Oleh : Saifunnajar
Dosen IAIN Datuk Laksemana Bengkalis.
Para Dosen dan Mahasiswa serta para pembaca yang Budiman.
Kesempatan ini penulis berbagi ilmu pada pembaca, semoga dengan tulisan ini memotivasi kita untuk menjadikan sebagai tambahan referensi. Buku ini bisa mudah didapatkan ada di bagian referensi perpustakaan IAIN Datuk Laksemana Bengkalis. Penulis menukil kalimat Muqaddimah atau Pendahuluan kitab Tafsir Al-Kabir Jilid 1 ditulis Syekh Khalil al-Mays, Direktur Universitas Al-Azhar Lebanon, yang ditulis di Beirut, 14 Jumadal Akhir 1397 H / 1 Juni 1977 M. Syekh Khalil menerangkan tentang penulis dan kitab tafsir Mafatihul Ghaibi. yang lebih dikenal dengan Biografi Imam Fakhruddin Ar-Razi sebagai berikut :
- Identitas dan Nama Lengkap.
Imam Fakhruddin ar-Razi memiliki nama lengkap Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al-Taimi al-Bakri al-Tabari al-Razi. Ia dikenal dengan berbagai gelar dan julukan seperti Abu Abdullah, Abu al-Ma‘ali, Abu al-Fadl, dan Ibn Khatib al-Rayy, serta mendapat gelar kehormatan Fakhruddin, Imam, dan Syaikh al-Islam.
- Kelahiran.
Beliau lahir di kota Rayy (sekarang wilayah Iran) pada tahun 544 H, sebuah daerah yang terkenal di wilayah Daylamiyah, dekat Khurasan.
- Fisik dan Kepribadian.
Digambarkan sebagai sosok bertubuh sedang, gempal, berjenggot lebat, bersuara lantang, serta memiliki kepribadian yang berwibawa dan dihormati.
- Pendidikan dan Lingkungan Ilmiah.
Imam Fakhruddin memulai pendidikan dari ayahnya, Syekh Diaa al-Din Umar, seorang ulama terkemuka di Rayy. Beliau juga belajar dari Abu Muhammad al-Baghawi dan mempelajari ilmu kalam serta hikmah dari al-Majd al-Jili, seorang murid Imam al-Ghazali. Di antara kitab yang dihafalnya adalah al-Shamil karya Imam al-Haramayn dalam bidang teologi.
Riwayat Keilmuan Imam Fakhruddin ar-Razi.
Pengarang kitab Mir’āt al-Jinān mengutip pernyataan Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitabnya yang berjudul Tahṣīl al-Ḥaqq, yang isinya sebagai berikut:
Bahwa beliau mempelajari ilmu ushul (ilmu dasar-dasar agama) dari ayahnya, Diaa al-Din Umar. Sedangkan ayahnya berguru kepada Abu al-Qasim Sulaiman bin Nashir al-Anshari, dan beliau berguru kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma‘ali al-Juwaini, yang berguru kepada Syekh Ahlus Sunnah Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari.
Adapun dalam ilmu fikih (cabang hukum Islam dalam mazhab Syafi’i), Imam Fakhruddin juga belajar dari ayahnya tersebut, dan ayahnya berguru kepada Abu Muhammad al-Husain bin Mas‘ud al-Farra’ al-Baghawi, yang berguru kepada al-Qadhi Husain al-Marwazi, lalu kepada al-Qaffal al-Marwazi, kemudian kepada Abu Zaid al-Marwazi, dan kepada Abu Ishaq al-Marwazi. Beliau berguru kepada Abu al-Abbas Ibn Surayj (Ahmad bin Umar), yang berguru kepada Abu al-Qasim al-Inmati, kemudian kepada Ibrahim al-Muzani, dan terakhir kepada Imam al-Syafi’i al-Muthallibi, semoga Allah meridhainya.
