Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Al-Quran bukan sebatas teks bacaan, tapi pedoman bagi setiap umat untuk melang-kah. Pantulan al-Quran begitu jelas dalam prilaku Rasulullah yang sarat uswatun hasanah. Namun, untaian kalam-Nya dan tauladan Rasulullah acapkali dipermainkan dan dipersendaguraukan. Seakan dimulia-kan, tapi sebenarnya diijak-injak. Kalanya, al-Quran dan hadis sebatas “asesories” hanya untuk menutupi kezaliman dan kesewenangan. Ia hanya –sebatas– disenandungkan atau dilafazkan, tapi luput dari implementasi dan ruh karakter diri.
Hadirnya surga (kenikmatan) dan neraka (kesengsaraan) menunjukan (pertanda) adanya konsekuensi semua perbuatan. Tak ada yang lepas dari pertanggung-jawaban. Bila dianalisa secara seksama, pilihan atas awal Allah memberi amanah kepada makhluk menjadi i’tibar dan me-nunjukan karakter penerima, antara lain :
Pertama, Sosok alam semesta yang diberi amanah. Tapi, ia sadar atas ketidakmam-puannya. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya :“Sesungguhnya Kami telah menawar-kan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh” (QS. al-Ahzab : 72)
Ayat ini di atas menjelaskan betapa berat tanggungjawab (amanah) yang harus dipikul. Menyadari beratnya amanah ini, maka langit, bumi, dan gunung menolak amanah yang ditawarkan-Nya. Sebab, alam semesta khawatir tak mampu melak-sanakannya. Namun, ketika amanah tersebut ditawarkan pada manusia –meski-pun memiliki keterbatasan– ternyata ia bersedia memikul amanah tersebut.
Kedua, Sosok iblis yang mengharap dan meminta amanah. Ia merasa paling hebat dan mulia. Dorongan iblis membangun karakter manusia merasa paling sempurna tanpa cela. Menjadikan status sebagai tujuan utama, mendahulukan “kolega” (nepotisme) sebagai acuan, dan menying-kirkan semua pembawa kebenaran. Sikap ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Allah berfirman , ‘hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?’ Iblis menjawab: ‘Aku lebih baik dari pada dia, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS. Shad :75-76).
Demikian keangkuhan iblis yang bangga dengan asal kejadiannya. Kesombongan yang menyebabkannya dimurkai Allah dan menerima azab-Nya.
Ketiga, Sosok manusia yang diberikan amanah. Ia mengakomodir atas potensi ketidakmampuan alam dan kesombongan Iblis. Meski sadar atas ketidakmampuan, tapi dorongan nafsu duniawi (iblis) begitu dominan. Kecenderungan manusia meng-ikuti potensi iblis menjadi dasar malaikat meragukan kemampuan manusia untuk menjadi khalifah di bumi karena sifat manusia yang cenderung membuat kerusakan dan menumpahkan darah (QS. al-Baqarah : 30). Hal ini diperparah bila manusia salah memilih teman (pembisik iblis). Ia menyanggupi amanah yang tak sesuai kemampuannya. Ternyata, pilihan-nya pada “teman yang mungkar” (potensi iblis) akan mengakibatkan manusia justeru semakin “dalam” melakukan kesalahan dan kemungkaran. Akibatnya, manusia semakin tergelincir dari jalan kebenaran yang seyogyanya lebih dikedepankan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan pada hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya ber-kata: “Aduhai, kiranya dulu aku mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) setelah (peringatan) itu datang kepadaku.” Dan adalah setan itu peng-khianat manusia” (QS. al--Furqan : 27-29).
Bila dianalisa cara memperoleh amanah ketiga tipikal di atas, ada perbedaan da-lam menerima amanah dan berkorelasi atas dampak yang ditimbulkan. Antara potensi alam semesta yang tunduk pada Allah dan potensi iblis yang selalu ingkar pada-Nya. Ternyata, kedua potensi tersebut (alam dan iblis) bersifat konsisten. Sementara, potensi pada manusia bersifat fluktuatif. Kalanya melejit menembus awan, tapi kalanya terjerembab ke kerak bumi. Untuk itu, wajar bila malaikat khawatir akan terjadi kerusakan dan pengingkaran.
Kekhawatiran yang mendasar bila peng-ingkaran amanah dilakukan manusia yang “munafik”. Manusia yang mengaku seakan beriman, tapi begitu terang mengingkari. Mereka tampil saleh untuk menipu Allah agar kesalahannya tertutupi dan disem-bunyikan. Sungguh di hatinya terdapat penyakit pengingkaran yang kronis. Mereka diminta agar menjaga alam, tapi justeru berbuat kerusakan. Ketika Allah meminta pertanggungjawaban, mereka justeru mengaku telah melakukan ber-bagai kebaikan (QS. al-Baqarah : 8-11). Ternyata, ketika manusia begitu mudah menipu Allah, maka ia akan begitu ringan menipu sesamanya.
