Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Selembar kertas acapkali dinilai tak berharga dan dipandang sebelah mata. Kalanya ia digunakan dan dicari. Tapi, setelah habis manfaat, ia akan dicampak-kan dan disobek tak berarti. Bahkan, meski telah dipakai untuk menulis, bila dinilai tak lagi berguna, lembaran kertas dibuang sebagai sampah belaka. Hal ini wajar, sebab kehadiran kertas yang demikian hanya akan menjadi tumpukan sampah bila tetap disimpan. Namun, bagi pemulung yang bijak, ia akan memungut lembaran kertas tersebut untuk dijual ke penampung barang bekas. Sungguh, tanpa disadari, manusia acapkali bergantung hidup dan perlu pada selembar kertas.
Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari selembar kertas. Pelajaran yang men-jelaskan karakter manusia, antara lain :
Pertama, Media untuk menulis atau melukiskan kualitas diri. Setiap tulisan dan lukisan yang digoreskan pada selembar kertas mencitrakan kualitas karakter diri. Bagi manusia cerdas, lembaran kertas akan menjadi media memuat ide dan pemikirannya. Semakin banyak ide yang dimiliki, semakin banyak torehan tulisan dan lukisan yang “ditumpahkan” pada secarik kertas. Tapi, bagi manusia tanpa ide (gagasan), lembaran kertas hanya akan tetap bersih tanpa ada yang mampu ditulis atau dilukiskannya. Sebab, ia tak memiliki kemampuan untuk berfikir dan “bermimpi” peradaban. Padahal, pada wahyu pertama diterima oleh Rasulullah, jelas terlihat bahwa Allah memerintahkan manusia untuk membaca dan menulis. Hal ini dapat dilihat pada QS. al-‘Alaq : 1-5). Meski perintah-Nya sangat jelas dan mulia, namun acapkali tak dilaksanakan secara bijak. Padahal, ketika manusia membaca “ayat-ayat-Nya”, maka ia akan menemukan kebesaran-Nya untuk ditulis. Membaca dalam konteks ini bermakna belajar (menuntut ilmu) dan menyebarkan ilmu. Semua tentu tak bisa dilepaskan oleh lembaran kertas.
Bahkan, peradaban masa kejayaan (keemasan) Islam abad pertengahan hadir melalui daya cerdas nan beradab para ilmuan yang menorehkannya melalui lembaran kertas. Semua berlomba-lomba menulis ilmu, bukan menyebarkan infor-masi yang menjadi sampah peradaban.
Sungguh, menulis atau melukiskan pemikiran bukan sekedar makna tekstual, tapi dapat dimaknai secara kontekstual dengan bukti peradaban yang “ditulis dan dilukiskannya”. Sebab, alam semesta pada hakikatnya adalah selembar kertas yang akan menulis atau melukiskan kualitas setiap manusia pada zamannya. Bila tulisan dan lukisan yang membangun peradaban yang berdimensi rahmatan lil ‘aalamiin, maka akan dikenang dengan torehan tinta emas. Tapi, bila yang ditulis dan dilukis berdimensi mafsadat lil ‘aalamiin, maka ia akan terhina dengan torehan tinta hitam sepanjang masa.
Kedua, Membungkus suatu objek atau menutup makanan agar tak dihinggap lalat atau debu. Hal ini terlihat terutama pada transaksi ekonomi di pasar tradisional. Terlihat, kertas hadir mulia menutupi aib objek dan melindungi makanan dari kotoran. Sementara manusia, justeru selalu membuka dan menyebar aib, serta menciptakan aib pada orang lain. Seakan dirinya paling bersih dan orang lain penuh noda. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang ber-iman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah menge-tahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. an-Nur : 19).
Begitu bahayanya membuka atau mem-buat aib (fitnah) pada sesama. Untuk itu, Rasulullah bersabda : “”Wahai orang yang beriman dengan lisannya, tetapi tidak beriman dengan hatinya. Janganlah kamu meng-umpat kaum muslimin dan jangan-lah membuka aib mereka. Barang siapa membuka aib saudaranya, niscaya Allah akan membuka aibnya dan siapa yang dibuka Allah akan aibnya, niscaya Allah akan menunjukkan aibnya, meskipun di-rahasiakan di lubang jarum” (HR. Tirmidzi).
Sungguh begitu jelas ayat Allah dan sabda Rasulullah, namun manusia seakan mendustakannya. Selebaran (informasi) hoax (surat kaleng) yang tak bertanggung-jawab dan lisan bercabang yang membuat isu dan memutarbalikkan fakta menjadi tontonan nyata. Bahkan, aktivitas ini telah menjadi pilihan profesi yang menghasilkan pundi. Anehnya, cara culas yang demikian lebih cepat direspon dan ditanggapi. Tentu penerimanya merupakan sosok manusia yang memiliki kualitas karakter selevel dengan yang menyebarkannya. Sebab, semua kebenaran tak pernah bertemu dengan kesalahan, layaknya tak bercampurnya air dengan minyak.