Disebutkan pula dalam Wafayāt al-A‘yān jilid 3 dan Mir’āt al-Jinān jilid 4 halaman 11 bahwa Imam Fakhruddin telah menghafal kitab al-Mustashfā karya Imam al-Ghazali dalam bidang ushul fikih, dan juga kitab al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Basri al-Mu‘tazili. Ia juga belajar dan mendalami fikih kepada Kamal al-Din al-Samnanī dalam waktu yang cukup lama dan konsisten.
Kondisi Zaman Imam Fakhruddin ar-Razi.
Imam Fakhruddin ar-Razi hidup pada paruh kedua abad ke-6 Hijriyah, suatu masa yang sangat genting dalam sejarah umat Islam dari sisi politik, sosial, keilmuan, dan keagamaan.
Pada masa itu, kekuasaan Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran yang parah. Umat Islam dikejutkan oleh kabar perang salib di wilayah Syam, serta invasi bangsa Tatar di wilayah timur (mashriq), yang menimbulkan keresahan dan menggugah emosi serta kesadaran umat.
Pertikaian antar mazhab dan aliran teologi pun sangat tajam. Bahkan di kota Rayy sendiri terdapat tiga kelompok besar: mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Syi’ah, serta munculnya kelompok Bāṭiniyyah, Karāmiyyah, dan lainnya. Perdebatan teologis antar kelompok juga sangat sengit, di antaranya: Syi’ah, Mu’tazilah, dan Murji’ah.
Ilmu Pengetahuan di Masanya.
Mengenai perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Ibnu Khaldun berkata:
“Kami mendengar dari penduduk wilayah timur bahwa cabang-cabang ilmu seperti ilmu alam (natural), ilmu ketuhanan (teologi-falsafi), matematika (geometri), dan musik masih sangat berkembang dan subur wilayah ‘Iraq Ajam dan kawasan di seberang sungai (Transoxiana), serta mereka berada di puncak kejayaan dalam penguasaan ilmu-ilmu rasional tersebut.”
Kondisi Sosial dan Agama pada Masa Fakhruddin ar-Razi.
Kemajuan peradaban mereka dan kokohnya peradaban di tengah-tengah mereka disebutkan dalam Muqaddimah Ibn Khaldun halaman 381.
Namun pada masa itu juga, kejahatan kelompok Bāṭiniyyah (pengikut paham kebatinan) semakin merajalela. Mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh-tokoh secara individu, dan di antara korbannya adalah Nizhamul Mulk (perdana menteri terkenal) dan Qadhi al-Qudhah (hakim agung) kota Isfahan. Pemilik kitab Syadzarāt adz-Dzahab berkata: “Musibah besar menimpa umat Islam karena ulah orang-orang terkutuk ini. Setiap pemimpin dan ulama pun merasa takut kepada mereka karena serangan-serangan mendadak yang mereka lakukan terhadap masyarakat umum.” (Jilid 4, halaman 4)
Mereka itu, sebagaimana digambarkan oleh Imam al-Ghazali, “Secara lahiriah menganut paham Rafidhah (Syiah ekstrem), namun secara batiniah mereka adalah orang-orang kafir.” (Fadhā’ih al-Bāṭiniyyah, hlm. 37)
Pada masa ini juga, tasawuf berkembang dengan luas, dan muncul pula karya-karya yang mengkritik arah penyimpangan dalam jalan tasawuf, seperti kitab Talbīs Iblīs karya Ibnul Jauzi.
Dalam suasana politik, intelektual, dan keagamaan yang kacau seperti inilah Fakhruddin ar-Razi lahir, tumbuh, dan hidup. Ia mengalami dan mengambil bagian dari semua dinamika tersebut. Hal ini dijelaskan oleh as-Subki dalam biografi ar-Razi, yang berkata:
“Setelah mahir dalam berbagai disiplin ilmu, ia menyeberang menuju Khwarizm dan terjadilah perdebatan antara dia dan kelompok Mu’tazilah. Perdebatan itu berakhir dengan keluarnya ia dari wilayah tersebut. Kemudian ia menuju kawasan Ma Wara’an-Nahr (Transoxiana), dan di sana pun ia mengalami kejadian-kejadian serupa dengan yang terjadi di Khwarizm.” (Thabaqāt asy-Syāfi‘iyyah al-Kubrā, Jilid 8, hlm. 86)
Adz-Dzahabi dalam Thabaqāt al-Mufassirīn menyebutkan:
“Saya dapati adanya permusuhan dan fitnah antara ar-Razi dan kelompok Karrāmiyyah, yang membuatnya disakiti oleh mereka, dan ia pun menyakiti mereka. Di dalam majelisnya, ia kerap mengkritik mereka, dan mereka pun menyerangnya.” (Jilid 1, hlm. 214).
