Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Dunia pendidikan negeri ini kembali dikejut-kan berbagai prilaku dan kejadian miris yang menyayat hati. Kejadian ini menerpa hampir semua jenjang yang ada. Meski persoalannya dilakukan oleh oknum tertentu, namun terasa begitu memilukan bak disayat sembilu. Bahkan, belakangan ini capaian gelar dunia akademik (Guru Besar dan Doktor) ikut marak dipergunjingkan dan seakan telah kehilangan “sakralitas dan kualitasnya”. Penyebabnya begitu variatif dan politis. Simpul awal terlihat tapi sulit tersentuh. Ia bak “angin”. Akibatnya, persoalan sulit untuk diurai solusinya.
Demikian pula atas hadirnya kebijakan jurnal terindeks scopus yang tak bisa ditawar. Ianya menyisakan setitik persoalan. Kehadirannya seakan menjadi “timbangan tunggal” mutu akademik di negeri ini. Melalui karya ilmiah yang dimuat pada jurnal terindeks scopus, berbagai persyaratan akademik akan dapat terpenuhi dan dipenuhi. Seakan, kehadiran-nya menjadi “sumber cahaya” (melampaui cahaya matahari dan rembulan) untuk meraih mimpi dan impian insan akademika.
Secara teoritis, scopus merupakan database yang dimiliki dan dikelola oleh salah satu penerbit karya ilmiah bernama Elsevier. Saat ini, scopus telah memiliki lebih dari 22.000 jurnal ilmiah di berbagai bidang yang tersebar hampir seluruh negara di belahan bumi ini.
Kehadiran scopus berupaya mengaitkan semua artikel yang disusun ke portal yang disediakan sebagai alat ukur (standard) prestasi peneliti di masing-masing negara. Sebab, scopus mempunyai sistem penilaian yang dinamakan Scrimago Journal Rank (SJR) untuk mengukur sebuah artikel ilmiah. Melalui standard tersebut, maka sebuah karya ilmiah akan dinyatakan “berkualitas”.
Sungguh, standard jurnal terindeks scopus memiliki nilai positif tatkala dilaksanakan secara obyektif. Melalui standarisasi ini, dimungkinkan terjaga keteguhan prinsip ilmiah yang benar. Namun, tatkala eksistensi-nya eksklusif, maka terbuka ruang “main mata” dan material oriented. Kondisi ini berdampak terhadap obyektivitas ilmiah.
Ada beberapa ruang yang perlu dikaji ulang terhadap kebijakan “tunggal” tersebut. Bila tanpa kontrol, eksistensi jurnal terindeks scopus kehilangan elan vitalnya, antara lain :
Pertama, kebijakan jurnal terindeks scopus membuka ruang “transaksi dan negosiasi”. Meski kehadiran jurnal terindeks scopus diperlukan, namun menjadikannya sebagai standard tunggal akan menyisakan sejumlah persoalan. Sebab, secara hukum ekonomi, tatkala kebutuhan tinggi pada obyek terbatas, maka akan mempengaruhi nilai materinya. Akibatnya, harga obyek terkadang tinggi di luar kewajaran dan berkepatutan. Untuk itu, Sungguh, standard jurnal terindeks scopus memiliki nilai positif tatkala dilaksanakan secara obyektif. Melalui standarisasi ini, dimungkinkan terjaga keteguhan prinsip ilmiah yang benar. Namun, tatkala eksistensi-nya eksklusif, maka terbuka ruang “main mata” dan material oriented. Kondisi ini berdampak terhadap obyektivitas ilmiah.
Ada beberapa ruang yang perlu dikaji ulang terhadap kebijakan “tunggal” tersebut. Bila tanpa kontrol, eksistensi jurnal terindeks scopus kehilangan elan vitalnya, antara lain :
Pertama, kebijakan jurnal terindeks scopus membuka ruang “transaksi dan negosiasi”. Meski kehadiran jurnal terindeks scopus diperlukan, namun menjadikannya sebagai standard tunggal akan menyisakan sejumlah persoalan. Sebab, secara hukum ekonomi, tatkala kebutuhan tinggi pada obyek terbatas, maka akan mempengaruhi nilai materinya. Akibatnya, harga obyek terkadang tinggi di luar kewajaran dan berkepatutan. Untuk itu, terbuka ruang “transaksi dan negosiasi”. Para “predator” ikut meramaikan percaturan untuk memperoleh obyek dan “proyek” yang dituju. Prilaku yang demikian bukan wujud pemilik ilmu yang sebenarnya. Hal ini merujuk pada firman-Nya : “…..Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama (ilmuan). Sungguh, Allah Maha Per-kasa, Maha Pengampun” (QS. al-Fathir : 28).