Semua pilihan tipuan kalanya dengan cara menghalalkan segala cara, bahkan tak ter-kecuali “menjual agama”. Pilihan yang di-lakukan seakan prilaku manusia tanpa agama. Anehnya, mulut dan asesoriesnya begitu anggun menampilkan –seakan– manusia yang shaleh. Ternyata, semua hanya sebatas menutupi kezaliman yang disembunyikan. Untuk itu, Allah mengingat-kan agar berhati-hati terhadap sosok manusia munafik. Baginya, semua hanya peduli untuk meraih tujuan duniawi. Anehnya, mereka justeru bangga atas keberhasilannya “menipu” Allah dan Rasul-Nya. Mereka tak pernah mau sadar dan takut jika semua yang diraih –hakikatnya–berasal dari neraka jahannam. Sikap yang demikian telah diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat. Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim” (QS. al-A’raf : 40-41).
Menurut Ibn Katsir, ayat di atas menjelas-kan akibat mendustakan ayat-ayat-Nya. Manusia tampil sombong dan menolak kebenaran. Untuk itu, Allah menutup pintu langit bagi doa dan amalnya. Mereka tidak akan masuk surga hingga unta masuk ke lubang jarum. Perumpamaan yang menunjukkan mustahilnya mereka masuk surga selama tetap kufur dan sombong. Untuk itu, Allah akan siapkan kepada mereka tikar tidur dan selimut dari api neraka. Demikian pedih siksaan-Nya, tapi manusia acapkali menafikan dan menen-tang ayat-Nya. Sebaliknya, bagi hamba-Nya yang beriman, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar lebih dikedepankan. Sebab, ia yakin atas janji Allah : “dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikul-kan kewajiban kepada diri seseorang me-lainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya” (QS. al-A’raf : 42).
Begitu jelas janji Allah, zat Yang Maha Menepati Janji. Janji kemuliaan bagi manusia yang menjaga imannya dan meng-hadirkan “prestasi” rahmatan lil ‘aalamiin. Sebaliknya, Allah akan turunkan azab-Nya terhadap manusia yang menjual iman, menyanggupi amanah padahal tak mampu melaksanakan, dan selalu menyebarkan mafsadah lil ‘aalamiin. Hal ini diingatkan Allah SWT : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semua-nya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. al-Ahzab : 72).
Demikian jelas Allah mengingatkan, tapi begitu nyata pengingkaran dilakukan. Se-mua disebabkan keserakahan –meski tak memiliki kemampuan– yang dominan. Akibatnya, ia hanya akan menciptakan kerusakan terhadap seisi alam. Berbagai upaya licik akan dilakukan. Menyingkirkan pemilik iman yang berupaya menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar menjadi pilihan. Upaya ini kalanya dilakukan secara kolektif dan terorganisir rapi oleh komunitas pemilik sifat serupa. Untuk itu, kehadiran hamba yang beriman selalu dianggap penghalang bagi “memuluskan” jalannya kemungkaran. Sungguh aneh pilihan sifat manusia, “pemilik karakter istiqamah pada kebenaran dinilai arogan, dibenci, dan di-kucilkan. Sebaliknya, terhadap manusia munafik dan penjilat begitu disenangi, apatahlagi bila pandai memuji dan membawa sejumlah pundi-pundi”. Ketika ini terjadi, sesungging senyum simpul begitu rapi menerima bingkisan. Sesumbar kata suci yang sebelumnya diucap menjadi debu, lenyap dan dilupakan. Begitu jelas watak asli terbuka menganga. Tapi semua bisu tanpa kata dan –mungkin– agama.
Sungguh, begitu jelas konsekuensi atas cara memperoleh dan melaksanakan amanah yang diberikan atau diminta. Pilihan akan harap azab atau pilihan rindu nikmat-Nya. Semua pilihan tergantung kualitas setiap diri dalam menentukan jalan yang diinginkan. Sebab, prilaku fujur dan taqwa tak pernah mengenal status, pendidikan, derajat, asesories, ungkapan, harta, dan varian lainnya. Sebab, hina dan mulia menurut manusia belum tentu sama dihadapan Allah. Semua nilai tergantung pada “isi diri”, bukan “kulit imitasi”. Di mana posisi diri, apakah sadar keterbatas-an ala alam yang ditawari amanah, ala iblis yang meminta dan mengharap amanah, atau ala manusia (kualitas) yang diberikan amanah. Sungguh, serakah dan kemunafik-an begitu nyata, kalanya melampaui batas. Umur bertambah dan zaman berubah, tapi kezaliman senantiasa kronis mewabah.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 30 Juni 2025