Ar-Razi sebagai Seorang Faqih (Ahli Fikih)
Fakhruddin ar-Razi menuntut ilmu fikih dari ayahnya dan dari al-Kamāl as-Simnānī, yang menjadi gurunya dalam waktu yang lama. Kemampuannya dalam bidang fikih tampak dari cara ia mendiskusikan pendapat-pendapat para ulama Hanafiyyah saat menafsirkan ayat-ayat hukum. Ia dan kaum Hanafiyyah sama-sama menekankan argumentasi rasional dalam memahami ayat-ayat dan hadis-hadis hukum. Ia tampaknya sangat menyukai pendekatan rasional ini, sampai-sampai ia pernah menulis sebuah tafsir khusus untuk Surah al-Baqarah hanya dengan pendekatan rasional, tanpa mengandalkan riwayat.
Di antara kitab fikih karyanya adalah kitab At-Tharīqah al-‘Ilā’iyyah dalam empat jilid, dan kitab Syarh al-Wajīz karya Imam al-Ghazali.
Ar-Razi sebagai Ahli Ushul Fikih.
Ar-Razi tampaknya telah menguasai kitab Al-Mustashfā dalam ushul fikih karya Imam al-Ghazali, dan juga Al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Bashri. Karena penguasaannya atas dua karya besar tersebut, ia disebut telah menjadi imam dalam bidang ini. Penulis Mir’āt al-Jinān menulis tentangnya: “Ia mengungguli para ulama sezamannya dalam dua bidang pokok: Ushul Fikih dan Ushuluddin (teologi), dan ia telah menyumbangkan kontribusi besar dalam bidang tersebut.”
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya berkata:
“Manusia sangat memperhatikan metode para mutakallimin (teolog rasional) dalam ilmu ushul fikih. Di antara karya terbaik yang ditulis oleh para mutakallimin dalam bidang ini adalah Al-Burhān karya Imam al-Haramain, dan Al-Mustashfā karya al-Ghazali. Keduanya berasal dari kalangan Asy’ariyyah. Adapun dari kalangan Mu’tazilah, yang paling menonjol adalah kitab Al-‘Umdah karya ‘Abdul Jabbar dan syarahnya yang berjudul Al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Bashri. Keempat kitab tersebut merupakan fondasi dan pilar utama dalam bidang ushul fikih.”
Keempat kitab pokok dalam ushul fikih dirangkum oleh dua ulama besar: Imam Fakhr al-Din Ibn al-Khatib (al-Razi) dalam kitabnya al-Mahṣūl, dan Saif al-Din al-Asadi dalam kitabnya al-Aḥkām. (Lihat kutipan no. 338). Oleh karena itu, para ulama kemudian berupaya menyusun ringkasan dari al-Mahṣūl, yang menjadi dasar bagi teks-teks baku yang diakui oleh mazhab Syafi’i.
Al-Razi sebagai Teolog.
Fakhruddin al-Razi adalah seorang ulama Sunni Asy‘ari. Ketokohannya dalam bidang teologi (ilmu kalam) bahkan lebih menonjol dibanding ketenarannya dalam bidang ushul fikih dan fikih. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ia memiliki guru khusus dalam bidang ini, yakni al-Majd al-Jīlī, di mana ia mempelajari ilmu kalam dan hikmah (filsafat). Ia juga menghafal kitab al-Shāmil karya Imam al-Haramayn.