Ternyata, hanya dengan selembar kertas, kalanya manusia kalah mulia. Sungguh sebuah tamparan bagi manusia yang memiliki harga diri. Tapi, ketika harga diri telah terjual dan hati telah tertutup, semua hanya dianggap angin lalu.
Ketiga, Selembar kertas sebagai alat pembersih kotoran. Selembar kertas yang putih bersih acapkali menjadi alat untuk membersihkan kotoran. Demikian sifat kehidupan. Idealnya, hanya manusia bersih yang mampu membersihkan peradaban yang kotor. Manusia berkarakter bersih tak pernah mau menyisakan kotoran meski sedikit. Hal ini menjadikan eksistensinya kurang diharapkan oleh komunitas pemilik kotoran. Akibatnya, manusia bersih acap-kali hanya dimanfaatkan sebagai tumbal pemilik kotoran. Sebab, kehadirannya hanya menjadikan kotoran tak bertahan lama. Kotoran takut ia akan dibuang dan disingkirkan. Untuk itu, acapkali media yang bersih akan dijadikan alat untuk membersihkan kotoran. Padahal, bila yang digunakan untuk membersihkan kotoran berupa media (manusia) yang kotor, maka ruang akan semakin kotor. Andai yang kotor hanya ruang terbatas, kotoran akan dapat dilokalisir. Tapi, bila kotoran tersebut merambah ruang peradaban yang luas, maka kehancuran akan terjadi. Agaknya, kotoran ingin berlama-lama bersama virus, lalat, belatung, dan kebusukan yang ada.
Keempat, Pengikat kata dan suatu janji. Selembar kertas terkadang menampar harkat diri manusia. Sebab, selembar kertas yang berisi perjanjian secara hakikat menyatakan manusia makhluk yang tak bisa dipercaya. Justeru selembar kertas hadir membantu memperkuat kepercayaan pada sesamanya. Andai kata manusia bisa dipegang dan dipercaya, maka kertas materai tak diperjualbelikan dan tak diperlukan lagi. Demikian karakter manusia yang sukar dipercaya, apatahlagi pada urusan muamalah. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Wahai orang yang beriman !. Apabila kamu melakukan utang untuk waktu yang ditentukan, hen-daklah kamu mencatatnya, dan hendaklah seorang di antara kalian menuliskannya dengan benar” (QS. al-Baqarah : 282).
Makna “menuliskan” pada ayat di atas, menurut Wahbah Zuhaily bahwa Allah memerintahkan agar menulis transaksi dengan menyebutkan hari, bulan, dan tahun pembayaran yang dijanjikan dengan sejelas-jelasnya. Meski konteksnya pada jual beli, tapi berlaku untuk semua jenis muamalah lainnya. Tujuannya agar tidak terjadi penipuan dan terjaga keterper-cayaan pada sesama. Bahkan, meski janji telah diikrarkan dan pernyataan tertuang di atas selembar kertas, namun manusia tetap sulit untuk dipercaya. Begitu nista manusia berkarakter munafik.
Kelima, Mempengaruhi masa depan dan nasib manusia. (Ijazah, SK pengangkatan jabatan atau pemakzulan). Begitu besar efek selembar kertas. Ia bisa memuliakan dan menghinakan manusia. Padahal, ia bukan makhluk yang berakal. Demikian Allah angkat martabat selembar kertas dihadapan manusia agar tak lupa diri.
Keenam, Selembar kertas merubah karakter manusia (uang atau cek). Bila ingin melihat karakter manusia, lihat ketika hadir lembaran kertas (uang dan cek). Apakah akan menjadi semakin tawadhu’ seperti sosok Abdurrahman bin Auf yang kaya dan dermawan atau Qorun yang setelah kaya menjadi ingkar, kikir, dan sombong. Apatahlagi bila dirinya berwujud sosok Fir’aun, Haman, dan Namrudz, maka lembaran kertas akan memperkuat hadir kezaliman dan mengokohkan penulisnya sebagai “tuhan”, padahal hantu.
Ketujuh, Selembar kertas mampu meng-guncang dunia. Selembar kertas yang dimaksud adalah data berupa kumpulan dokumen dan rahasia negara. Tatkala jatuh ke tangan musuh, ia menjadi alat untuk menggoyang stabilitas kedaulatan suatu negara, bahkan dunia. Semua hanya berisi sejumlah kata yang tertulis di selembar kertas. Tapi, selembar kertas pula mampu merekat kerjasama antar negara untuk membangun peradaban. Demikian besar peran selembar kertas. Eksistensinya bisa membuat dunia damai, tapi bisa pula menyulut permusuhan yang tak kunjung usai.
