Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Bunglon merupakan reptil jenis kadal dari suku Iguania. Ia memiliki kemampuan mengubah warna (kamuflase) kulitnya. Tujuannya agar bisa menyatu dengan habitat-nya. Di samping alasan keamanan (meng-hindari musuh), perubahan warna terjadi agar ia bisa menghangatkan atau mendinginkan tubuhnya. Di sisi lain, perubahan warna merupakan bentuk ekspresi emosinya.
Meski tujuan bunglon berubah warna untuk menyelamatkan diri dari bahaya, namun prilakunya ini acapkali dikaitkan dengan sifat manusia yang negatif. Istilah sosok manusia ‘bunglon’ merupakan kiasan sifat yang meng-gambarkan karakter atau watak yang tidak konsisten dan tidak berpendirian (munafik).
Perilaku manusia berkarakter bunglon hanya terobsesi oleh keuntungan sesaat. Ia tampil bak “baling-baling di puncak bukit”. Kemana arah angin, ke situ “wajahnya” diarahkan. Meski usahanya akan berhasil, tapi tanpa disadari sebenarnya ia hanya sedang menikmati “istidraj” belaka.
Secara bahasa, istidraj adalah tipu daya yang ditujukan oleh kepada manusia yang ingkar. Tipuan Allah berupa pemberian kenikmatan kepada orang yang bermaksiat dan jarang beribadah. Istidraj dapat terjadi dalam bentuk harta, kekuasaan, dan kedudukan.
Dalil istidraj dalam Islam terdapat dalam al-Qur’an, seperti QS al-An’am: 44 dan ayat-ayat lain. Adapun ciri-ciri seseorang yang terjebak pada istidraj, antara lain : (1) nikmat dunia melimpah ruah, tetapi jauh dari iman dan rasa syukur. (2) lalai dalam ibadah. Padahal nikmat-Nya begitu nyata. (3) meski kehidup-an penuh maksiat (zalim, munafik, dengki, fitnah, dan varian lainnya), tetapie belum men-dapat teguran-Nya (musibah). (4) tidak ada rasa syukur terhadap nikmat-Nya. Menilai keberhasilan yang diperoleh merupakan hasil kerjanya tanpa campur tangan Allah. Prilaku ini bagaikan karakter Qarun dan Fir’aun. (5) bangga dan tak henti melakukan maksiat. (6) semua nikmat yang diperoleh tak membawa kebaikan dalam kehidupan. (7) senantiasa terlena dengan kenikmatan duniawi dan lupa kehidupan akhirat yang pasti. (8) piawai me-nampilkan kemunafikan “berwajah seribu”.
Dalam konteks halal bi halal, prilaku bunglon dan istidraj terlihat pada beberapa bentuk silaturrahim semu, antara lain :
Pertama, Bertemu secara lahiriyah, tapi tak pernah merasa “bersama secara batin” yang harmonis. Pertemuan halal bi halal sebatas rutinitas flexing asesories, tanpa mampu me-ngurai kusut dan kotornya hati. Silaturrahim sekedar menjaga status dan tradisi, bukan meraih nilai substansi.
Kedua, Ungkapan meminta maaf dan saling memaafkan hanya sebatas lipstik. Memaaf-kan sebatas ucapan palsu, tanpa diiringi kesadaran dan keikhlasan yang hakiki. Padahal, Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya : “Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah” (QS. asy-Syu’ara : 40).
Ayat di atas menjelaskan keutamaan saling memaafkan (hakiki). Sebab, sifat ini merupa-kan keutamaan yang mempweoleh kemulia-an-Nya. Dalam konteks ini, memaafkan berarti memilih untuk tidak membawa rasa sakit, dendam, dan kebencian dalam hati.
Ketiga, Menjadikan halal bi halal sebatas kesempatan menghapus kesalahan sebelumnya, tapi selanjutnya kesalahan yang sama terus dilakukan pada waktu sesudahnya. Ia berang-gapan, begitu mudah meminta maaf bila syawal tiba setelah sebelumnya sengaja menyakiti sesama. Dalam hal ini, permintaan maaf melalui media syawal (halal bi halal) akan menyelesaikan kesalahannya. Padahal, permintaan maaf yang dilakukan tanpa rasa penyesalan dan keinginan untuk tidak lagi menyakiti sesamanya. Hal ini merupakan prilaku yang tercela dan tak memberi manfaat pada dirinya. Sungguh nyata kemunafikan dipertontonkan. Ketika hal ini dilakukan, maka ia tak mampu meraih kemaafan-Nya. Sebab, Rasulullah pernah mengingatkan : “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas, maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan” (HR. ath-Thabrani).