Meskipun al-Razi memiliki sejumlah karya dalam bidang ini, seperti Ta’sīs al-Taqdīs (yang telah dicetak), serta Asrār al-Tanzīl dan Anwār al-Ta’wīl (yang masih berupa manuskrip), sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ali al-Amidī, kontribusinya yang paling besar dalam bidang ini terlihat dalam karya tafsirnya yang luas dan mendalam.
Al-Razi sebagai Filsuf.
Imam al-Razi adalah seorang Asy‘ari dalam keyakinan, namun ia juga terlibat secara mendalam dalam bidang filsafat. Ia pernah menuturkan pengalamannya:
“Pada awal ketertarikan kami terhadap ilmu kalam, kami sangat ingin mengetahui isi buku-buku para filsuf dan musyrik, agar bisa menyusun bantahan terhadapnya. Maka kami menghabiskan sebagian besar hidup kami mempelajarinya… hingga Allah SWT memberi kami taufik untuk menyusun buku-buku yang merespons gagasan mereka.”
Di antara karya terkenalnya dalam bidang ini adalah: Syarḥ al-Isyārāt, Lubāb al-Isyārāt, al-Mulakhkhaṣ fī al-Falsafah, dan masih banyak lagi karya lainnya.
Al-Razi sebagai Dokter.
Al-Razi juga dikenal sebagai seorang dokter. Namanya disebut dalam kitab ‘Uyūn al-Anbā’ fī Ṭabaqāt al-Aṭibbā’ karya al-Qifṭī (jilid 2, hlm. 23). Al-Qifṭī menyebutnya sebagai:
“Seorang yang berakhlak baik, tajam pikiran, fasih dalam berbicara, sangat terampil, dan memiliki wawasan mendalam dalam seni pengobatan dan segala cabangnya.”
Salah seorang muridnya, Qadhi Marand, berkata:
“Kemudian al-Razi mencurahkan dirinya pada ilmu hikmah, dan mencapai tingkat yang sangat tinggi hingga tidak ada seorang pun pada zamannya yang menandinginya.”
Ia menulis beberapa buku kedokteran, antara lain: Masā’il al-Ṭibb (Persoalan-persoalan Kedokteran), al-Jāmi‘ al-Kabīr fī al-Ṭibb (Kompendium Besar Ilmu Kedokteran), kitab tentang anatomi berjudul Dari Kepala hingga Seluruh Anggota Tubuh, serta buku khusus tentang Denyut Nadi.
Al-Razi sebagai Mufassir (Ahli Tafsir)
Jika kita meninjau pendapat sejumlah sejarawan tentang Fakhruddin al-Razi, tampak bahwa mereka sepakat mengelompokkannya sebagai salah satu mufassir besar. Namun mereka berbeda pendapat mengenai bidang ilmu apa yang paling menonjol darinya.
Ibnu Khallikan (w. 681 H) dalam biografi Fakhruddin al-Razi menyebut:
“Abu ‘Abdillah Muhammad bin Umar… adalah seorang ahli fikih Syafi‘i, sosok yang tiada duanya pada masanya, dan tokoh luar biasa. Ia melampaui para sezamannya dalam ilmu kalam dan ilmu rasional. Ia memiliki karya-karya penting dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk tafsir al-Qur’an.”
Kitab tafsirnya yang agung (at-Tafsīr al-Kabīr) menghimpun segala hal yang asing dan menakjubkan. Kitab ini sangat besar (dalam ukuran dan isi), namun sayangnya belum sempat ia sempurnakan.
Sebagian ulama mendahulukan penyebutan bidang fikih, ilmu kalam, dan filsafat atas ketenarannya dalam tafsir. Mereka menganggap tafsir hanyalah bagian dari karya-karya ilmiahnya. (Lihat al-Wafayāt, Jilid 3, hlm. 381)
Adz-Dzahabi dalam al-‘Ibar (w. 748 H) berkata:
“Fakhruddin ar-Razi adalah seorang ulama besar, bermadzhab Syafi‘i, seorang mufassir dan ahli ilmu kalam, pemilik karya-karya ilmiah yang sangat terkenal.”
