Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Seorang yang berilmu dalam istilah agama disebut ulama. Sosoknya dapat dimaknai secara luas sesuai tradisi dan lingkup tugas yang diemban, seperti sebutan guru, ustadz, dosen, pendidik, buya, kyai, atau sebutan lainnya. Sosok ulama (berikut varian lainnya) adalah orang yang benar-benar berilmu. Dengan atribut keulamaan yang dimiliki, ia senantiasa berupaya menambah ilmu dan memelihara adab mulia agar terhindar dari sifat jahil, prilaku hasad dengki atau memfitnah orang yang diangapnya lawan. Setidaknya, sosok ideal ulama sejati terlihat pada pribadi ulama 4 (empat) mazhab (Imam Hanafi, Maliki, Syafie, dan Hambali). Meski ada segelintir perbedaan, namun mereka tak pernah saling menyalahkan pendapat yang lain. Mereka saling menghargai, bukan saling mencaci. Pendapatnya saling melengkapi, bukan saling menghabisi. Sosoknya menyejukan, bukan provokator dan sumber fitnah. Sebab, ulama sejati selalu melihat aib diri dan kelebihan orang lain, bukan justeru sebaliknya.
Keulamaan seseorang bukan pada simbol, atribut, literasi yang dimiliki, asesoris yang dipakai, amanah dipundak, atau sederetan publikasi yang penuh intrik. Kualitas ulama ada pada adab dan sifat tawadhu’ yang selalu mengoreksi diri agar semakin mengenal Ilahi. Dengan sifat ini, ia akan dikenal oleh penduduk “langit”, meski penduduk bumi melecehkannya. Sebab, keulamaan yang dimiliki akan menuntun-nya ke jalan yang dicintai Ilahi. Sedangkan ulama asesoris sibuk dengan publikasi untuk dikenal penduduk bumi, sementara penduduk langit tak pernah mengenalnya. Sebab, apa yang dilakukan hanya berorientasi agar diri dicintai, dipuji, dan dihormati. Padahal, status keulamaan bukan untuk dibanggakan. Apalagi bila status keulamaan diiringi kesombongan untuk menunjukan kehebatan diri yang berujung hasrat memperoleh “posisi dan pundi-pundi”. Padahal, tak ada makhluk yang sempurna. Ia hanya dititipkan setitik ilmu (QS. al-Isra’ : 85). Seluruh kehebatan hanya milik-Nya semata. Tanpa ketinggian kalam Allah, tak mungkin sosok ulama akan diperoleh. Untuk itu, ilmu yang dimiliki seharusnya membuat diri semakin beradab sebagai wujud syukur atas anugerah-Nya. Untuk itu, ilmu yang dimiliki akan digunakan sebagai wasilah menuju jalan kebajikan.
Eksistensi keulamaan sejati tak selamanya melekat pada zuriat (keturunan). Sebab, kualitas ulama merupakan anugerah pada hamba yang dikehendaki-Nya. Untuk itu, ulama hakiki sulit dicari, namun eksistensi-nya selalu ada meski banyak yang tak mengetahui. Sosoknya selalu menjaga marwah diri, bukan menjual keulamaan dan harga diri dengan adab tercela. Sosoknya menyatukan umat, bukan membuat umat terpecah belah.
Citra ulama (guru) hakiki sangat dinanti-kan. Citranya — paling tidak– terangkum dalam beberapa karakter diri, antara lain :
Pertama, dirinya bagai embun yang menyejukkan. Kesejukan yang dipancar-kan membuat hilang dahaga umat atas kemarau zaman yang semakin memanas. Dengan kesejukan yang dimiliki, kehadiran-nya mampu mematikan api emosi dan dendam kesumat. Sebaliknya, ulama yang tak memiliki sisi kesejukan embun hanya akan menjadi bensin yang menyulut api dan membakar persaudaraan.
Kedua, dirinya bagai lampu penerang dikegelapan. Kegalauan umat terjadi akibat melihat persoalan dengan kacamata buram di tengah zaman yang gelap gulita. Tak ada pedoman dalam hidup karena tak ditemukannya cahaya sebagai pedoman. Kondisi ini akan membuat umat hilang pegangan.
Ketiga, tutur katanya menenteramkan bagi umat. Setiap katanya menyelesaikan masalah, setiap fatwanya menghilangkan kebingungan, setiap nasehatnya penuh berarti. Tak pernah merasa diri paling benar, tapi menghargai pendapat yang salah dengan penuh kebijaksanaan, bukan angkuh dan memperkeruh keadaan.
Keempat, perilakukan jadi tauladan. Ketauladanan dirinya bukan dibuat-buat, tapi muncul dari perintah Ilahi yang menyeruak keluar dari dalam diri. Sungguh, apa yang dimunculkan lahir merupakan simbol dalam diri yang sebenarnya. Semakin diri tertata dengan ruh ulama hakiki, maka akan muncul akhlak diri yang menjadi tuntunan umat, bukan sebatas tontonan penuh siasat.
Kelima, fatwa yang dimunculkan jauh dari kesombongan dan merasa paling benar. Tak ada tersisa sebutir debu merasa paling pintar, apalagi merasa paling benar. Meski fatwanya tak berjurai ayat yang secara fasih diucap, namun untaian kata berasal dari ruh al-Quran dan hadis.
Keenam, atribut diri tak pernah ditonjolkan, apalagi atribut tipu muslihat. Meski atribut zahir keulamaan tak dilarang, namun keulamaan bukan dilihat dari atribut. Keulamaan perlu melihat sisi adab dan kearifannya, bukan memaksa perubahan dengan merusak tatanan yang ada.