Kalanya, kegembiraan atas kemenangan ‘idul fitri begitu terasa justeru pada diri manusia yang tak pernah “berjuang” secara benar selama ramadhan. Tampilan kesalehan ala bunglon dimunculkan untuk menutupi kesalahan yang dilakukan. Seakan, ia merupa-kan sosok “manusia suci” tanpa noda. Padahal, di lubuk hati bersemayam subur kezaliman, iri, dendam, dan pengkhianatan tanpa berujung. Seyogyanya, untaian kata maaf mewakili hati yang suci, ternyata sebatas retorika dusta “basa basi”. Uluran jabatan tangan perlambang ikatan hati yang saling memaafkan, ternyata sebatas skenario “telunjuk lurus kelingking berkait” menutupi kemunafikan.
Sungguh, ketika hamba dipertemukan Allah dengan ramadhan merupakan nikmat untuk jalinan vertikal yang selalu rapuh. Asma-Nya sebatas ucapan meneguhkan janji, tapi tanpa bukti. Ibadah sebatas menjalankan kewajiban tanpa membekas dalam kehidupan. Tampilan keshalehan sebatas untuk menyembunyikan kesalahan. Atau varian lainnya. Kini, ramadan menyempurnakan dan mengokohkan iman hamba menapaki jalan menuju ketaqwaan.
Sementara pertemuan hamba dengan syawal merupakan nikmat untuk mengobati sayatan silaturrahim horizontal yang kadang melukai. Untaian kata menusuk sembilu, gerak prilaku yang menyakitkan kalbu, atau kebijakan yang beralaskan kezaliman. Syawal hadir mem-bawa kesadaran atas silaturrahim imitasi yang “diperdagangkan”. Kesadaran untuk saling memaafkan dan berjanji menjaga “perasaan sesama” dan tak pernah meng-ulangi interaksi yang menyakiti. Kesemuanya merupakan nikmat-Nya yang patut disyukuri secara bijak. Gunakan nikmat-Nya untuk memperbaiki dan membersihkan diri sebagai hamba berkualitas taqwa. Tapi, bila nikmat bertemu ramadhan dan syawal tak mampu membersihkan ruang kebencian dan menyingkirkan “baju kezaliman”, maka kesemuanya akan berganti sebagai wujud istidraj yang akan merugikan diri sendiri.
Sudah saatnya nilai ramadhan hadir mem-bekas dalam diri. Kesamaan rasa lapar dan haus tanpa melihat status seyogyanya menyadarkan untuk membangun solidaritas. Puasa bukan sebatas “mencoba merasakan derita kelaparan”, tapi tak pernah mampu masuk ke ruang yang lebih dalam. Akibatnya, rasa lapar hanya sebatas kamuflase waktu. Begitu berbuka tiba, hidangan mewah ter-hidang memanjakan selera yang terkekang. Ketika datang waktu berbuka puasa, hilang sudah rasa empati pada si miskin papa. Hal ini acapkali tak tersisa, bahkan terlupa tanpa bekas setelah ramadhan.
Sungguh, andai hakikat ramadhan mampu diraih secara benar, maka puasa akan mem-bangun empati yang konsisten, menghilang-kan perpecahan dengan bangun persatuan, menghindari prilaku kezaliman dengan menyebarkan kebajikan, menghentikan adu domba dan fitnah (hoax) dengan bangun informasi yang mencerdaskan. Sungguh, tak ada diri yang sempurna. Andai Allah membuka aib setiap diri, maka tak ada yang sanggup menutupi. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Barang siapa membuka aib saudaranya, niscaya Allah akan membuka aibnya dan siapa yang dibuka Allah akan aibnya, niscaya Allah akan menunjukkan aibnya, meskipun dirahasiakan di lubang kendaraan” (HR. Tirmizi).
Dalam hadis lain, Rasulullah kembali meng-ingatkan : “Barangi sapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak” (HR. Bukhari).
Meski begitu jelas Rasulullah menuntun umatnya, tapi semakin jelas umat menging-kari pesan Rasulullah. Mengharap syafa’at tapi menyebarkan mudharat. Seakan, mem-buka aib sesama menjadi celah membalas dendam tak bertepi. Ketika aib sesama terbuka, seakan prestasi yang dibanggakan. Padahal, aib pada diri yang menyebarkan fitnah jauh lebih busuk. Bahkan, kebiasaan membuka aib justeru menjadi profesi yang menghasilkan pundi materi. Sungguh ia telah memakan bangkai saudaranya sendiri. Prilaku ini merupakan tontonan penghuni neraka yang telah diperlihatkan oleh Allah kepada Rasulullah ketika isra’ dan mi’raj. Bukannya manusia menjadi takut atas apa yang dikhabarkan, justeru semakin terangan “menantang” ancaman Allah tersebut.
