Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Dalam dunia akademik, istilah “integrasi (islamisasi) ilmu” telah lama dikumandang-kan dan dilaksanakan. Sebab, Islam tak pernah mendikotomikan ilmu dan ilmuan. Hal ini merupakan pengejawantahan firman-Nya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Yang meng-ajar (manusia) dengan pena. Dia mengajar-kan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq : 1-5).
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menerang-kan perintah-Nya agar manusia belajar (mem-baca) semua yang ada (selama membawa kebaikan), tanpa memilah ilmu. Dengan penguasaan ilmu, manusia akan mampu melaksanakan tugas kekhalifahan untuk membangun peradaban dan mampu membuktikan kebenaran-Nya. Ketika Allah mengintegrasikan ilmu secara harmonis, namun segelintir manusia justeru memisah-kannya bak air dengan minyak. Pendikotomi-an ini mulai muncul (terutama) sejak pasca runtuhnya zaman keemasan Islam. Akibat-nya, wujud peradaban yang dibangun menjadi kehilangan ruh esensinya.
Berbagai upaya mengintegrasikan ilmu kembali diapungkan di era modern. Namun, secara implementasi belum terlihat wujud nyatanya. Semua masih bersifat teoritis-paradigmatik. Sebatas menghadirkan wacana bentuk, corak, dan istilah tersendiri. Ada beberapa penyebab sulitnya untuk merealisasikan integrasi ilmu ala zaman keemasan, antara lain : (1) eksistensi tawaran integrasi belum didukung kebijakan “politis” yang signifikan layaknya zaman keemasan. (2) kuatnya pengaruh dikotomi yang menghadirkan superioritas ilmu umum di banding ilmu agama. (3) tertutupnya pintu ijtihad. Akibatnya, ilmu umum lepas dari bingkai agama atau ilmu agama tanpa menyentuh ilmu umum. Hal ini berdampak pada sosok ilmuan yang terpecah pada 2 (dua) kutub yang sulit diharmoniskan. (4) pengaruh penjajahan yang berupaya menjauhkan umat dengan agama dan subur pengaruh status sosial. (5) kualitas sosok ilmuan yang dangkal dan parsial. Menguasai (mumpuni) ilmu sains, tapi dangkal ilmu agama. Mumpuni ilmu agama, tapi dangkal ilmu sains. Tersisa asa kebanggaan pada gelar, namun tanpa karya dan ikhtiar. Sosok ilmuan modern yang demikian berbanding terbalik dengan ilmuan zaman keemasan.
Secara historis-ilmiah, integrasi ilmu berkem-bang pesat di era keemasan (Ibn Rusyd, Ibn Haitham, al-Khawarizmi, Nashirudin at-Thusi, sampai Ibnu Sina), bahkan awal era modern (Ismail Raji al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Hasan Langgulung, dan lainnya). Namun, awal era modern, upaya islamisasi ilmu hanya sebatas paradigma teoritis. Kondisi ini berlanjut hingga saat ini. Euforia paradigma disebab-kan belum ditopang kebijakan politik praktis dan ketidaksiapan kualitas ilmuan yang men-dukung untuk mengembalikan ruh integrasi ilmu layaknya zaman keemasan Islam.
Secara umum, integrasi ilmu yang ditawar-kan para ilmuan muslim di atas terpetakan pada 3 (tiga) pendekatan, yaitu : (1) sosok personal ilmuan yang memiliki kualitas ilmu yang integral. (2) epistimoligi ilmu dengan langkah-langkah yang terukur. (3) kebijakan (penguasa) yang mendukung. Ketiganya begitu jelas wujudnya yang menghantarkan kecemerlangan peradaban, bukan sebatas gema retorika dengan istilah menjulang.
Zaman keemasan merekonstruksi wujud integrasi ilmu. Tak banyak rekayasa bahasa dan logika yang dilakukan, tapi nyata wujud harmonisasi yang dihasilkannya. Sementara di era post modernism, begitu banyak muncul wacana dan istilah integrasi ilmu yang telah didengungkan. Namun, semua belum terlihat mengapung di dunia nyata. Ia bagai nama (slogan) tak berwujud. Sungguh, integrasi ilmu bak “secangkir kopi susu” yang nikmat. Begitu sederhana, nyata, dan terukur. Di antara sifat kopi susu meliputi :
Pertama, Dalam air ada manis, rasa, warna, kopi, susu, dan menyehatkan setiap yang meminumnya. Demikian kopi susu. Kesemua unsur hadir bersama dengan tujuan yang sama untuk menghadirkan kenikmatan.
Kesemua unsur saling melengkapi, bukan saling mencurigai. Tak ada iri dan dengki, meski unsurnya tak disebutkan. Unsur yang memiliki sifat keikhlasan dan kebahagiaan bisa berkontribusi bagi hadirnya “kenikmatan kopi susu”. Andai harmonisasi antar semua unsur tak terjadi, maka manusia tak mungkin bisa menyerumput kopi susu yang nikmat.