Kedelapan, kumpulan lembaran berisi ilmu (kitab). Namun, meski kumpulan lembaran kertas pada sebuah karya kitab memuat segudang ilmu, tapi acapkali diterlantarkan dan tak dihargai. Kehadirannya yang semakin usang hanya menyisakan aroma busuk. Pemandangan ini biasanya terlihat dan terindikasi pada perpustakaan di belahan negara yang belum maju (terkebelakang) atau menganggap dirinya sedang berkembang. Fenomena pustaka sebatas tumpukan kertas (buku ilmu) yang terbiarkan berdebu dan menjadi “rumah” bagi kawanan kutu buku (gegat), tikus, dan jamur. Padahal, di negara berperadaban maju (tinggi), kehadiran buku sangat dihargai dan dijaga secara baik.
Nasib yang menimpa lembaran kertas (gudang ilmu) pada waktunya akan terjadi pada pemilik dan penyebar ilmu (guru). Kelak, ia mungkin tak lagi “dijenguk atau dibutuhkan”. Andai ada, silaturrahim hanya ketika diperlukan. Kehadirannya sebatas “penghias dan pelengkap administrasi” legalitas ilmu, bukan sumber dan warna peradaban. Apatahlagi bila eksiatensinya sebatas melakukan rutinitas administratif, bukan sebagai penuntun (adab) dan penyuluh kebenaran (ilmu). Kondisi ini telah ikut berkontribusi tertutupnya pintu ijtihad cerdas dan menyuburkan sisi kebodohan yang berbaju kemunafikan. Akibatnya, lahir kemandulan peradaban.
Fenomena ini terasa ada bagaikan “bau yang menyengat”. Terendus, tapi tak bisa disentuh. Kondisi ini semakin diperparah tatkala dunia digital menawarkan sejuta kemudahan. Kehadiran “mbah google” yang serba tau menyisakan kontribusi bagi “terputusnya silaturrahim” antara pencari ilmu dan lembaran kertas ilmu atau antara penuntut ilmu dan pemberi ilmu (guru). Semua terselesaikan secara instan melalui sentuhan jari di media digital. Untuk itu, wajar tatkala punah adab ta’lim wa muta’allim di tengah menjamurnya titel (atribut) keilmuan yang ada. Buku tak lagi menarik ditulis. Ia dikalahkan oleh “sang scopus” (syarat utama) yang eksklusif dan segelintirnya membuka ruang “transaksi”. Anehnya, jalan yang ditempuh menempat-kannya di atas pentas dan menjadi rujukan masyarakat. Mungkin hal ini merupakan fenomena akhir zaman ketika sirna rasa malu dan matinya harga diri.
Padahal, sejarah Islam telah mencatat, kemajuan peradaban zaman keemasan abad pertengahan hadir melalui kerja cerdas yang menghasilkan “tumpukan kertas” ilmu. Kehadiran ilmuan cerdas dijadikan tempat bertanya dan dimuliakan. Sebab, ia merupakan “manusia pilihan” yang dititipkan ilmu-Nya. Ketika itu, karya beradabnya selalu dicari, dihargai, dan dinantikan. Demikian janji Allah pada pemilik ilmu yang sebenarnya (QS. al-Mujadalah : 11). Wajar bila era keemasan begitu makmur dengan limpahan karunia-Nya. Sebab, manusia saat itu telah mengimplementasikan semua firman-Nya.
Namun, era penghargaan pada lembaran kertas dan “tarian tinta” ilmu telah berakhir. “Zaman penuh isi” secara bertahap telah tergerus oleh “zaman serba kulit”. Semua sebatas pelengkap administrasi dan gengsi. Akibatnya, “selembar kertas ilmu” hadir tanpa ruh yang mampu membangun, meneruskan, dan mewarnai peradaban yang mencerdaskan. Andai fenomena ini tak segera diantisipasi secara cepat, maka dampaknya akan bersifat masif dan merobohkan sendi peradaban. Mungkin, “akan hadir suatu zaman, ketika pemilik pena tanpa selembar kertas dan pemilik selembar kertas tanpa pena”. Wujudnya hanya sebatas ada, tapi pada hakikatnya tak pernah ada. Kehadirannya tak akan pernah menorehkan setitik goresan pada lembar peradaban, baik pada masanya maupun generasi sesudahnya. Sungguh, setiap pilihan menunjukan kualitas diri, kolega, dan zamannya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 22 Juli 2024