilik citra beraktivitas tanpa tendensi pujian. Sifatnya alamiah dan tunduk pada keyakinan agamanya. Namun, di era digital, manusia bercitra acapkali dibungkam oleh manusia pencitraan. Sebab, gerak pencitraan lebih masif dipublikasi dan mengisi ruang peradaban hampa, tanpa pernah membangun peradaban yang berkualitas kebajikan.
Ada beberapa sisi makna pencitraan yang begitu terasa, tapi sulit diperkatakan, yaitu :
Pertama, Wujud ketidakpercayaan atas kemampuan diri yang tinggi. Hal ini disebab-kan kemampuannya yang rendah tak ber-korelasi dengan hasrat nafsu yang begitu tinggi menjulang menembus awan. Sifat ini bak pepatah “besar pasak dari tiang”. Untuk itu, agar keinginannya tercapai, maka langkah “pencitraan” dilakukan (status sosial, kepeduli-an, kehebatan diri, silsilah keluarga, bahkan menggandeng ketenaran orang lain). Bila dianalisa melalui logika mantiq, semua upaya pencitraan merupakan bukti atas ketidak-mampuan. Semakin intens dan masif upaya pencitraan, membuktikans rendahnya citra (potensi) yang dimiliki. Demikian sebaliknya.
Kedua, Karakter kemunafikan dan rekayasa prilaku. Karakter ini sangat dibenci oleh Allah. Wajar bila Allah dalam al-Quran mengulang –setidaknya– kata munafik atau nifaq sebanyak 37 kali. Bahkan, secara khusus disampaikan Allah sebagai nama surat dalam al-Quran (QS. al-Munafiqun : 1-11).
Pada umumnya, munafik merupakan sifat dan prilaku yang berpura-pura mengikuti ajaran agama (asesosoris lahiriah), tetapi sebenarnya hati mereka penuh keingkaran dan kebencian. Dalam sejarah Islam, tipikal manusia seperti ini dapat dilihat pada sosok Abdullah bin Ubay. Sosok yang secara lisan mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, namun sebenarnya ia adalah orang munafik. Kebenciannya terhadap nabi Muhammad SAW berawal tertanam dendam di hatinya. Sebab, sebelum Rasulullah SAW hijrah, suku Khazraj dan Aus sebenarnya telah sepakat menjadikan Abdullah bin Ubay sebagai penguasa Madinah. Namun, ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, kesempatannya menjadi penguasa menjadi batal. Hal ini membuatnya dendam dan menganggap Nabi Muhammad SAW sebagai penyebab ia gagal menjadi penguasa di Madinah. Dendam yang membuatnya selalu berupaya memecahbelah Islam dari dalam. Bahkan, melalui siasat “adu domba” yang dijalankannya, hampir saja membuat Muhajirin dan Anshor bermusuhan. Berbagai siasat keji dan firnah selalu disebar- kannya untuk menjatuhkan Nabi Muhammad SAW. Sifat dan kisah Abdullah bin Ubay menjadi sebab turunnya QS. al-Taubah : 68.
Pada masanya, fitnah yang dilancarkan oleh Abdullah bin Ubay terhadap Rasulullah masih bersifat lisan. Cakupan dan ruang geraknya sangat terbatas. Tapi, di era digital, sebaran fitnah dan pergunjingan semakin kejam dan merambah ruang yang sangat luas. Anehnya, berita baik seakan bergerak statis, tapi berita fitnah (hoax) bergerak begitu dinamis dan laris. Untuk mencapai keinginannya, berbagai “publikasi pencitraan” yang berlabel status keshalehan dilakukan untuk menutupi kesalahan dan publikasi kehebatan untuk menutupi ketidakmampuanya.
Pasca wafatnya Rasulullah, hadir pula sosok Ibnu Muljam. Tampil sebagai sosok pembela Rasulullah, tapi sebenarnya ingin menghan-curkan Islam dari dalam. Ia merupakan sosok eksekutor terbunuhnya sayidina Ali bin Abi Thalib sewaktu shalat subuh. Sementara al-Hujjaj al-Tamimi yang ditugaskan membunuh Muawiyah dan Amr bin Bakar al-Tamimi untuk membunuh Amr bin ‘Ash gagal melak-sanakan tugasnya. Mereka semua merupa-kan “duri dalam daging” yang “bermuka dua”. Untuk itu, Allah ingatkan agar manusia waspada pada kaum munafik. Di antara sifat munafik dapat dilihat secara khusus pada firman-Nya : “Apabila engkau melihat mereka, tubuhnya mengagumkanmu. Jika mereka bertutur kata, engkau mendengarkan tutur katanya (dengan saksama karena kefasihan-nya). Mereka bagaikan (seonggok) kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan (kutukan) ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Maka, waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran) ?” (QS. al-Munafiqun : 4).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa “mereka adalah orang-orang yang mengedepankan tampilan belaka, tetapi isi-nya kotor dan kosong sama sekali”. Dalam riwayat lain, Yazid ibn Murrah menjelaskan, bahwa “ciri-ciri munafik dapat dilihat pada penghormatan sebatas kebohongan, kilauan materi hasil penggelapan, sikapnya yang sombong, tidak bersikap rukun dan tidak pula bersikap simpatik. Mereka di malam hari bagaikan kayu (yang tersandar) tanpa gerak (bukti) karya nyata. Tapi, bila di siang hari selalu membuat gaduh (sebatas karya kata)”.