Demikian halnya terhadap upaya menghadir-kan integrasi ilmu. Diperlukan keinginan dan kerjasama antar semua elemen. Kesemuanya padu dalam tanggungjawab menghadirkan “racikan integrasi ilmu” untuk kesehatan peradaban masa depan. Hal ini terlihat jelas dan dibuktikan peradaban Islam pada era keemasan. Peradaban yang dinikmati dan menyehatkan peradaban seluruh dunia.
Kedua, Disetiap warung kopi, ia (kopi susu) hadir tanpa iri namanya tak disebutkan. Hanya disebut warung kopi, kedai kopi, atau gerai kopi. Padahal, eksistensinya terdapat air, gula, kopi, dan susu.
Menghadirkan integrasi ilmu merupakan kewajiban bersama. Sebab, ianya bukan sebatas tugas keilmuan, tapi merupakan perintah agama membangun peradaban. Semangat ini sesuai firman-Nya : ”Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya’ : 107).
Menurut tafsir Jalalain, meskipun ayat di atas secara khusus ditujukan pada nabi Muhammad SAW, tapi sekaligus terhadap umatnya. Untuk itu, setiap umatnya memiliki kewajiban melaksanakan pesan kekhalifahan-Nya. Jadi, upaya melaksanakan integrasi ilmu merupakan bagian atas tugas yang dimaksud, bukan sebatas selogan semata.
Ketiga, Menyatu memberi rasa nikmat, bukan sebatas bersatu dalam kompetisi untuk menunjukkan keunggulan kualitas masing-masing. Integrasi ilmu bukan meninggalkan agama atau memandang agama sebagai kajian second class. Ajaran agama seyogya-nya dijadikan ruh untuk melahirkan ilmu yang memperkuat kebenaran agama dan bermanfaat keummatan secara ilmiah.
Keempat, Keahlian pembuat kopi sangat menentukan hasil interaksi seluruh komponen “kopi susu”. Keahlian managerial yang diiringi keikhlasan dalam menyeduh kopi susu. Demikian wujud islamisasi ilmu, tak bisa terlaksana tatkala si pemilik ilmu menutup diri dengan keilmuannya. Ia harus memahami Islam terlebih dahulu secara kaffah. Layaknya Ibnu Sina yang ahli di bidang kedokteran dan ilmu jiwa, ia memiliki kemampuan di bidang fiqh, filsafat, dan ilmu kalam. Nashiruddin at-Thusi, pencetus Trigonometri, filsafat Islam, ilmu kalam, sekaligus ulama Persia. Ibnu Khaldun, sosok bapak sosologi dunia, politisi, sekaligus ahli ilmu kalam, fiqh, dan ekonomi Islam. Demikian pula sosok Imam Ghazali, seorang yang ahli ilmu kalam, tafsir Al-Qur’an, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, fiqih, filsafat, dan lainnya. Sosok Ibnu Thufail yang ahli di bidang filsafat, sastra, dan fisika. Mereka merupakan sosok ulama Islam pada zaman keemasan dengan keilmuan yang utuh. Mengembangkan sains tanpa melepaskan diri terhadap pokok ajaran Islam. Demikian pula sosok ulama yang memahami ajaran pokok keislaman, tapi mumpuni pada kajian sains. Di tangan mereka hadir paradigmaintegrasi ilmu secara utuh, berikut karya nyata (peradaban) yang dihasilkan.
Sementara, di era modern (pasca zaman kemunduran Islam), ilmuan muslim hanya sibuk pada tataran mencari nama dan slogan. Akibatnya, nama dan bentuk integrasi ilmu sebatas wacana, serta retorika tanpa wujud nyata yang dihasilkan. Wujudnya sulit terealisasi disebabkan dikotomi ilmu (tataran realitas) terus mengkristal. Eksistensinya bagai minyak dan air, bukan kopi susu. Fenomena ini menempatkan ilmuan modern pada 3 (tiga) tipikal, yaitu : (1) Penguasaan sains modern secara baik, tapi kurang memahami pokok ajaran keislaman yang mumpuni. (2) Mumpuni di bidang kajian pokok ajaran keislaman, namun dangkal pada kajian sains modern. Kedua tipikal ini sulit menerima “pesan” integrasi ilmu karena ketidakfaham-an pada bidang yang tak difahaminya. (3) tanpa penguasaan mumpuni pada pokok ajaran Islam atau sains modern, namun mengaku ahli pada semua bidang. Tipikal ketiga hadir lebih dominan hadir dengan retorika dan gagasan yang melangit, tapi realitanya terbenam di perut bumi. Ia hadir untuk memecahkan kebuntuan mengharmoniskan sains modern dan agama dengan wujud sendiri, namun selalu gagal karena kedangkalan ilmu yang dimiliki. Anehnya, model Islamisasi Ilmu yang telah dipraktekkan para ulama muslim zaman keemasan begitu nyata. Langkah operasional demikian jelas hadir tatkala pelakunya para ilmuan yang kokoh pada kajian keislaman dan mumpuni pada sains modern.
