Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Bagi manusia, lidah merupakan alat perasa yang sensitif. Lidah memiliki reseptor rasa yang dapat mendeteksi berbagai rasa (manis, pahit, asin, tawar, pedas, asam, gurih, dan lainnya). Reseptor ini tersebar di hampir seluruh rongga mulut, terutama di lidah, langit-langit, dan belakang kerongkongan. Dalam Islam, eksistensi lidah perlu dikendalikan secara bijak. Bila tidak, maka hadir sejuta prahara akan menimpa. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Keselamat-an manusia tergantung pada kemampuan-nya menjaga lisan” (HR. Bukhari).
Ada beberapa fungsi dan makna “lidah tak bertulang” dalam kehidupan, antara lain :
Pertama, Lidah dalam makna positif untuk merasakan nikmatnya makanan. Istilah “goyang lidah” berorientasi pada makanan enak dan nikmat yang dirasakan oleh lidah. Dalam konteks ini, lidah berfungsi sebagai alat perasa yang bermanfaat bagi merasakan nikmat Allah, menyebarkan kebaikan, dan saling menasehati untuk kebajikan. Lidah yang demikian selalu bertasybih mengagungkan asma-Nya.
Kedua, Lidah dalam makna negatif. Ia digunakan memfitah atau menyakiti perasaan sesama. Lidah yang demikian dimiliki manusia berperaban rendah. Ia hanya menggunakan lidah sebagai alat menyakiti perasaan, mencari dan membuka aib sesama, mencari dan menyebar fitnah (hoax), mengadu domba, dan varian lainnya. Lidah yang demikian begitu berbahaya bagi kehidupan. Untuk itu, Rasulullah berpesan : “Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya (mulut) dan dua kakinya (kemaluan), maka kuberikan kepadamu jaminan masuk surga” (HR. Bukhari).
Ketiga, Lidah menunjukan kualitas pribadi. Meski lidah begitu lihai berkelit, tapi pada saatnya bisa terjerumus nista. Untuk itu, pepatah telah mengingatkan“sedangkan lidah lagi tergigit” atau “lidahmu harimau-mu”. Pesan leluhur agar berhati-hati dan bijak menggunakan lidah.
Bila lidah di dalam mulut, ia bisa merasa-kan rasa. Tapi bila telah keluar, ia bisa mematikan “rasa” dan bahayanya begitu masif. Makanya, Allah memagar lidah dengan gusi, gigi, dan bibir. Tiga lapisan pagar dimaksud agar lidah tak bergerak liar sesuka hati. Tapi, lidah acapkali tak mampu dikendalikan. Ia melakukan “lompatan” melampaui ketiga pagar yang ada. Ketika pagar tak lagi berfungsi dan mampu mencegah, maka lidah bergerak bebas “menggeliat dan menari” melantun-kan “kotoran” bagi peradaban tanpa mem-pertimbangkan dampak yang ditimbulkan.
Sejak manusia hadir di muka bumi (era tradisional), dampak lidah hanya pada wilayah terbatas. Meski demikian, dampak-nya begitu masif dan membahayakan. Apatahlagi di era digital, dampak lidah begitu luas. Melalui media sosial yang tersedia, lidah menjadi tak terkendali dan tanpa batas memutar fakta (benar jadi salah atau sebaliknya). Eksistensinya bukan sebatas untaian bahasa lisan, tapi juga tarian kata berbentuk tulisan dan varian lainnya.
Wujud lidah era digital (media sosial) yang memperburuk peradaban semakin tak terkendali. Meski UU ITE hadir untuk me-minimalkan dampak negatif yang bisa di-timbulkan, namun tak membuat “lidah-lidah busuk” menjadi surut meski seinci. Menyebarluaskan berita hoax dan fitnah seakan menjadi hobi manusia digital. Se-akan ada kepuasan bila mampu mencipta-kan aib atau membuka aib sesamanya. Anehnya, kepiawaian “lidah yang busuk” banyak digemari dan kalanya menjadi “profesi khusus” yang menghasilkan pundi-pundi materi. Kehadirannya dijadikan “senjata” untuk merusak sisi kemanusiaan, berdampak bangsa bercerai-berai, hadir kebencian, pertengkaran, dan berujung pembunuhan (fisik atau karakter) sesama (fitnah). Mereka tampil layaknya buzzer (sekelompok orang atau individu) yang bertugas menyebarkan informasi negatif, atau pembenaran di media sosial sesuai “pesanan” untuk kepentingan tertentu pula.
Padahal, Allah secara tegas dan berulang mencela manusia yang tak mampu men-jaga lidahnya. Hal ini ditemukan dalam al-Quran peringatan-Nya melalui QS. al-Hujurat : 6, QS. al-Baqarah : 191 dan 193 (perintah memerangi orang yang suka memfitnah), QS. at-Taubah : 49 (kisah orang yang terjerumus dalam fitnah), QS. al-Qalam : 10-11, dan QS. az-Zumar : 32. Bahkan, beberapa kali Rasulullah meng-ingatkan umat untuk menjaga lidahnya, antara lain : “Keselamatan manusia ter-gantung pada kemampuannya menjaga lisan (lidah)” (HR. Bukhari).
Menjaga lidah merupakan kewajiban se-tiap manusia. Kualitas manusia sangat tergantung atas kualitas lidahnya. Sebab, lidah yang tak terjaga akan berdampak negatif bagi peradaban. Tapi, bagi lidah yang terjaga, keharmonisan akan terjaga dan bangunan peradaban semakin kokoh.