Pemilik sifat munafik dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu : (1) munafik akidah ; menyembunyikan keimanan (agama) yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat pada sosok Snouck Hurgronje. Pengakuan dan tampilan seakan penganut agama (muslim) yang taat, bahkan fasih membaca al-Quran dan bahasa Arab, serta belajar di Timur Tengah. Padahal, ia bukan seorang muslim. Sosok ini merupa-kan manusia yang memiliki kebencian pada agama Islam. (2) munafik perbuatan. Pemilik sifat ini dapat dilihat pada ciri lahiriyah. Anggun pada asesories lahir, tapi kosong (tanpa ruh) agama pada rohaninya. Sosok ini merupakan manusia yang memiliki kebencian pada saudara seagama yang mampu berbuat kebaikan untuk agamanya. Sifat manusia munafik secara tegas dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya : “Ada empat tanda, jika seseorang memiliki tanda empat ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan prilaku tersebut, yaitu : (1) jika diberi amanat, khianat ; (2) jika berbicara, dusta ; (3) jika membuat perjanjian, tidak ditepati ; dan (4) jika ber-selisih (berbeda faham *pen), dia akan berbuat zalim” (HR. Muslim).
Meski tanda kemunafikan di atas begitu jelas, namun akal dan nafsu berupaya menutupi-nya. Akal berupaya mencari berbagai bentuk pencitraan yang diinginkan. Tujuannya untuk memperoleh simpatik untuk dirinya dan membangun kebencian pada pihak yang dibenci. Sungguh, ia sedang memperlihatkan sifat aslinya yang menganga.
Dalam sejarah negeri ini, sosok dan siasat Snouck Hurgronje dapat dipatahkan melalui kesadaran bersama membangun persatuan. Gerak semangat para pemuda “tanpa digital” ternyata begitu berpengaruh membuka keterpasungan fikir, kebencian, dan mem-buka sekat sentimen kedaerahan. Melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, seluruh elemen berikrar bersatu untuk martabat NKRI. Perjuangan mereka mengedepankan citra, tanpa pencitraan. Semua terpanggil menyatukan tekad membangun NKRI, bukan meruntuhkan negeri. Tekad memakmurkan bangsa, bukan menjual aset negara. Tekad bersatu bergandeng bahu, bukan bersepakat untuk “membangun kubu-kubu”. Semua berbuat sesuai kapasitasnya, bukan mencari peluang “menembak di atas kuda”. Untuk itu, generasi negeri ini harus senantiasa menjaga citra semangat persatuan dan citra yang telah dibangun pendiri NKRI. Jangan ganti keikhlasan citra perjuangan pendahulu (pahlawan) dengan sekedar menebar pencitraan yang berujung pengkhianatan.
Ketiga, pencitraan mengisyaratkan adanya tujuan tersembunyi (pengkhianatan). Hal ini diingatkan melalui pepatah “ada udang di sebalik batu” atau “tak ada makan siang yang gratis”. Dalam ilmu mantiq, upaya pencitraan merupakan prilaku wujud kebalikan atas sifat yang sebenarnya. Untuk itu, hadirkan wujud diri secara alamiah (citra), bukan rekayasa (pencitraan). Bila pencitraan yang lebih didahulukan atau tatkala semua sebatas “rekayasa”, maka hal tersebut wujud sifat munafik. Mengira diri pintar dan baik, padahal hanya sosok jahil dan perusak peradaban. Pencitraan yang hanya didukung oleh pemilik prilaku selevel. Hal ini dinyatakan Allah dalam QS. al-Baqarah : 9. Andai ayat al-Quran saja berani didustai dan ikrar nama Allah sebatas lipstik, maka apatahlagi terhadap sesama-nya. Bila hal ini tetap dilakukan, maka carilah bumi lain untuk ditempati.
Keempat, hilang ruh keikhlasan, seiring giat menumbuhkan tanaman riya’ (memperoleh pujian) yang menutupi kezaliman. Sungguh, media digital memberi ruang lebar untuk mempublikasikan berbagai bentuk pencitraan diri. Andai akar keikhlasan dan kebenaran tercerabut, maka kepalsuan akan terlihat nyata. Hal ini diingatkan Rasulullah SAW melalui sabdanya : ”Janganlah kalian menghinakan diri kalian sendiri. Para sahabat bertanya [dengan rasa heran], Wahai Rasulullah SAW, bagaimana mungkin kami akan menjadikan diri kami sendiri hina ? Rasulullah SAW menjawab, seseorang mengetahui bahwa ada sebuah perintah Allah yang wajib dia sampaikan (kepada orang banyak), namun dia tidak menyampaikannya. Terhadap orang yang seperti ini, pada hari kiamat kelak, Allah akan bertanya, Apa yang telah menyebabkanmu tidak menyampaikan hal ini dan hal itu ?. Ia menjawab, rasa takut terhadap manusia. Allah kemudian berfirman, Kepada-Ku lah engkau lebih pantas untuk takut” (HR. Ibnu Majah).
Sungguh, posisi pemilik citra sejati semakin terkucil dan tak lagi dihargai. Ia semakin terpinggirkan oleh gegap gempita upaya pencitraan palsu yang begitu intens dan masif. Anehnya, jualan pencitraan (palsu) lebih laris. Jualan yang didukung media sosial. Akibatnya, manusia hanya sibuk membangun pencitraan untuk mendapatkan puji dan posisi. Manusia justeru lebih takut bila tak dikenal oleh penduduk bumi, tanpa pernah khawatir bila tak pernah dikenal oleh Allah dan penduduk langit. Anehnya, sebagi-an pelaku pencitraan mengetahui secara jelas ajaran agama, namun bersikukuh melakukan berbagai pencitraan palsu yang terkadang membosankan dan melampaui batas kewajaran.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 28 Oktober 2024