Titik persoalan pada kajian keempat ini merupakan persoalan utama kegagalan upaya integrasi ilmu. Sebab, pilar utamanya ada pada sosok ilmuan dan ulamanya. Bila tipikal ilmuan dan ulama zaman keemasan Islam hadir tanpa dikotomi, maka proses integrasi ilmu akan dapat terealisasi. Tapi, tatkala ujung tombak ini tetap berada di wilayah dikotomi, maka sejuta strategi Islamisasi Ilmu hanya sebatas cerita (wacana) tanpa fakta (terealisasi).
Langkah konkrit perlu dilakukan sejak dini. Wujud integrasi ilmu perlu ditampilkan sejak pendidikan dasar. Ia harus diperkuat kebijak-an yang mendukung dan tenaga pendidik yang mumpuni untuk menghadirkannya. Sementara, upaya dan cita-cita integrasi ilmu hanya hadir pada pendidikan tinggi. Bak menghadirkan bangunan anggun pada puncak yang tinggi, sementara pondasi yang dimiliki begitu rapuh, bahkan tanpa pondasi. Akibatnya, harapan integrasi ilmu hanya sebatas cita-cita atau mimpi yang “mustahil” mampu terealisasi.
Sungguh, betapa hebatnya langkah dan wacana integrasi ilmu yang ditawarkan, semua akan terbentur dan tergantung pada elemen manusia yang akan melaksanakan-nya. Tatkala elemen manusianya telah kokoh pondasi agamanya, maka gerak Islamisasi Ilmu akan dapat dilakukan meski pada tahap sederhana. Namun, apabila elemen utama (manusia) tak memahami Islam, maka akan gagal semua upaya integrasi ilmu yang diprogramkan. Hanya tersisa wacana tanpa wujud atau sebatas wujud (nama bentuk) tanpa ruh. Akibatnya, hadir euforia pada istilah (nama) yang dijadikan ikon islamisasi (integrasi) ilmu, tapi kosong pada tataran implementasinya. Sebab, ikon integrasi yang disepakati tanpa didukung pelaku yang mampu menunjang untuk mewujudkannya.
Kelima, Kopi susu menjanjikan minuman bergizi dan membuat konsumennya menjadi sehat. Meski berbagai modifikasi pembuatan dan unsur yang ada, kesemuanya menyatu menambahkan kenikmatan tanpa meng-hilangkan nama “kopi susu”. Demikian integrasi ilmu. Modifikasi terbuka lebar untuk dilakukan, namun dasar pemikiran atau langkah para ulama (ilmuan) muslim zaman keemasan tak pernah dilupakan. Pemikiran dan langkah yang telah dilakukan menjadi row model dengan racikan kearifan lokal yang menambah kenikmatan setiap seduhan yang ditawarkan.
Sungguh, sejarah kebudayaan dan peradaban manusia pada hakikat bagai putaran jarum jam yang terus berputar dan melakukan peng-ulangan. Tak perlu malu mengikuti sejarah masa lalu yang telah teruji kebermanfaatan-nya. Tak ada peradaban yang mengalami ruang hampa. Semua bersinergi dan berputar setiap masanya. Sebab, “pohon yang berbuah manis hari ini tak mungkin baru ditanam kemaren sore. Agar pohon berbuah ranum diperlukan proses panjang dan pengorbanan yang tak bisa dihitung”. Demikian proses integrasis ilmu. Ia hadir pada rentang waktu yang panjang dan terlaksana tatkala hadir gerak langkah yang harmonis. Sungguh tidak populer menghadirkan langkah di ruang hampa. Bila hal ini dilakukan, maka hanya kehampaan yang akan dipetik. Wajar bila upaya integrasi ilmu era modern tak pernah terwujud. Mungkin akibat gerak, langkah, dan pemikiran yang ditawarkan hanya berada di ruang hampa. Bila demikian, wajar bila ide integrasi ilmu hanya memetik kehampaan semata. Padahal, sejarah peradaban bukan ruang hampa. Semua sesuai sunnatullah yang telah ditetapkan-Nya. Namun, hadir segelintir yang berupaya menguburkan sejarah masa lalu. Seakan, ia merasa pemilik dan menoreh sejarah. Dengan jumawa, hadir rasa sombong dan paling hebat atas konsep apa yang ada. Karakter manusia demikian akan menghantarkannya memiliki pandangan inklusif, bukan eksklusif (bak katak di bawah tempurung). Sungguh, mengikuti langkah integrasi pendahulu tak membuat diri jadi malu. Pandangan atas Islamic world view perlu dikembangkan merupakan wujud Islam kaffah (totalitas). Melalui cara ini, dimungkin-kan lahir pemikiran inklusif tanpa tercerabut dari ruh Islam dan tak terjebak pada euforia apologis. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 21 Oktober 2024