Sungguh, cerminan kualitas manusia akan terlihat nyata pada “lidahnya”. Manusia bijak hanya akan menggunakan “lidahnya” untuk kebajikan dan membangun peradab-an. Sementara, manusia nista (hina) hanya menggunakan “lidahnya” untuk menyebar kebencian dan menciptakan aib (fitnah) pada sesama sebagai senjata utama yang dimiliki. Bagi pembuat dan penyebar fitnah tersedia azab yang pedih. Hal ini dinyata-kan Allah dalam firman-Nya : “Maka, siapa-kah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kebohongan ter-hadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya ?. Bukankah di (neraka) Jahanam terdapat tempat tinggal bagi orang-orang kafir ?” (QS. az-Zumar : 32).
Menurut Ibn Katsir, ayat di atas merupakan ancaman Allah pada pembuat dan penye-bar fitnah. Sebab, tiada seorang pun yang lebih zalim daripadanya. Manusia yang demikian telah melakukan 2 (dua) kebatil-an secara bersamaan, yaitu : (a) mendusta-kan Allah dan rasul-Nya. (b) mendukung pelaku kebatilan dan menginjak pemilik kebenaran. Meski ancaman Allah begitu tegas dan jelas, namun anehnya manusia semakin nyata mengingkarinya. Bahkan, atribut kesalehan dan “kemuliaan status” dijadikan modal utama menjual “lidahnya yang tak bertulang” untuk menyebarkan berbagai fitnah yang diciptakan.
Dalam sejarah Islam, sosok Abdullah bin Ubay bin Malik bin Harits bin Ubaid bin Malik bin Salim Al-Khazraji merupakan pembuat dan penyebar fitnah yang ulung. Sasaran fitnahnya menyasar pemilik strata sosial tinggi. Di antara fitnah yang dicipta-kan menimpa pada Sayyidah Aisyah RA (istri Rasulullah). Ternyata, kebencian Abdullah bin Ubay terhadap Rasulullah yang tak kesampaian, akhirnya ditujukan pada Aisyah RA. Tujuannya agar rumah tangga Rasulullah hancur berantakan. Dendamnya muncul karena Rasulullah berhasil mendamaikan perseteruan bani Aus dan bani Khasraj. Akibatnya, mimpi Abdullah bin Ubay menjadi pemimpin besar atas kedua kafilah tersebut menjadi tak kesampaian. Untuk itu, ia memeluk Islam hanya sebatas mencari aib Rasul dan keluarganya. Hanya saja, ia tak pernah menemukan sedikitpun kekurangan pada keluarga Rasulullah. Untuk itu, ia ciptakan skenario agar rencana fitnahnya berhasil. Namun, semua fitnah yang diciptakan dan disebarkan mengalami kegagalan. Sebab, Aisyah RA merupakan istri Rasulullah yang mampu menjaga kehormatannya. Untuk itu, Allah SWT menurunkan ayat dan menjelaskan : “Sesungguhnya, orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barang-siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula)” (QS. an-Nur : 11).
Menyikapi ayat di atas, nabi Muhammad SAW tidak menghukum Abdullah bin Ubay. Meski ia muslim, namun dirinya sosok manusia munafik. Untuk itu, Rasulullah SAW menyerahkan semuanya pada hukuman yang telah dijanjikan Allah SWT. Ayat ini menjelaskan bahwa : (1) pelaku fitnah biasanya berasal dari internal yang memiliki kedekatan. (2) tampilan “lidah busuk” ala Abdullah bin Ubay menunjukan akal dan hatinya yang rusak. Sebab, secara ilmiah untaian lidah hadir atas dorongan perintah akal dan hati. Kata yang muncul dari “lidah mewangi” tanda akalnya cerdas dan hati nan suci. Sedangkan, bila kata yang keluar dari “lidah busuk” tanda akal yang dungu dan hati nan kotor.
Meski firman Allah dan sabda Rasulullah begitu jelas mengingatkan, namun acap-kali diingkari. Manusia hanya melihat kebenaran dari sosok yang bicara, bukan atas apa (isi) yang dibicarakan. Bila tinggi status sosial dan “sempurna tampilan” kesalehan, maka semua yang keluar dari mulutnya dinilai sebagai kebenaran. Padahal, semua yang keluar dari mulutnya hanya “menyebar aroma busuk” yang menyengat. Tapi, bila rendah status sosial dan tampilan “biasa saja”, semua yang keluar dari mulutnya merupakan kesalahan dan tak berharga. Padahal, semua yang keluar dari mulutnya berupa mutiara dan aroma mewangi yang mengharumkan peradaban. Fenomena ini telah diingatkan leluhur melalui pepatah Arab bahwa : “lihat-lah apa yang disampaikan, dan jangan melihat siapa yang menyampaikan”. Pepatah ini sepertinya merupakan bentuk fenomena prilaku lintas zaman. Ada yang hanya melihat kulit (asesoris), tapi masih tersisa manusia bijak yang menilai isi.
Lidah bisa menjadi asupan vitamin bila dimiliki oleh manusia cerdas nan beriman. Ia akan digunakan untuk mencerdaskan dan menciptakan kedamaian. Tapi, lidah bisa menjadi virus dan racun bila manusia berakal tapi menyebar kekufuran. Lidah hanya untuk menipu, berbohong, dan menciptakan ruang permusuhan semata. Namun, manusia yang mampu dipengaruhi biasanya hanya manusia yang berkarakter sejenis, tapi tak mampu mempengaruhi hamba yang terpilih (ulul albab). Demikian pilihan terbentang nyata. Semuanya ter-gantung kualitas diri dan tak pernah bisa disembunyikan dari pengawasan-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 21 April 2025