Alangkah indah dan beruntung bila manusia mampu tampil seperti sosok ulat. Meski awalnya begitu menjijikan, namun seiring waktu ia berproses kearah yang lebih baik. Proses metamorfosis ulat merupakan i’tibar bagi taubat an-nasuha manusia atas semua dosa. Bila ulat berubah menjadi kepompong dan akhirnya lahir menjadi kupu-kupu indah yang berwarna-warni, maka perumpamaan bagi manusia yang melakukan taubat secara benar akan melahirkan sosok manusia ihsan di dunia dan berkualitas “penghuni surga” yang telah dijanjikan-Nya. Kualitas iman yang dimiliki menjadi rahasia antara diri dan Khaliq dan menghadirkan silaturrahim hakiki. Saling memaafkan secara ikhlas tanpa menyisakan dendam dan kemunafikan.
Berbeda sosok manusia bunglon dan tampil-an silaturrahim imitasi yang sukses di mata dunia, tapi bermuatan istidraj di mata Allah. Ia tampil anggun dengan atribut kesalehan zahir atau lidah bercabang seakan pemilik kebajikan, tapi menyisakan kemunafikan dan kezaliman yang tersembunyi. Hal ini dilaku-kan agar memperoleh simpatik dan peng-hargaan dari sesamanya.
Tapi, semuanya tak mampu menipu Allah dan Rasul-Nya. Sebab, wujud aslinya merupakan hamba yang berkualitas “penghuni neraka”. Tampilan amal (kebaikan) yang dipertontonkan hanya sebatas dramatisasi atas kemunafikan yang disembunyikan. Kesemuanya menyempurna-kan sifat bunglon yang terlihat nyata.
Sungguh, saling memaafkan secara ikhlas memerlukan sandaran iman yang kokoh dan kualitas hati yang suci. Ketinggian iman menghadirkan keyakinan atas kebenaran firman-Nya dan akhlak Rasulullah untuk saling memaafkan. Namun, bila saling me-maafkan sebatas tampilan prosesi imitasi (bukan dari kebersihan hati), maka pertanda imannya rapuh atau mungkin tanpa iman. Ia hanya sebatas bunglon yang berubah pada asesosories “kesalehan”, tapi hakikat hewan pencipta “kesalahan” yang tak mampu disingkirkan. Mereka merupakan kelompok manusia hina yang ditunjuk oleh firman Allah pada QS. al-A’raf : 179. Meski semua keber-hasilan dapat diraihnya, tapi semua bermuara pada istidraj (berisi murka-Nya) belaka.
Andai Allah buka hijab mata untuk melihat cara segelintir manusia meraih tujuan duniawi, maka manusia akan pingsan setiap membuka matanya. Sebab, ia tak akan sanggup melihat sosok asli dirinya dan manusia lainnya yang ternyata berwujud makhluk yang sangat menakutkan. Kesemua-nya disebabkan oleh pancaran sifat dan prilaku kemunafikan (fasad) yang dilaku-kannya. Sungguh, karakter manusia munafik ala bunglon akan ringan untuk “menipu Allah”, terbiasa menipu sesama, dan rakus terhadap alam semesta.
Silaturrahim vertikal dan horizontal acapkali mengalami irisan yang sama. Kalanya ia berjalan tegak lurus penuh keikhlasan. Hal ini akan terwujud pada hamba yang jujur dan berkarakter ihsan. Namun, bila hadir pada sosok hamba yang berkarakter khianat penuh intrik imitasi dan rekayasa kemunafikan, maka kehancuran yang akan terjadi. Meski semua begitu kasat mata (nyata), namun keberadaannya selalu luput dari koridor hukum dan seakan “dibiarkan” terjadi. Ruang kompromi sesuai “adat kebiasaan” menjadi celah yang memungkinkan. Akibatnya, tampil manusia bunglon penuh muslihat dan wujud silaturrahim sebatas imitasi.
Meski penunjukan sifat bunglon acapkali ber-makna negatif, namun ada nilai positif pada sifat bunglon yang patut dimiliki dalam meniti kehidupan. Hal ini wujud ketidaksia-siaan atas semua ciptaan-Nya (QS. Ali Imran : 191). Nilai positif sifat bunglon yang diperlukan an-tara lain : sifat flexible dalam bergaul, santun menyesuaikan diri dengan budaya (positif) leluhur, menyerap inspirasi semua pihak secara arif, dan beradaptasi dengan berbagai kondisi secara bijak. Tentu sifat ini perlu senantiasa menjunjung tinggi moral (adab), aturan (agama dan hukum), serta estetika yang berlaku.
Semua pilihan ada di depan mata. Pilihan atas sifat bunglon yang penuh kemunafikan dan silaturrahim imitasi, atau sebaliknya. Semua bermuara pada kualitas diri atas pilihan yang diambil, yaitu kualitas fujuraha atau taqwaha (QS. asy-Syams : 8).
Selamat menyambut “hari kemenangan, hari raya ‘idulfitri 1446 H. Taqabbal Allahu minna wa min kum taqabbal yaa kariim, mohon maaf lahir dan batin”.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 31 Maret 2025