Bagi penulis, fenomena “transaksi” segelintir jurnal scopus yang demikian seakan seperti angin semilir yang “meninabobokan”. Hadir tanpa bisa ditolak, terasa ada tapi tak mampu dipegang, serta semilirnya membuat mata tertutup, terlelap dengan mimpi indah, dan semakin terlena. Meski banyak yang perlu “terkuras” (energi, emosi dan materi), bahkan segelintirnya “kecewa” melalui penantian panjang yang berujung nestapa. Awalnya bak cahaya matahari, tapi ternyata hanya cahaya “kunang-kunang”. Disangka scopus ternyata “predator” atau expired. Tak sedikit insan akademik mengalami kekecewaan beralas-kan kepasrahan dan rugi secara materi.
Kedua, Kehilangan tujuan esensi. Secara ideal, kehadiran jurnal terindeks scopus (internasional) membantu mempromosikan karya tulis ilmiah seorang peneliti untuk dijadikan rujukan di seluruh dunia. Dengan demikian, eksistensinya akan menggambar-kan kualitas peneliti (penulis) dan institusi yang mempublikasikannya.
Andai tujuan publikasi dan ruang bagi karya yang dipublikasikan menjangkau pembaca lebih luas (mendunia), seyogyanya karya pada jurnal scopus mampu tegak lurus (linear) terhadap jumlah indeks sitasi penulisnya yang seyogyanya tinggi. Sebab, karyanya berskala internasional yang luas jangkauannya. Sementara pada beberapa kasus, penulis yang karyanya dimuat pada jurnal scopus justeru memiliki sitasi –bahkan sangat– rendah. Artinya, karya publikasi melalui jurnal berskala internasional tak selamanya (belum) mampu “menyapa” audiens secara masif dan menjadi rujukan, dirujuk, atau dibaca secara luas. Sungguh, gambaran sitasi menjadi ukuran karya ilmiah yang ditulis telah dibaca dan menjadi referensi atau kutipan (rujukan) penulis lainnya. Meski demikian, raihan sitasi perlu berjalan secara natural dan jujur, tanpa pemaksaan dan rekayasa. Aturan berkaitan sitasi tentu perlu disusun sebagai alat kontrol. Bila sitasi diskenario, direkayasa, atau dipaksakan agar tinggi, maka justeru merupakan bentuk perbuatan tercela.
Pada dimensi finansial, jurnal scopus (segelintir) merupakan media ilmiah berbayar cukup mahal tanpa standard. Akibatnya, terbuka ruang “negosiasi materi” bukan (semata-mata) ukuran kualitas. Bila hal ini benar terjadi, eksistensinya telah mencederai citra dan martabat dunia akademik.
Dalam sejarah, pemilik ilmu (ilmuan) akan mendapatkan penghargaan atas ilmu yang dimiliki. Sementara dampak kebijakan yang ada justeru (segelintir) pemilik ilmu yang harus membayar agar karyanya terpublikasi. Seakan, publikasi sebagai tujuan utama, bukan kebermanfaatan bagi membangun peradaban. Mungkin rotasi dunia telah terbalik. Ketika awalnya pencari ilmu yang berharap, berubah menjadi pemilik ilmu yang penuh harap. Padahal, Rasulullah telah meng-ingatkan melalui sabdanya : “Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu dibanding ahli ibadah, seperti keutamaan bulan di malam purnama dibanding seluruh bintang- bintang” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Eksistensi segelintir (mungkin) jurnal scopus begitu eksklusif dan hanya menjangkau segilintir kalangan yang mampu dan ber-keinginan. Akibatnya, jurnal scopus hanya “menyapa” segelintir intelektual menengah ke atas. Anehnya, bila dilakukan pengecekan di google scholar, sitasi segelintir karya para penulis jurnal scopus masih rendah sebagai dimiliki. Sementara dampak kebijakan yang ada justeru (segelintir) pemilik ilmu yang harus membayar agar karyanya terpublikasi. Seakan, publikasi sebagai tujuan utama, bukan kebermanfaatan bagi membangun peradaban. Mungkin rotasi dunia telah terbalik. Ketika awalnya pencari ilmu yang berharap, berubah menjadi pemilik ilmu yang penuh harap. Padahal, Rasulullah telah meng-ingatkan melalui sabdanya : “Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu dibanding ahli ibadah, seperti keutamaan bulan di malam purnama dibanding seluruh bintang- bintang” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Eksistensi segelintir (mungkin) jurnal scopus begitu eksklusif dan hanya menjangkau segilintir kalangan yang mampu dan ber-keinginan. Akibatnya, jurnal scopus hanya “menyapa” segelintir intelektual menengah ke atas. Anehnya, bila dilakukan pengecekan di google scholar, sitasi segelintir karya para penulis jurnal scopus masih rendah sebagai rujukan ilmiah. Kalah jauh dengan penulis buku berstandard nasional. Padahal, tujuan ilmu disebarluaskan dan menjadi rujukan peradaban. Bila tujuan tercapai, maka karya ilmiah dimaksud akan banyak dirujuk dan memberi manfaat bagi pengembangan ilmu.