Ketujuh, kesederhanaan pada pola hidup. Para ulama boleh mencari kekayaan. Tentu kekayaan yang dibenarkan agama. Dengan kekayaan, seorang ulama akan mampu lebih banyak msmberikan kebermanfaan bagi sesama. Namun, kekayaan yang dimiliki tak menjadikan dirinya ujub, sombong, apalagi melupakan kerinduannya dengan Allah. Kerinduan inilah yang mampu menyelamatkan dirinya dari hubbud dunya yang menjadi hijab kerinduan hamba pada Khaliqnya.
Kedelapan, dirinya bagai pohon rindang berbuah lebat. Rindang tempat berteduh semua kalangan dan berbuah ranum untuk dinikmati semua makhluk. Sungguh, sosok ulama hakiki serasa begitu berarti. Keulamaan bukan berarti pada dimensi sempit. Sosok ulama dinisbahkan pada orang yang menguasai ilmu yang bermanfaat. Ulama bisa muncul meski dalil tak dikuasainya, namun ruh ulama sebagai sosok yang rahmatan lil ‘alamin mampu dimiliki. Apapun disiplin ilmu yang dimiliki asal jadi suluh kebenar-an dan adab mulia, maka ia sosok ulama yang sejati. Padanya melekat tugas mulia sebagai pewaris nabi. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya : “Ulama ada-lah pewaris (ajaran) nabi” (HR. Tirmidzi).
Tatkala hadis tersebut dipahami, maka beruntunglah para ulama hakiki sebagai pewaris ajaran Rasulullah. Dalam konteks fiqh, ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima warisan dari pewaris. Dalam hal ini, sosok pewaris nabi adalah ulama yang memiliki karakter adab yang ajarkan oleh Rasulullah, baik vertikal maupun hotizontal. Sosok ulama yang demikian merupakan ulama rabbani (terpuji). Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Fathir : 28).
Sungguh, ulama hakiki dihadirkan-Nya, bukan “diskenario untuk hadir”. Proses kehadirannya dibentuk secara evolusi (berproses), bukan revolusi (mendadak). Untuk itu, bukanlah ulama pewaris nabi tatkala sosok yang tanpa adab dan bertentangan dari akhlak Rasulullah, maka bukanlah ia seorang ulama hakiki. Sebab, sosok yang demikian merupakan ulama su’ (tercela). Ulama tipikal ini ditamsilkan Allah sebagai ulama bani Israil. Hal ini sesuai dengan firman-Nya : “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahui-nya ?” (QS. asy-Syu’ara` : 197).
Dalam al-Quran, ciri-ciri karakter tercela tampil pada sosok ulama bani Israil (Yahudi), yaitu : (a) menyembunyikan kebenaran (QS. al-Baqarah : 146). (b) menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah (QS. Ali Imran : 187). (c) meng-ingkari kebenaran yang diyakini (QS. Al-Baqarah : 89). (d) menggunakan ayat-ayat Allah untuk kepentingan diri sendiri (QS. an-Nisa : 46). (e) memanipulasi kebenaran demi mendapatkan keuntungan duniawi (QS. al-Baqarah : 79). (f) bersifat munafik, pendendam, suka memfitnah, iri, dengki, dan varian sifat tercela lainnya.
Bila sifat di atas ternyata terdapat pada sifat diri, maka eksiatensinya menunjuk-kan sosok ulama sū` yang tak pantas diikuti dan ditauladani. Begitu berat tanggungjawab sebagai ulama. Ia bukan untuk dibanggakan, tapi label yang perlu dirawat dengan adab mulia. Tatkala adab dijadikan pijakan, maka sebaiknya seorang ulama menjaga keulamaannya untuk tampil “berdekatan” bersama Rasulullah SAW. Sebab, tak semua ulama mampu meraih predikat pewaris nabi. Tatkala status keulamaan tanpa ilmu dan adab, maka ia akan semakin jauh dari Rasulullah dan tak layak sebagai pewarisnya.
Eksistensi ulama hakiki dihadirkan-Nya, bukan direkayasa manusia. Ulama sejati hadir membawa “suluh nur Muhammad“. Meski dengan ilmu terbatas dan tanpa status, ia membawa jalan menuju cinta-Nya. Tapi, sosok ulama (guru) sejati acapkali “tersembunyi di tengah terang dan sunyi senyap di tengah keramaian”. Ulama hakiki tak silau pada cahaya dunia. Sebab, ia telah memiliki cahaya-Nya. Untuk itu, sosoknya acapkali tak diketahui. Andai ada, ia akan sengaja dihilangkan oleh pemilik ulama “berkarakter kelelawar” yang takut pada cahaya ulama sejati. Sosok ulama imitasi selalu “menampakan diri di tengah gelap gulita dan berteriak nyaring ketika menyendiri”. Sebab, urat malunya telah putus, serta mata hati dan akalnya telah rusak oleh “nikmat kesalahan” dunia.
Harapan lahirnya generasi berkualitas yang berbalut adab akan hadir tatkala sosok ulama (guru) sejati mengisi seluruh ruang peradaban yang ada. Semoga masih ada ulama sejati yang menjadi penyuluh kegelapan akal dan hati. Selama ulama sejati masih ada dan istiqomah dengan ilmu yang berbuahkan adab, maka sumber kebajikan masih bisa diharapkan. Alam selalu menanti ulama sejati sebagai guru yang patut digugu dan ditiru (tauladan). Tapi, bila yang tampil ternyata sosok ulama (ilmuan) “pesanan”, karbitan, dan imitasi, maka pertanda kerusakan (kiamat) semakin dekat menghampiri, na’uzubillah.
Selamat Hari Guru Nasional 2024
Wa Allahua’lam bi al-Shawaab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 25 Nopember 2024