(al-‘Ibar, Jilid 5, hlm. 18).
Dari pernyataan ini terlihat bahwa adz-Dzahabi lebih dulu menyebutkan fikih dibanding tafsir, menandakan prioritas bidang tersebut dalam pandangan mereka.
Al-Yafi‘i (w. 768 H) berkata:
“Imam agung, seorang ulama besar, ahli tahrir, ushuliyyin, ahli ilmu kalam, ahli debat, dan juga mufassir. Ia melampaui seluruh ulama pada masanya dalam dua disiplin pokok (ushul fikih dan ushuluddin), dalam ilmu rasional dan filsafat kuno. Ia telah menulis banyak karya bermanfaat dalam berbagai bidang, di antaranya adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim yang menghimpun banyak keajaiban dan keunikan, mengagumkan bagi setiap pencari ilmu. Namun kitab ini sangat besar dan ia belum menyelesaikannya.”
Dari pernyataan ini dipahami bahwa al-Razi dikenal sebagai ushuliy (pakar ushul), mutakallim (teolog), munazhir (ahli debat), lalu sebagai mufassir, meskipun tafsirnya adalah salah satu karya paling terkenalnya.
As-Subki (w. 771 H) dalam Ṭabaqāt asy-Syāfi‘iyyah menyebutnya:
“Imam para mutakallimin (ahli kalam), yang memiliki keluasan luar biasa dalam menyusun berbagai ilmu dan mampu merangkul hakikat-hakikat makna tersurat dan tersirat.”
Ia juga berkata:
“Dalam ilmu kalam, tiada seorang pun setelahnya yang sebanding dengannya.”
Tentang filsafat, ia berkata:
“Ia benar-benar mengenakan jubah filsafat dan menyelimutkan dirinya dengan selendangnya.”
Kemudian ia menambahkan:
“Adapun dalam ilmu-ilmu syariat seperti tafsir, fikih, ushul fikih, dan lainnya, ia laksana samudera yang tak terjangkau.”
Dari sini terlihat bahwa tafsir berada di peringkat ketiga setelah ilmu kalam dan filsafat, meskipun tafsir tetap dianggap sebagai bagian utama dari ilmu-ilmu syar‘i.
Ad-Dawudi dalam Ṭabaqāt al-Mufassirīn menyebut:
“Seorang imam agung, ulama terkemuka, dan penguasa ilmu kalam di zamannya. Ia adalah seorang mufassir, mutakallim, dan pemimpin dalam ilmu-ilmu rasional. Ia juga salah satu dari para pembaru agama yang muncul pada awal abad ke-7 Hijriyah.”
Ia menambahkan:
“Di antara karya-karyanya adalah at-Tafsīr al-Kabīr, namun ia belum sempat menyelesaikannya.”
Demikian pula dalam Mukhtashar Tārīkh adz-Dzahabī, kitab tersebut juga disebutkan dengan nama Mafātīḥ al-Ghayb (Tafsir al-Kabīr). Jilid 2, hlm. 216.
Dari biografi khusus ini tampak jelas bahwa ketenaran al-Razi dalam ilmu kalam melebihi ketenarannya dalam bidang tafsir. Ia juga digolongkan sebagai mujaddid (pembaharu) dalam agama.
Secara umum dapat dikatakan bahwa meskipun para penulis biografi memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, hampir semuanya tetap menyebutkan ketenarannya dalam bidang tafsir. Bahkan, kitab tafsirnya biasanya ditempatkan di urutan pertama dari karya-karyanya yang paling dikenal.
Tentang at-Tafsīr al-Kabīr
Hal pertama yang kita jumpai dalam at-Tafsīr al-Kabīr adalah pernyataan sang penulis, setelah mukadimah dan sebelum masuk ke Surah al-Fātiḥah. Ia berkata:
“Ketahuilah bahwa pernah terucap di lisanku suatu waktu bahwa dari surat mulia ini (Surah al-Fātiḥah) bisa digali manfaat dan mutiara maknanya hingga mencapai sepuluh ribu persoalan (mas’alah).”