Mungkin, jurnal scopus ingin membuat sejarah sebagai rujukan berstandard dan banyak dibaca, tapi gagal. Sebab, eksistensi-nya belum mampu mengalahkan sejarah buku sebagai rujukan ilmuan berabad-abad lamanya. Ia kalah dengan buku Republik karya Plato, Aristotle Metaphisics dan Etika Nikomakhean karya Aristoteles, Muqaddimah karya Ibn Khaldun, L’Esprit des Lois (Trias Politica) karya Montesquieu, Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Ghazali, The Canon of Medicine karya Ibnu Sina, al-Kitāb al-mukhtaṣar fī hisāb al-jabr waʾl-Muqābala karya al-Khawarizmi, Etika Nasirean karya Nashiruddin at-Thusi, Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd, Manhaj Dzawi al-Nadhar karya Syekh Mahfudz at-Tarmasyi, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari, Tafsir al-Azhar dan Tasauf Modern karya Hamka, Jaringan Ulama karya Azyumardi Azra, Tafsir al-Misbah karya HM. Quraish Shihab, dan lainnya. Semua hadir mendunia karena kualitas isinya, tanpa melalui jurnal internasional dan tanpa ada campur tangan “fasilator, predator, dan transaksi” yang merusak kesucian ilmu. Karya para ilmuan di atas menjadi rujukan dunia, bukan melalui media eksklusif. Semua karya ulama tersebut justeru menghasilkan “pundi” bagi pengarangnya, bukan “terpaksa” mengeluarkan “pundi” agar karya dipublikasi.
Ketiga, kebijakan atas standard yang ditetapkan perlu memperhatikan kearifan lokal. Meski perumusan dan penetapan sebuah kebijakan perlu merujuk standard dunia, namun tak semua wajib diikuti secara mentah-mentah. Banyak rumusan kebijakan yang perlu menyesuaikan dengan kebutuhan dan kearifan lokal. Sebab, andai kearifan lokal telah ditinggalkan, “bagai kaki tak menginjak bumi”. Layaknya merubah makan “hamburger” sebagai standard kaum elite dan menggeser makanan gado-gado yang dinilai ketinggalan zaman. Standarisasi tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan.
Demikian halnya kebijakan untuk mengukur dan syarat keilmuan, tak semua standard dunia patut ditelan mentah-mentah sebagai acuan tunggal. Sebab, ketika menjadikan suatu kebijakan tunggal (selain Allah), maka ia akan menjadi “tuhan” yang begitu “dimuliakan”, padahal membelenggu.
Harmonisasi Kebijakan
Melihat berbagai persoalan yang terjadi, terutama atas persyaratan jurnal terindeks scopus, agaknya perlu dilakukan pengkajian ulang atas kebijakan yang telah ditetapkan. Sebab, tujuan substansi (ideal) jurnal berstandard internasional justeru belum mampu menghantarkan kebermanfaatan secara masif. Bahkan, terkadang kehadiran-nya menimbulkan persoalan lain. Akibatnya, berbagai persoalan menjadi menumpuk. Paling tidak ada 2 (dua) upaya harmonisasi atas kebijakan dimaksud, antara lain :
Pertama, Kebijakan standard alternatif, bukan hanya standard tunggal. Sebab, di era modern, hadirnya google scholar berpotensi mampu menghitung jumlah (sitasi) suatu karya ilmiah yang dirujuk penulis lain. Seyogyanya, eksistensi sitasi (dalam jumlah tertentu) perlu dijadikan sebagai standard (varian pilihan). Penetapan jumlah yang dinilai equivalent (setara) dengan karya ilmiah yang dimuat pada jurnal terindeks scopus. Bila hal ini dijadikan dasar kebijakan alternatif, maka kehadiran jurnal terindeks scopus yang bak “tuhan” dapat diminimalkan. Sebab, sitasi google scholar lebih terukur sebagai rujukan dan meminimalkan tindakan (oknum) yang tak terpuji. Namun, pengguna-an sitasi perlu diawasi. Pengguna rujukan dari internal dibatasi (maksimal 20 %) dan sisanya dirujuk oleh kalangan eksternal. Dengan demikian, upaya sitasi akan berjalan secara alamiah, tanpa rekayasa dan dipaksa.