Terhadap klaim yang mungkin dianggap berlebihan ini, ia menjawab secara langsung:
“Sebagian orang hasud dan segolongan dari kalangan jahil, sesat, dan pembangkang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang mustahil.”
Lalu ia melanjutkan:
“Ketika aku mulai menulis kitab at-Tafsīr al-Kabīr, aku sengaja mengajukan muqaddimah ini sebagai isyarat bahwa apa yang aku klaim tadi adalah sesuatu yang mungkin dicapai dan dekat untuk diraih. Maka kami katakan, dengan memohon taufik kepada Allah…”
Ia menafsirkan Surah al-Fātiḥah dalam satu jilid tersendiri yang berisi sekitar 300 halaman. Dengan itu, ia memberikan bukti nyata atas klaimnya bahwa satu surat dapat melahirkan ribuan pembahasan.
Ciri Khas Tafsir al-Razi.
Tafsir al-Razi memiliki sejumlah ciri khas utama yang dapat diringkas sebagai berikut:
- Luasnya pembahasan (istithrād), ragam pendapat, dan pendalaman dalam perdebatan serta argumentasi.
Oleh karena itu, as-Safadi dalam kitab al-Wāfī bi al-Wafayāt mengatakan:
“Ar-Razi dalam kitab-kitabnya mengemukakan hal-hal yang belum pernah didahului orang lain. Ia menyebutkan satu persoalan, lalu membuka pintu-pintu pembagiannya, kemudian membagi kembali cabang-cabang dari pembagian tersebut. Ia mendatangkan dalil dengan metode istiqrā’ (deduksi) dan taqsīm (klasifikasi logis), dan tidak melewatkan satu cabang pun yang memiliki keterkaitan dengan pokok persoalan tersebut. Maka tersusunlah kaidah-kaidah dan tercakuplah seluruh pembahasan.”
(Jilid 4, hlm. 248)
- Kekayaan isi dan ketakjuban pembaca.
Sesungguhnya Imam Fakhruddin ar-Razi memenuhi tafsirnya dengan pandangan-pandangan para filsuf dan hikmah para hukama. Ia sering berpindah dari satu topik ke topik lain. Namun, kepribadian ilmiahnya tampak jelas dan kuat ketika ia mengulas pandangan para filsuf. Di sana terlihat keluasan ilmunya dan ketajaman akalnya.
(Dikutip dari al-Imām Fakhruddin ar-Rāzī karya Dr. Ali Muhammad Hasan al-‘Amārī, cetakan tahun 1388 H)
Kedua: Qira’at (Ragam Bacaan Al-Qur’an)
Imam ar-Razi menampilkan berbagai ragam bacaan (qira’at) dalam tafsirnya. Ia sering kali menjelaskan perbedaan makna berdasarkan masing-masing bacaan. Kadang, ia juga menguraikan i‘rab (analisis gramatikal) ayat berdasarkan bacaan tersebut, dan bisa jadi ia mendukung suatu qira’at dengan argumentasi dari para ahli nahwu (tatabahasa Arab).
Ketiga: Hadis
Ar-Razi sangat sedikit mengandalkan hadis dalam tafsirnya, bahkan dalam perdebatan fikih sekalipun, di mana ia justru lebih banyak membantah pandangan para ahli fikih melalui pendekatan rasional daripada melalui hadis.
Keempat: Syair
Ia kerap mengutip syair sebagai pendukung dalam penjelasan linguistik, retorika, balaghah, atau dalam konteks sastra, akhlak, dan agama. Hal ini menunjukkan keluasan wawasannya dalam sastra Arab dan kepekaannya dalam memahami keindahan bahasa dan seluk-beluknya.