Andai aturan tunggal jurnal scopus tak segera dikendalikan, maka eksistensi ilmuan dan ruang akademik akan “terjajah”. Padahal, Rasulullah telah mengingatkan melalui sabdanya : “Ulama (ilmuan) adalah ahli waris para nabi” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Amanah dan status mulia di atas perlu dijaga dengan berpedoman pada ajaran agama (berakhlak). Adapun langkah secara spesifik dijelaskan oleh az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim wa Muta’allim yang seyogyanya menjadi acuan ideal bagi pemilik dan pencari ilmu.
Namun, tatkala standard scopus dilepas tanpa pengawalan dan alternatif, maka sejumlah ruang “transaksi” akan terbuka dan mengikis adab ilmu. Hal ini bertentangan dengan adab pemilik ilmu yang hakiki. Untuk itu, Imam Malik RA, pernah berkata : “Pelajari-lah adab sebelum mempelajari ilmu.” Hal se-irama dinyatakan oleh al-Khatib al-Baghdadi (392- 463 H) bahwa : “Hanya dengan adab, engkau akan memahami ilmu”.
Melalui pesan di atas, jelas terlihat tingginya posisi adab dibanding ilmu, apatahlagi dibanding asesories dan sekedar prestise. Bila logika ini menggunakan silogis ilmu mantiq, maka asesories dan prestise tak menjanjikan seseorang memiliki ilmu dan pemilik ilmu tak pula menjanjikan ia memiliki adab. Andai silogis ini dianalisa, sungguh adab tak lagi sebagai acuan utama. Bila demikian, wajar berbagai prilaku naif terus bergulir tanpa mampu dibendung.
Kedua, Penulisan buku berstandard nasional yang selektif sebagai sebuah karya ilmiah. Hal ini telah dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI dalam proses penerbitan ISBN yang cukup ketat. Hal ini merupakan bentuk pertanggungjawaban administrasi yang diharapkan mampu menjaga kualitas karya ilmiah. Sebab, hal ini secara tegas diingatkan Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawab-an atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Diperlukan kebijaksanaan dan kearifan ketika membuat dan menetapkan kebijakan. Sebab, semua akan dipertanggungjawabkan di yaumil mizaan. Jangan disebabkan dorongan popularitas dan derajat dunia membuat diri menjadi hina dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Jangan terjajah dengan “produk import” yang belum tentu siap dan cocok “dikonsumsi” (kearifan lokal). Namun, bukan pula terlalu takut (alergi) dan menutup diri pada produk import bila membawa nilai kebaikan. Hanya saja, jangan tergiring pada keinginan meraih pupularitas instan melalui kebijakan yang membawa kemudharatan bagi peradaban.
Bila kebijakan di atas tetap terus dilakukan, maka ianya akan membuka ruang subhat (menerpa segelitirnya) dan belum tentu valid sebagai ukuran keilmuan yang sebenarnya. Kearifan atas kebijakan perlu dilakukan. Apatahlagi terhadap “standard tunggal” yang belum memiliki alat kontrolnya. Sebab, bila setiap makhluk diberikan ruang “kekuasaan tunggal”, maka dikhawatirkan terjadi prilaku otoriter dan lepas kendali. Untuk itu, diperlu-kan kearifan guna mengawal kebijakan dan kualitas ilmu dan ilmuan. Dengan aturan tersebut, tampil wajah akademika yang beradab dan bermarwah. Andai tak ada lagi insan yang peduli dan masa bodoh terhadap jeritan pilu akibat kebijakan, maka lakukanlah apa yang diinginkan sesukanya. Berarti waktu untuk saling menasehati (QS. al-‘Ashr : 1-3) tak diperlukan lagi. Setiap pilihan pasti ada pertanggungjawabannya. Mungkin secara horizontal masih bisa berkelit dengan sejuta alasan. Tapi, secara vertikal (dihadapan-Nya), semua tak bisa ditutupi dan dinegosiasi.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 26 Agustus 2024