Kelima: Asbāb an-Nuzūl (Sebab Turunnya Ayat)
Tafsir ar-Razi kaya dengan informasi tentang sebab-sebab turunnya ayat, baik yang bersanad maupun yang tidak. Umumnya ia menyandarkan riwayat itu kepada para sahabat atau tabi’in.
Sumber Tafsir al-Kabīr
Tafsir ar-Razi memuat pandangan-pandangan para imam besar dalam bidang tafsir seperti:
Ibnu Abbas (raḍiyallāhu ‘anhu), Ibn al-Kalbī, Mujāhid, Qatādah, al-Suddī, dan Sa‘īd bin Jubayr.
Dalam bidang bahasa Arab, ia merujuk pada para periwayat utama seperti: al-Aṣma‘ī, Abū ‘Ubaydah; serta kepada para ahli bahasa seperti: al-Farrā’, al-Zajjāj, dan al-Mubarrad.
Di antara mufassir yang dikutip oleh ar-Razi:
Muqātil bin Sulaymān al-Marwazī
Abū Isḥāq al-Tha‘labī
Abū al-Ḥasan ‘Alī bin Aḥmad al-Wāḥidī
Ibn Qutaybah
Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī
Abū Bakr al-Bāqillānī
Ibn Fūrak (yang disebutnya sebagai al-ustādz)
al-Qaffāl al-Shāshī al-Kabīr
Ibn ‘Arafah
Ia juga mengutip pandangan dari kalangan Mu‘tazilah seperti:
Abū Muslim al-Iṣfahānī
al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār
al-Zamakhsyarī, penulis tafsir terkenal al-Kashshāf.
Ar-Razi mengutip al-Kashshāf karena muatannya yang sangat kaya dengan penjelasan tafsir, takwil, serta keakuratan bahasa dan keindahan balaghah. Banyak mufassir sesudahnya yang mengambil manfaat darinya.
Namun, pendapat-pendapat Mu‘tazilah yang dikutip ar-Razi dari Zamakhsyari itu justru dihadirkan untuk dibantah dan dipatahkan argumentasinya.
Apakah ar-Razi Menyelesaikan Tafsirnya?
Salah seorang peneliti terkemuka, Dr. Ali Muhammad Hasan al-‘Amārī, dalam bukunya tentang Imam Fakhruddin ar-Razi, melakukan penelitian terhadap surat-surat dan ayat-ayat dalam tafsir tersebut. Setelah penelusuran yang cermat, beliau sampai pada kesimpulan bahwa
setelah melalui keraguan yang cukup panjang mengenai hal ini dan setelah menelaah pandangan para penulis biografi serta isi Tafsir al-Kabīr karya ar-Razi, akhirnya saya sampai pada keyakinan bahwa imam agung ini telah menyelesaikan tafsir seluruh Al-Qur’an. (hlm. 183)
Adapun tafsir tersebut kini hadir di hadapan para pembaca. Baris-barisnya menggambarkan jerih payah ulama kita yang mulia dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Ia menunjukkan keluasan ilmunya, kedalaman wawasannya, serta gaya penulisannya yang khas, yang telah membuka cakrawala luas bagi para peneliti setelahnya hingga zaman kita sekarang.
Penerbit Dar al-Fikr di Beirut telah berinisiatif menerbitkan karya besar ini sebagai bentuk kontribusi mereka dalam menyediakan buku-buku Islam, khususnya tafsir Kitab Allah agar dapat diakses oleh para peneliti dan pembaca dari berbagai kalangan.
Meskipun biaya dan beban materi cukup berat, mereka tetap berkomitmen menerbitkannya karena keyakinan mereka terhadap misi suci yang mereka wakafkan diri untuknya: yaitu dunia pemikiran, dan sumbernya yang paling murni adalah Kitab Allah dan ilmu-ilmunya.
Maka, semoga Allah membalas mereka dengan balasan terbaik atas jasa-jasa mereka terhadap Islam, kaum muslimin, para peneliti, dan kalangan cendekiawan, sesuai dengan apa yang layak mereka terima berupa pahala yang agung.
Allahu A’klam.